Home Blog Page 1196

Usulan Penundaan Pemilu 2024, Koalisi LSM : Melanggar Konstitusi dan Merusak Sistem Demokrasi

ETIndonesia- Tahapan Pemilu 2024 telah di depan mata, namun wacana penundaan pemilu kembali digaungkan. Setelah Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia, yang menyuarakan aspirasi pebisnis untuk memundurkan Pemilu, kali ini giliran unsur partai politik yakni PKB, PAN, dan Golkar dengan dalih perekonomian Indonesia belum stabil akibat pandemi.

Koalisi LSM menyatakan alasan memundurkan jadwal Pemilu tersebut tidak masuk akal serta merosot jauh dari esensi demokrasi dan amanat konstitusi serta hanya akan menjadi preseden buruk untuk demokrasi. Hal ini secara fundamental menunjukan kegagalan partai politik dalam menghidupi nilai paling utama yang sepatutnya dijunjung tinggi, yakni fairness dalam proses elektoral.

Dari segi pertumbuhan ekonomi, berdasarkan data yang dirilis BPS, perekonomian Indonesia triwulan II-2021 terhadap triwulan II-2020 mengalami pertumbuhan sebesar 7,07 persen (y-on-y) dan berpotensi naik di tahun 2022. Dengan demikian, hal ini tidak relevan jika Pemilu 2024 ditunda karena alasan stabilitas ekonomi.

Di lain sisi, Pilkada Serentak tahun 2020 yang telah terselenggara di 270 daerah dapat dijalankan dengan baik. Peserta dan pemilih mampu menerapkan protokol kesehatan dengan tertib, sehingga tidak ditemukan “kluster pilkada” seperti yang dikhawatirkan sebelum pelaksanaan.

Bahkan tingkat partisipasi pada Pilkada Serentak 2020 mencapai angka 76,09 persen, naik 7,03 persen dibandingkan pelaksanaan Pilkada sebelumnya. Jadi, penundaan Pemilu 2024 dengan alasan pandemi covid-19 tidak cukup relevan.

“Secara fundamental, wacana penundaan Pemilu 2024 inkonstitusional, melecehkan konstitusi (contempt of the constitution), dan merampas hak rakyat,” ujar koalisi LSM Kode Inisiatif, IPC, ICW, KISP, DEEP Indonesia, Netfid Indonesia, Perludem, KOPEL Indonesia, Puskapol LPPSP FISIP UI, Netgrit, PUSaKO FH Universitas Andalas, JPPR, KIPP Indonesia, SPD dalam rilisnya, Rabu (2/3/2022).

Sebab Pasal 7 dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 telah tegas membatasi kekuasaan eksekutif dan legislatif selama 5 (lima) tahun dan mengamanatkan bahwa Pemilu diselenggarakan dalam waktu 5 (lima) tahun sekali.

Gagasan penundaan Pemilu 2024 juga mencerminkan inkonsistensi partai atas keputusan politik yang sudah dibuat, mencerminkankan pragmatisme politik kepentingan partai, serta menunjukan rendahnya komitmen partai politik untuk menjaga dan menegakan prinsip-prinsip demokrasi.

“Penundaan Pemilu 2024 akan mengancam proses demokrasi Indonesia dan berpotensi memunculkan kepemimpinan otoritarian. Selain itu, usulan tersebut justru mencederai amanat reformasi Indonesia dan memantik kemarahan publik,” pungkasnya. (asr)

Presiden Prancis : Putin Menolak untuk Menghentikan Serangan Militernya di Ukraina

oleh Xia Yu

Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Presiden Rusia Vladimir Putin berbicara lewat sambungan telepon pada Kamis (3/3/2022). Istana Elysee mengatakan bahwa tampaknya pertempuran di Ukraina sulit diharapkan berhenti dalam waktu singkat. Kremlin menegaskan bahwa Putin akan terus memajukan operasi militer di Ukraina hingga mencapai tujuannya.

Macron mengingatkan Putin bahwa dia telah membuat kesalahan besar. Macron juga mengatakan bahwa Putin menolak untuk menghentikan serangan dan tampaknya sudah bertekad untuk menguasai seluruh Ukraina.

Seorang pejabat senior dari kantor kepresidenan Prancis memberitahu wartawan tentang ringkasan percakapan yang berlangsung selama 90 menit antara kedua pemimpin. Antara lain Presiden Macron mengatakan bahwa hal yang terburuk bagi Ukraina masih belum tiba. “Analisis kami tentang operasi militer Rusia di Ukraina adalah Rusia berambisi untuk mengendalikan seluruh Ukraina”, kata pejabat tersebut.

Pejabat yang namanya tidak bersedia dipublikasikan ini mengatakan, bahwa tidak ada pihak yang tahu apakah operasi (militer)Rusia dapat berhasil atau tidak. “Tetapi kita patut memperhitungkan hal yang terburuk bagi Ukraina, yang tampaknya akan tiba”, katanya. Ia kemudian menambahkan : “Tidak ada satu pun kalimat yang disampaikan Presiden Putin yang dapat membuat kami menurunkan rasa kekhawatiran”.

Kremlin menyebutkan bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin, telah menegaskan kepada pemimpin Prancis Emmanuel Macron pada hari Kamis bahwa apa pun yang terjadi, Rusia akan mencapai tujuannya untuk melakukan intervensi militer di Ukraina. Demikian Reuters melaporkan.

Reuters melaporkan, dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan Kremlin usai pembicaraan telepon itu, secara jelas disebutkan bahwa, tujuan Presiden Putin termasuk demiliterisasi dan netralitas Ukraina.

Setiap upaya Kyiv untuk menunda-nunda pembicaraan antara pejabat Rusia dan Ukraina akan mendorong Moskow untuk menambahkan lebih banyak tuntutan ke dalam daftar yang telah diajukan, kata pernyataan itu.

“Putin telah menjelaskan secara rinci metode dasar dan kondisi negosiasi dengan perwakilan Kyiv. Ditegaskan bahwa, pertama-tama, kita berbicara tentang demiliterisasi dan netralitas Ukraina, sehingga secara permanen menghilangkan ancaman Ukraina terhadap Federasi Rusia”, demikian bunyi pernyataan tersebut. .

Presiden Prancis mengatakan bahwa panggilan telepon yang dibuat atas permintaan Kremlin, ini adalah diskusi ketiga antara kedua kepala negara sejak perang dimulai. Pejabat Prancis ini mengatakan bahwa Macron mengingatkan Putin tentang klaimnya yang menyebutkan bahwa pemerintah di Kyiv dikendalikan oleh Nazi itu adalah tidak masuk di akal dan dianggap sebagai mencari-cari alasan. Macron juga memperingatkan bahwa Rusia akan membayar harga tinggi karena invasi dan membuat negaranya menjadi lemah, terisolasi, dan dikenai sanksi untuk jangka waktu yang lama”.

Rusia selalu menyebut tindakannya di Ukraina sebagai “operasi khusus”, Negara-negara Barat, termasuk Turki menyebut operasi militer Rusia sebagai invasi ke Ukraina, dan menjatuhkan sanksi dalam semua aspek dengan persatuan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kecuali komunis Tiongkok yang secara konsisten menolak untuk mengecam invasi Rusia ke Ukraina.

CNN yang mengutip informasi dari sumber di Istana Elysee memberitakan bahwa Presiden Macron memperingatkan Putin bahwa dia telah membuat kesalahan besar. Ia juga menegaskan kembali bahwa tuntutan Moskow untuk netralitas Ukraina dan perlucutan senjata Ukraina niscaya tidak dapat diterima, sehingga tanggung jawab atas konflik itu sepenuhnya harus dipikul oleh Putin.

Tetapi Macron juga mengatakan masih ada waktu untuk manuver diplomatik dan dialog untuk mengatasi kekhawatiran Rusia dan menggabungkan kepentingan Rusia. Namun, sumber tersebut mengatakan diskusi tidak dapat berlangsung di bawah kendali Rusia dan sebaiknya diorganisir oleh mitra internasional.

Menurut sumber tersebut, Macron juga meminta Putin untuk menghormati presiden Ukraina, keluarga, kerabat, pejabat negara, dan perwakilan terpilih. (sin)

Invasi Rusia ‘Memfokuskan Kembali Kepada Perang Dingin 1.0,’ Mengalihkan Perhatian dari Konflik dengan Tiongkok

Venus Upadhayaya

Serangan Rusia terhadap Ukraina mengalihkan perhatian dunia terhadap persamaan Perang Dingin yang lama, mengalihkan fokusnya dari agenda ekspansionis rezim Tiongkok di Indo- Pasifik.

Para ahli mengatakan kepada The Epoch Times bahwa serangan terhadap Ukraina menunjukkan konvergensi Beijing-Rusia yang menciptakan tantangan baru bagi tatanan global yang ada.

Cleo Pascal, rekan di lembaga think tank Chatham House yang berbasis di London, mengatakan bahwa serangan Rusia ke Ukraina membantu Tiongkok dalam berbagai hal.

“Pertama, ini memfokuskan kembali Barat pada Perang Dingin 1.0, pada Perang Dingin dengan Rusia, dan mengalihkan fokusnya dari Perang Dingin dengan Tiongkok, yang dengan cepat berubah menjadi agak lebih hangat,” kata Pascal kepada The Epoch Times.

Menganggap pemerintahan Biden dan negara-negara anggota NATO bertanggung jawab atas gangguan strategis dari kawasan Indo- Pasifik, Madhav Nalapat, seorang analis strategis dan wakil ketua Mani- pal Advanced Research Group yang berbasis di India, mengatakan bahwa situasi tersebut telah memberi Beijing “ tangan bebas” di Indo-Pasifik.

“Kebangkitan  kembali  Perang  Dingin 1.0 (Moskow-Washington) yang mengambil sebagian besar oksigen dari Perang Dingin 2.0(Beijing-Washington) adalah kesalahan proporsi historis di mana demokrasi terkait,” kata Nalapat.

Hubungan Tiongkok-Rusia

Sejak invasi, Beijing telah berjalan di atas tali diplomatik, menolak untuk meng- ambil posisi tegas mendukung kedua pihak.

Beijing telah berulang kali menolak untuk menyebut serangan itu sebagai “invasi” atau mengutuk Rusia atas serangan itu, dan sebaliknya menyalahkan Amerika Serikat karena “mengipasi” api perang.

Dalam percakapan telepon antara, Xi Jinping dan Presiden Rusia, Vladimir Putin pada Jumat 25 Februari, Xi mendesak Putin untuk menyelesaikan krisis Ukraina melalui pembicaraan.

Xi menggambarkan serangan itu sebagai “perubahan mendadak di wilayah timur Ukraina”, dan menegaskan kembali bahwa “sikap fundamental Beijing telah konsisten dalam menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua negara”.

Kurang dari tiga minggu sebelum invasi, Putin bertemu dengan Xi di Beijing pada hari pembukaan Olimpiade Musim Dingin, yang mengakibatkan kedua pemimpin menyatakan kemitraan “tanpa batas”. Xi juga menyuarakan dukungan untuk oposisi Rusia terhadap perluasan NATO, masalah di jantung krisis saat ini di Ukraina. Sementara Rusia mendukung klaim teritorial Bejing atas Taiwan yang memiliki pemerintahan sendiri. Kedua negara juga menandatangani kontrak gas dan minyak senilai hampir 118 miliar dolar AS.

Frank Lehberger, seorang sinolog yang berbasis di Jerman mengatakan kepada The Epoch Times bahwa, sumbernya mengatakan kepadanya bahwa Xi dan pejabat tinggi Partai Komunis Tiongkok lainnya di politbiro, badan pembuat keputusan tertinggi Partai, mengadakan pertemuan rahasia selama Olimpiade Beijing, di mana “pertandingan teriakan antara Xi dan saingannya (Kubu Jiang Zemin, Red) terjadi”.

“Xi dipaksa untuk mendapatkan kembali dukungan penuh dari Putin. Sekarang Tiongkok di PBB tidak lagi memberikan dukungan penuh atas invasi Putin ke Ukraina,” kata Lehberger.

Ketika pasukan Rusia memasuki ibu kota Ukraina, Kyiv pada Sabtu 26 Februari, setelah dua hari serangan udara di kota-kota dan pangkalan militer di seluruh negeri, Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy menolak bantuan Amerika untuk melarikan diri dari Kyiv dan mengatakan bahwa dia membutuhkan amunisi anti-tank dan “bukan tumpangan”. Dia meminta rekan senegaranya untuk “berdiri teguh” melawan pengepungan.

Sementara itu, media pemerintah Tiongkok mengambil ini sebagai kesempatan untuk mengutuk Amerika Serikat, karena tidak bertindak secara bertanggung jawab terhadap Ukraina dan menggunakan perang untuk mendapatkan kepentingan yang lebih strategis.

“Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky dalam pidato video mengeluh bahwa negara-negara Barat telah meninggalkan Ukraina dan membiarkannya mempertahankan diri sendiri. Beberapa warganet Barat bahkan bertanya: Di mana AS yang memprovokasi perang dan mengatakan berpihak pada Ukraina?” kata media pemerintahan partai Komunis Tiongkok, Global Times dalam sebuah editorial.

Namun, Lehberger mengatakan bahwa krisis di Ukraina adalah kegagalan diplomatik bagi Beijing, karena sebelum serangan itu pejabat AS berulang kali memberi tahukan kepada Beijing tentang serangan yang akan datang tetapi Beijing tidak memercayainya. 

“Xi dan para pemimpin ditipu oleh ‘sekutu’ mereka, Putin, bahwa dia tidak akan menyerang. Mereka mencemooh Amerika dan kemudian setelah invasi (24 Februari) baru benar-benar terkejut,” katanya.

“Ada 20.000 warga Tiongkok yang bekerja di Ukraina dan mereka sekarang dibantai di antara garis depan,” kata Lehberger, menambahkan bahwa orang-orang Tiongkok yang mencoba melarikan diri dari Ukraina memasang bendera nasional mereka di mobil mereka untuk mencegah “penembakan”.

Ruang udara Ukraina ditutup  untuk semua penerbangan sipil setelah serangan Rusia.

Srikanth Kondapalli, seorang profesor Studi Tiongkok di Universitas Jawaharlal Nehru yang berbasis di New Delhi mengatakan kepada The Epoch Times bahwa invasi Rusia, datang pada saat yang canggung bagi PKT, yang dijadwalkan untuk mengadakan pertemuan penting, Kongres Partai, akhir tahun ini. Xi akan meluncurkan tawaran yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk masa jabatan ketiganya di Kongres.

“Rusia, yang membantu membentuk Partai Komunis Tiongkok pada 1921, memiliki banyak pengaruh politik di Tiongkok dan perkembangan Ukraina diharapkan berperan dalam perjuangan politik domestik,” kata Kondapalli.

“Sudah beberapa pemimpin faksi di Tiongkok mempertanyakan tindakan Rusia. Terlepas dari tindakan keras terhadap liputan negatif Rusia di media Tiongkok , disonansi politik di Tiongkok meningkat,” tambahnya.

Apakah Sanksi Membantu Tiongkok?

Setelah serangan itu, Amerika Serikat,Uni Eropa, Inggris, Jepang, Kanada, Taiwan, dan Selandia Baru, mengumumkan serangkaian sanksi terhadap Rusia. Baru-baru ini, Washington dan sekutunya bergerak untuk memblokir akses bank-bank Rusia tertentu ke sistem pembayaran internasional SWIFT, yang kemungkinan akan menimbulkan pukulan yang melumpuhkan bagi perekonomian negara itu.

Pascal mengatakan bahwa sanksi akan menguntungkan Tiongkok,  karena Rusia setelah ditutup oleh Barat akan menjadi lebih bergantung secara ekonomi pada Beijing.

“Itulah mungkin mengapa kita melihat kesepakatan ekonomi besar seputar bahan bakar fosil ditandatangani antara Rusia dan Tiongkok,  karena itu memberi Putin jalur kehidupan ekonomi yang dia  perlukan jika dia akan dipotong beberapa derajat di Barat,” katanya, merujuk untuk pertemuan Putin dan Xi pada awal Februari.

Administrasi bea cukai Tiongkok mengumumkan minggu ini bahwa mereka telah memutuskan untuk mengimpor gandum dari seluruh wilayah Rusia. Tiongkok sebelumnya telah membatasi impor gandum dari produsen gandum utama dunia (Rusia) karena kekhawatiran jamur penyebab penyakit.

Perdana Menteri Australia Morrison pada 24 Februari mengutuk beijing, yang meliberalisasi perdagangan dengan Rusia di tengah krisis.

“Pada saat dunia berusaha untuk memberikan sanksi tambahan pada Rusia, mereka telah melonggarkan pembatasan perdagangan gandum Rusia ke Tiongkok,” kata Morrison pada konferensi pers.

“Anda tidak pergi dan melemparkan garis hidup ke Rusia di tengah periode ketika mereka menyerang negara lain. Itu sama sekali tidak bisa diterima.”

Namun, Lehberger mengatakan bahwa baik Rusia dan Tiongkok adalah negara oportunistik dan sanksi tidak selalu sesuai dengan kepentingan Tiongkok.

“Orang Tiongkok yang bermuka dua akan mencoba memeras semua jenis konsesi dari Rusia yang lemah dan diasingkan. Mereka selalu melakukan ini ketika mereka mencium kelemahan tidak peduli apakah Anda seorang teman atau sekutu,” katanya. Ia menambahkan bahwa “Putin tidak jauh lebih baik, dia menipu sahabatnya Xi dalam invasi, dan begitu baik sehingga dia (Xi) tidak memercayai informasi jujur apa pun yang diberikan Biden kepadanya.” 

Dua bank milik negara Tiongkok,  Bank  of China dan unit lepas pantai Industrial and Commercial Bank of China pada 25 Februari mengatakan, mereka telah membatasi pembiayaan untuk pembelian komoditas Moskow, menyusul pengumuman sanksi Barat.

“Tiongkok sudah mengendus kelemahan Rusia 3 hari dalam perang,” kata Lehberger.

Karena hubungan ekonomi Tiongkok yang signifikan dengan Barat, mungkin bukan kepentingan Beijing untuk membantu Rusia menghindari dampak sanksi, menurut Kondapalli.

“Meskipun Beijing telah mengumumkan strategi ‘sirkulasi ganda’ untuk mengurangi ketergantungannya pada ekspor, proses ini mungkin memakan waktu lebih lama dan karenanya dampak Ukraina bermasalah,” katanya.

“Bergaul dengan Rusia lebih lanjut dapat meningkatkan biaya bagi Beijing,  karena rezim sanksi semakin intensif,” tambah Kondapalli.

Sanksi terhadap Rusia juga telah meningkatkan harga minyak dari 94 USD per barel menjadi 100 USD per barel dan ini secara langsung berdampak pada Tiongkok yang bergantung pada impor.

“Impor energi Tiongkok menghadapi gangguan pasokan yang berkelanjutan dan terjangkau dalam waktu dekat,” kata Kondapalli.  (YUD)

Mengelola Stres dan Kecemasan akibat Tekanan Teman Sebaya

0

Stan Popovich

Menjadi diri sendiri bisa jadi sangat sulit saat orang lain ikut mengatur dalam masalah

Anda. Berikut ini delapan tip cara mengelola stres dan kecemasan menghadapi tekanan teman sebaya.

1.Mengetahui di mana posisi Anda dalam masalah tertentu: Tanyakan pada diri sendiri apakah Anda bersedia melakukan sesuatu yang teman Anda ingin Anda lakukan. Pikirkan tentang hal itu dan tentukan sendiri di mana posisi Anda pada hal-hal tertentu. Setelah Anda memutuskan apa yang akan Anda lakukan, jangan berubah pikiran jika teman Anda mulai menggertak atau merundung Anda.

2. Komunikasikan keputusan Anda pada teman-teman Anda: Jelaskan kepada teman-teman Anda apa yang akan Anda lakukan. Beri mereka alasan mengapa Anda merasa seperti ini. Dengan lapang dada, bersedia menjawab pertanyaan apa pun yang dapat membantu teman Anda memahami situasi Anda. Jika teman Anda mengatur masalah Anda secara terus menerus, maka mungkin jalan yang terbaik adalah mencari teman lain.

3. Tetap teguh dalam keputusan Anda dan tunjukkan kepercayaan diri: Beberapa orang akan terus memperdebatkan masalah Anda, maka di sinilah Anda perlu menunjukkan bahwa Anda serius. Jangan menyerah pada argumen mereka. Lakukan apa yang menurut Anda benar dan tetap teguh dengan keputusan Anda. Mung- kin hal ini sulit, namun ingatkan mereka bahwa Anda tidak merasa nyaman dalam melakukan hal-hal tertentu.

4. Berteman dengan orang- orang yang menghormati Anda: Jika teman Anda benar-benar menyukai Anda, mereka akan menghormati Anda. Tak seorang pun ingin bersama seseorang yang menarik mereka ke dalam masalah. Anda selalu memiliki pilihan untuk menghabiskan waktu Anda dengan orang-orang yang Anda sukai.

5. Lakukan yang terbaik untuk Anda: Anda harus menghadapi apa saja yang akan terjadi jika teman Anda menekan Anda untuk melakukan sesuatu yang bisa membuat Anda mendapat masalah. Jika terjadi kesalahan, teman Anda tidak akan menanggung kesalahan untuk Anda. Pikirkan tentang konsekuensi yang akan Anda hadapi sebelum memutuskan bagaimana Anda mengambil keputusan karena tekanan teman sebaya.

6.Tinggalkan: Anda memiliki pilihan untuk menjauh dari teman-teman yang mencoba membuat Anda melakukan sesuatu yang tidak ingin Anda lakukan. Lebih baik tinggalkan saja teman-teman Anda jika mereka membuat Anda merasa cemas dan stres. Yang harus Anda lakukan adalah memberi tahu teman Anda bahwa Anda membutuhkan ruang untuk diri sendiri dan kemudian tinggalkan.

7. Bertanya pada sekitar: Penting untuk mempertimbangkan sudut pandang lain selain sudut pandang Anda sendiri. Tanyakan kepada orang-orang yang Anda percaya tentang apa yang menurut mereka harus Anda lakukan. Orang-orang dekat Anda tahu siapa Anda, dan mereka dapat memberi Anda wawasan tambahan yang mungkin terlewatkan.

8. Belajar dari kesalahan Anda: Jika Anda  melakukan  kesalahan maka langkah selanjutnya adalah belajar dari kesalahan Anda dan tidak mengulanginya lagi. Jangan terpaku pada kenyataan bahwa Anda membuat keputusan yang salah. Kuncinya adalah belajar dari pengalaman Anda dan terus melangkah maju.

Kisah ini awalnya diterbitkan di situs web Managing Fear.

Stan Popovich adalah lulusan Penn State dengan pengalaman lebih dari 20 tahun dalam menangani ketakutan dan kecemasan. Dia adalah kontributor pemenang penghargaan untuk topik ketakutan, kecemasan, dan depresi. Stan memberi Anda banyak ide dan pilihan berbeda tentang cara mengatasi perjuangan kesehatan mental Anda

Mengapa Kita Tidak Seharusnya Multitugas

Emma Suttie

Berapa banyak dari kita yang dibesarkan dengan pujian terhadap multitugas? Mercusuar produktivitas yang bersinar yang seharusnya kita semua jadikan rujukan?

Tetapi kebenaran sisi gelapnya adalah, bahwa multitugas atau multitasking tidak hanya buruk bagi otak kita, dan ternyata kita sama sekali tidak dirancang untuk itu.

Sebagian besar dari kita menghabiskan sebagian besar waktunya setiap hari untuk multitugas. Entah itu mendengarkan radio sambil membuat sarapan, membaca koran sambil makan, atau scrolling feed Instagram sambil bekerja, kita rutin melakukan beberapa hal dalam waktu yang bersamaan.

Multitugas sepertinya cara yang bagus untuk menjadi produktif dengan melakukan banyak hal sekaligus. Tapi, yang sebenarnya terjadi adalah kita mengalihkan fokus kita dari satu hal ke hal lain karena otak tidak bisa melakukan lebih dari satu hal pada satu waktu. Faktanya, penelitian menunjukkan bahwa multitugas mengurangi kemampuan kita untuk fokus, meningkatkan tingkat stres, dan menyebabkan kita membuat lebih banyak kesalahan.

Multitugas dan Otak

Baru-baru ini, ada banyak penelitian yang menyelidiki keterbatasan fungsi dan pemrosesan otak. Sebuah artikel yang diterbitkan di jurnal Cerebrum pada 2019 merangkum beberapa temuan menarik, termasuk bahwa kita cenderung melebih-lebihkan kemampuan kita untuk melakukan banyak tugas secara efektif ketika, pada kenyataannya, hampir tidak ada korelasi dengan kemampuan kita yang sebenarnya. Penelitian telah menunjukkan bahwa otak cocok untuk hanya melakukan satu hal pada satu waktu dan multitugas menempatkan beban pada beberapa sistem penting. Penelitian menunjukkan bahwa pelaku multitugas menyelesaikan tugas lebih lambat dengan efisiensi yang lebih rendah dan lebih mudah terganggu.

Menarik juga untuk dicatat bahwa beberapa korelasi ditemukan antara pelaku multitugas kronis dan ciri-ciri kepribadian tertentu, contohnya adalah bahwa pelaku multitugas kronis cenderung lebih impulsif, meskipun masih belum jelas apakah orang dengan sifat tertentu cenderung lebih banyak multitugas, atau jika pelaku multitugas yang berat benar-benar memperbaiki ulang otaknya.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di Massachusetts Institute of Technology, para ilmuwan memaparkan bahaya multi- tugas, terutama dalam konteks mengemudi.

Ketika otak beralih dari satu tugas ke tugas lainnya, ia menggunakan apa yang disebut ahli saraf sebagai fungsi eksekutif. Ini adalah proses kognitif yang digunakan untuk menentukan, bagaimana, kapan, dan dalam urutan apa tugas dilakukan.

Ini terjadi dalam dua bagian. Pergeseran tujuan dan aktivasi aturan.

1. Pergeseran tujuan adalah apa yang terjadi ketika kita memutuskan untuk beralih melakukan sesuatu yang lain.

2.Aktivasi aturan adalah ketika otak memindahkan fokusnya dari informasi yang di- butuhkan untuk menyelesaikan tugas sekarang ke informasi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas baru.

Inilah yang disebut psikolog sebagai “biaya pengalihan tugas”, yang merupakan efek negatif yang terkait dengan peralihan dari satu tugas ke tugas lainnya. Mereka menghasilkan penurunan akurasi dan peningkatan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas. Semua proses ini memakan waktu sepersekian detik, tetapi waktu itu dapat bertambah ketika kita terus-menerus beralih bolak-balik, dan dapat menjadi potensi berbahaya ketika kita melakukan sesuatu di mana perhatian kita yang tidak terbagi sangat penting, seperti mengemudi.

Temuan studi MIT menjelaskan bahwa mata kita hanya dapat melihat dengan jelas di pusat penglihatan kita dan otak “mengisi” sisa informasi di bidang visual. Rata-rata orang dewasa hanya mampu memahami dan memproses tiga atau empat hal secara bersamaan, dan kinerja kognitif semakin menurun ketika kita mencoba memprosesnya. Multitugas mungkin tidak berbahaya ketika kita melakukan sesuatu seperti melipat cucian sambil menonton TV tetapi bisa menjadi bencana besar apabila di tengah tugas-tugas di mana sepersekian detik, seperti mengemudi. Studi ini memperkirakan bahwa gangguan dalam mengemudi menyumbang 50 persen dari semua kecelakaan di jalan.

Pandangan Timur terhadap multitugas

Dalam pengobatan Timur, efek berbahaya dari multi-tugas sudah diketahui dengan baik, tetapi sumbernya   mungkin   tidak biasa. Multitugas terlihat tidak hanya memengaruhi otak saja, tetapi juga limpa. Limpa mendapat sedikit perhatian dalam pengobatan Barat tetapi sangat penting dalam pengobatan Timur. Limpa terletak di kuadran kiri atas perut, merupakan bagian penting dari sistem kekebalan tubuh, dan merupakan organ limfatik terbesar dalam tubuh Dalam pengobatan Timur, limpa dan perut adalah organ utama pencernaan.

Tapi, ini bukan pencernaan dalam pengertian tradisional. Limpa dan lambung mencerna dan memproses tidak hanya makanan dan minuman tetapi semua stimulus yang masuk melalui organ indera kita.

Dalam pandangan ini, limpa berhubungan langsung dengan kapasitas kita untuk memproses informasi. Seberapa baik kita mengelola pikiran, konsentrasi, melatih ketajaman, dan membentuk niat bergantung pada kekuatan limpa.

Ide ini mungkin tampak aneh, tetapi semakin kita belajar tentang kompleksitas yang mustahil dari tubuh manusia, semakin kita belajar bahwa ia berfungsi sebagai satu kesatuan yang sangat terintegrasi. Sekarang diketahui dengan baik bahwa apa yang kita makan memengaruhi suasana hati, dan bagaimana kita bergerak memengaruhi kognisi dan peluang kita mengembangkan Al- zheimer.

Jadi, sementara ilmu pengetahuan Barat menjelaskan multitugas hanya berdasarkan efeknya di otak, penting untuk menyadari bahwa apa yang terjadi di pikiran memiliki efek berjenjang pada tubuh. Dalam pandangan medis Timur, limpa memiliki peran penting dalam proses ini.

Kekhawatiran dan terlalu banyak berpikir keduanya terkait dengan limpa, dan terlalu banyak makan menghambat kemampuannya untuk melakukan fungsi penting dalam tubuh. Ini tidak berbeda dengan penemuan bahwa stres menggeser biokimia tubuh dengan cara yang mendalam, mem- bangkitkan hormon yang berbeda dan mengaktifkan atau mematikan proses yang berbeda. Demikian pula, limpa melemah dari faktor lain, seperti terlalu banyak rangsangan eksternal, membuat seseorang lebih rentan terhadap kekhawatiran yang dapat berkembang menjadi hal-hal seperti kecemasan dan depresi, hal biasa terjadi di dunia modern.

Sama seperti nutrisi atau olahraga yang dapat memengaruhi emosi dan neurologi kita, dalam pandangan Timur, dingin adalah faktor penting yang mengganggu kemampuan limpa untuk mencerna dan memproses dengan baik. Dingin memperlambat, mengeraskan, dan menyempitkan berbagai proses dalam tubuh dan juga terlihat “memadamkan api pencernaan”. 

Memasukkan es ke minuman dan mengonsumsi makanan dingin, terutama es krim, akan melemahkan limpa. Limpa juga memiliki tanggung jawab penting dalam menciptakan Qi (baca: chi), yang merupakan kekuatan energik yang menggerakkan semua proses biologis, jadi menjaganya agar berfungsi secara optimal adalah penting untuk kesehatan seluruh tubuh. 

Qi sebagian besar dibuat dari makanan yang kita makan dan udara yang kita hirup. Dalam pandangan Timur, salah satu cara terbaik untuk mendukung limpa dan memastikan bahwa limpa dapat memproses berbagai rangsangan dengan benar adalah dengan melakukan satu hal pada satu waktu, dan melakukannya dengan niat penuh perhatian. Hal ini memungkinkan  limpa  untuk memfokuskan semua energinya pada tugas yang ada secara efisien tanpa pemborosan.

Salah satu cara untuk mendukung ini adalah dengan mengurangi beban lain pada limpa. Misalnya, Anda dapat mengurangi beban pencernaan dengan makan sup. Ini adalah pemanasan dan membutuhkan sedikit energi untuk dicerna. Itu juga alasan mengapa mereka diresepkan ketika kita sakit, karena tubuh kita perlu menghemat energi untuk melawan patogen yang menyerang.

Kita juga dapat membantu limpa menghemat energi yang berharga dengan mengunyah makanan kita dengan baik. Ini berupa kebiasaan makan secara perlahan, dan penuh perhatian—sambil tidak melakukan hal lain—adalah cara sederhana namun sangat efektif untuk menjaga limpa agar berfungsi dengan baik.

Dengan pemikiran ini, limpa adalah organ yang bekerja terlalu keras dalam konteks gaya hidup modern kita yang sibuk. Kehidupan kita yang terlalu sibuk, makanan olahan yang kompleks, racun lingkungan, dan hiruk pikuk media membuat kita kewalahan. Itu tidak hanya berdampak pada otak, tetapi juga kapasitas terbatas limpa untuk mencerna dan memproses. Melakukan satu hal pada satu waktu dan sering beristirahat adalah penting untuk kesehatan tubuh dan pikiran.

Melanggar kebiasaan

Para ilmuwan menyarankan beberapa cara agar kita dapat menghentikan kebia- saan multitugas.

Hal pertama yang harus dilakukan dalam mengevaluasi semua hal yang ingin Anda capai dan memprioritaskannya. Kemudian lakukan yang paling penting terlebih dahulu dan cobalah untuk mengalokasikan jumlah waktu tertentu untuk itu, seperti satu atau dua jam, sebelum pindah ke tugas berikutnya dalam daftar Anda.

Jadwalkan waktu tertentu dalam sehari untuk melakukan hal-hal seperti memeriksa email, melihat media sosial, dan hal-hal lain yang menurut Anda menarik perhatian Anda. Ini akan memungkinkan pikiran Anda untuk rileks, mengetahui akan melakukan hal-hal itu, tetapi juga memungkinkannya untuk fokus pada tugas yang ada.

Menempatkan ponsel dan perangkat lain yang menyebabkan gangguan di ruangan lain juga dapat membantu menghentikan kebiasaan multitugas. Menghilangkan godaan untuk memeriksa email, atau melihat notifikasi akan membantu otak Anda fokus, tubuh Anda rileks, dan membuat Anda lebih produktif.

Multitugas tampaknya menjadi produk sampingan alami dari hidup di lingkungan yang serba cepat dan memiliki banyak informasi di ujung jari kita. Meskipun ini adalah manfaat luar biasa dari teknologi dan hidup di era informasi, menyeimbangkan berapa banyak yang kita terima pada satu waktu dapat terbukti sedikit lebih menantang.

Fakta bahwa sains menemukan ini tidak baik untuk kita, dan manfaat yang mungkin kita rasakan dari melakukan banyak tugas sekaligus tidak ada, dapat mendorong kita untuk kembali melakukan satu hal pada satu waktu dengan penuh perhatian dan fokus. Lagi pula, tampaknya memang begitulah manusia dirancang.

Emma Suttie seorang dokter akupunktur dan pendiri Chinese Medicine Living— sebuah situs web yang didedikasikan untuk berbagi cara menggunakan kearifan tradisional untuk menjalani gaya hidup sehat di dunia modern. Dia pernah tinggal di 4 negara dan kini membuka konsultasi  Thrive   Consulting.   Dia   juga seorang pecinta alam, seni bela diri, dan suka menikmati secangkir teh yang enak.

Rusia Menyerang Ukraina, Situasi Dunia pun Berubah

Shi Shan

Presiden Rusia, Putin pada 23 Februari lalu mengumumkan pengakuannya atas kemerdekaan dua wilayah Ukraina, yakni Donetsk dan Luhansk yang terletak di Donbass, timur Ukraina, dan dengan alasan menjaga perdamaian, ia mengirim pasukannya ke wilayah tersebut. Setelah itu, keesokan harinya pada 24 Februari pukul 05.30 dini hari, Putin kembali berpidato di televisi, dan mengumumkan bahwa Rusia akan melakukan “operasi militer khusus” di Ukraina.

Putin berkata, “Konfrontasi kami dengan pasukan (Ukraina) ini tidak dapat dihindari, ini hanya masalah waktu saja.” Ia juga menambahkan, tujuan operasi militer Rusia ini adalah untuk melindungi rakyat, Moskow akan melakukan “demiliterisasi dan denazi- fikasi” terhadap Ukraina, serta akan “mengakhiri peperangan di timur Ukraina yang telah berlangsung 8 tahun lamanya”.

Dua wilayah di timur Ukraina itu, Donetsk dan Luhansk, mayoritas penduduknya adalah etnis Rusia. Setelah terjadi revolusi pro-Barat di Ukraina pada 2014 silam, kedua wilayah tersebut mengumumkan “kemerdekaannya”, dan memisahkan diri dari Ukraina. Kelompok milisi setempat dibantu oleh staf militer Rusia, terus melakukan perang melawan pasukan Ukraina selama 8 tahun terakhir ini.

Dalam pidato televisinya Putin mengatakan, ekspansi NATO yang kebablasan dan penggunaan wilayah Ukraina oleh NATO tidak bisa diterima. Sebenarnya inilah tu- juan strategis yang paling penting bagi Putin dalam melakukan aksinya ini. Akan tetapi, invasi Rusia ini telah membuktikan rasa tidak aman yang dirasakan oleh negara-negara kecil di sekitar Rusia bukan tidak beralasan, dan bukan tidak berdasar.

Rusia mengerahkan pasukannya masuk ke negara lain, baik semasa Tsar Rusia, bekas Uni Soviet atau Rusia sekarang, memiliki banyak catatan sejarah. Sebelum invasi, dalam suatu pidato pengumumannya, Putin mendeskripsikan Ukraina sebagai “bagian dari sejarah dan kebudayaan Rusia sejak zaman dulu kala”, merupakan bagian dari “semangat kebangsaan” yang tak terpisahkan.

Nada seperti ini, membuat kita teringat akan berbagai logika keterlaluan PKT (Partai Komunis Tiongkok), juga membuat kita teringat pada perampasan wilayah kedaulatan Tiongkok yang pernah dilakukan oleh Imperium Tsar Rusia dan Uni Soviet dalam sejarah. Di era 1850-an, Tsar Rusia memanfaatkan momentum lemahnya imperium Qing (dibaca: ching) yang tidak berdaya mengawal wilayah utara mereka setelah Perang Candu kedua, dan “Traktat Aigun” dimanfaatkan untuk menguasai 600.000 km persegi wilayah Tiongkok di utara Sungai Heilongjiang, di selatan Stanovoy Range. Pada 1860, Inggris dan Prancis bersekutu menyerang Beijing, pemerintah Kekaisaran Qing pun menandatangani “Konvensi Peking”. 

Berdasarkan “Konvensi Peking”, Tsar Rusia tidak hanya telah mengakui konten “Traktat Aigun”, tapi juga telah merampas wilayah lebih luas lagi termasuk wilayah sebelah timur Sungai Ussuri termasuk Pulau Sakhalin, dengan luas keseluruhan sekitar 400.000 km persegi.

Wilayah ini meliputi Hai Shen Wai (arti: Tanjung Teripang, red.), yang dalam Bahasa Manchu (etnis nomaden di wilayah timur laut Tiongkok) artinya adalah desa nelayan kecil di tepi laut. Kemudian Tsar Rusia mengubah namanya menjadi Vladivostok, yang berarti “Sang penguasa Timur” atau “penaklukan Timur”, juga diartikan sebagai “kota penakluk Timur”.

Antara 1860 hingga 1870, Tsar Rusia memanfaatkan “Protocol of Chuguchak” berikut tiga perjanjian turunannya yakni “Perjanjian Khovd”, “Perjanjian Uliastai” (atau Treaty of Ili), dan “Perjanjian Tarbagatai”, untuk merampas mulai dari wilayah utara Tiongkok dari Pegunungan Abakan sampai ke selatan mencapai Dataran Tinggi Pamir, lalu dari wilayah barat Tiongkok dari Danau Balkhash dan Sungai Talas sampai ke timur mencapai wilayah luar barat laut yakni Ili dan Prefektur Tacheng, luasnya sekitar 440.000 km persegi. Pada 1881 dan 1882, lewat “Traktat Ili” (atau Traktat St. Petersburg, red.) dan “Traktat Perbatasan Ili”, Tsar Rusia kembali merampas 70.000 km persegi wilayah di barat laut Tiongkok.

Pada 1892, Tsar Rusia menyerang dan menduduki wilayah Pamir yang terletak di barat Puncak Sarikol. Pada 11 Maret 1895, Tsar Rusia dan Kerajaan Inggris menandatangani kesepakatan, membagi wilayah Pamir dengan luas masing-masing sekitar 20.000 km persegi.

Pada 1896, Tsar Rusia dan Dinasti Qing menandatangani “Li-Lobanov Treaty” (atau Sino-Russian Secret Treaty, red.), yang memaksa peminjaman pemakaian wilayah Pelabuhan Laut Dalian dan Distrik Lüshunkou.

Pada 1900, meletusnya Pemberontakan Boxer telah memicu masuknya pasukan Aliansi Delapan Negara (peristiwa Pengepungan Legasi Internasional, red.), Tsar Rusia melakukan pembantaian terhadap warga Tiongkok di wilayah Hailan Boo di Heilongjiang, serta terhadap 64 Desa Timur Sungai (64 Villages East of the River, red.), yang kemudian dikenal dengan peristiwa “1900 Amur Anti-Chinese Pogroms”, menimbulkan korban jiwa ribuan warga Tiongkok meninggal dunia. Dinasti Qing pun kehilangan kedaulatan dan hak untuk tinggal atas penduduk dari 64 Desa Timur Sungai itu, total luas wilayahnya mencapai 3.600 km persegi. Pada Oktober tahun yang sama, Tsar Rusia kembali menguasai keseluruhan wilayah “Dergi Ilan Golo” (tiga provinsi timur laut Tiongkok, red.).

Pada 1902, Tiongkok dan Rusia menandatangani “Kesepakatan Rusia-Tiongkok Atas Manchuria (3 provinsi di timur laut Tiongkok)”, disetujui penarikan pasukan Rusia dari wilayah “Dergi Ilan Golo” dibagi menjadi tiga tahap, dengan jeda waktu 6 bulan. Akan tetapi setelah kesepakatan ditandatangani, Tsar Rusia tidak menarik pasukannya, sehingga membuat pihak Jepang berang. Pada 1903, perang antara Jepang dengan Rusia pun meletus. Tsar Rusia kalah perang, maka pada 1905 antara Rusia dan Jepang ditandatangani “Perjanjian Portsmouth”, yang isinya menyerahkan sebagian besar wilayah “Dergi Ilan Golo” kepada Jepang. Setelah itu Jepang menyerahkan kembali seluruh wilayah timur laut tersebut kepada pemerintah Manchuria, dengan luas wilayah 1,26 juta km persegi, bisa dibilang mendapatkan kembali setelah kehilangan.

Sejak 1911, Tsar Rusia memulai aksi kolonialnya di wilayah Tannu Uriankhai. Pada 1919, dengan terjadinya Revolusi Rusia, Pemerintah Beiyang (juga dikenal dengan nama Pemerintahan Bejing adalah nama sistem pemerintahan dan periode sejarah yang mengacu pada awal berdirinya Republik Tiongkok antara 1912-1928 dengan ibu kotanya di Beijing, yang merupakan pemerintah pusat Tiongkok pada waktu itu) berhasil menguasai Tannu Uriankhai untuk jangka waktu yang cukup pendek. 

Pada 1921, Tentara Merah Soviet berhasil menumpas seluruh pasukan Tentara Putih (Whites Movement, red.) yang bermarkas di Mongolia Luar, lalu mendirikan rezim Soviet di Tannu Uriankhai. Waktu itu, Tannu Uriankhai menyatakan kemerdekaannya, dan pada Oktober 1944, Tannu Uriankhai dengan luas wilayah 170.000 km persegi, dengan nama kenegaraan Republik Rakyat Tuva, mengumumkan bergabung dengan Uni Soviet. Pada 25 Juli 1919, negara Soviet Rusia mengeluarkan “Deklarasi Pertama Terhadap Tiongkok”, yang menyatakan bahwa Mongolia Luar adalah sebuah negara yang merdeka, dan menyatakan hendak menjalin hubungan diplomatik dengannya.

Pada 1921, memanfaatkan kekacauan era panglima perang (war lord) di dalam negeri Tiongkok, Tentara Rakyat Mongolia yang didukung oleh Partai Komunis Uni Soviet, dengan bantuan dan dukungan dari Tentara Merah Soviet Rusia menyerang, dan berhasil menduduki Kota Altanbulag di Mongolia Luar. Maka sejak saat itu, kekuasaan Tiongkok atas wilayah Mongolia Luar pun telah lenyap sepenuhnya.

Pada 1941, Uni Soviet dan Jepang menandatangani “Pakta Netralitas Soviet- Jepang”. Kedua belah pihak menyatakan bersama: Untuk menjaga hubungan persahabatan kedua negara. Uni Soviet menjamin akan menghormati keutuhan wilayah kedaulatan “Manchuria”, dan tidak akan menginvasinya, pihak Jepang menjamin akan menghormati keutuhan wilayah kedaulatan “Republik Rakyat Mongolia”, dan tidak akan menginvasinya. Kedua negara bertransaksi dengan menggunakan wilayah yang merupakan milik Tiongkok, dan melakukan gencatan senjata.

Pada Februari 1945, dua negara yakni AS dan Inggris tanpa memberitahu Republik Tiongkok dan negara sekutu lainnya, telah menandatangani “Kon- ferensi Yalta” dengan Uni Soviet terkait masalah Mongolia Luar dan kedaulatan Tiongkok. Selain meminta Uni Soviet mengirim pasukan ke timur laut, juga menetapkan: “Tetap mempertahankan kondisi Mongolia Luar (Republik Rakyat Mongolia) saat ini.”

Setelah Jepang menyerah tanpa syarat, pemerintahan nasionalis (Republik Tiongkok) dipaksa untuk menerima kemerdekaan Mongolia Luar, dengan luas wilayah 1,56 juta km persegi.

Keseluruhan luas wilayah yang telah dirampas oleh Tsar Rusia dan Uni Soviet dari Tiongkok mencapai 3,26 juta km persegi. Di antaranya, Tannu Uriankhai dan Mongolia Luar “memerdekakan diri” atas inisiatif sendiri, sebenarnya sangat mirip dengan kemerdekaan Donetsk dan Luhansk yang terletak di Distrik Donbass di timur Ukraina saat ini. Rusia telah menginvasi Ukraina, dan melakukan aksi perang berskala lebih besar, kemudian AS dan Eropa akan campur tangan, paling-paling Rusia hanya angkat kaki saja dari Ukraina dan wilayah lain, tapi tetap mempertahankan legitimasi kekuasaannya atas kedua distrik tersebut dan Krimea. Ini disebut membuat target setinggi mungkin, mendapat hasil yang cukup memuaskan.

Invasi Putin, Rusia terhadap Ukraina, jelas telah merusak keseluruhan tatanan internasional saat ini, dan menimbulkan ancaman luar biasa besar terhadap masa depan dunia.

Tatanan internasional yang diterapkan saat ini, terbentuk berdasarkan kondisi pasca berakhirnya PD-II. Dengan kata lain, perbatasan negara yang berdaulat saat ini, pada dasarnya adalah hasil dari PD-II. Sebelum PD-II, antar suku bangsa dan negara sekitarnya di dunia telah terjadi peperangan dan perampasan, saling menyerang dan bertahan. Jika semua pihak menggunakan “sejak dulu” sebagai patokan, maka konflik di dunia ini tidak akan pernah berakhir.

Ukraina diakui sebagai negara yang merdeka, paling lambat adalah di era 1920-an, jauh sebelum PD-II. Jika kedaulatan Ukraina tidak dihormati, dan wilayahnya bisa dicaplok, sementara masyarakat internasional diam saja, atau tidak berdaya, maka dunia ini akan menjadi kacau karenanya. Inilah alasannya Five Eyes yang diketuai oleh AS dan negara Eropa tidak bisa tenang atas peristiwa Ukraina.

Tapi sebaliknya, selama lebih dari dua dekade terakhir, tren memusuhi Rusia di Eropa maupun Amerika, serta tindakan mengabaikan Rusia, juga merupakan satu alasan besar krisis Rusia-Ukraina kali ini. Sebelumnya telah dibahas soal ekspansi NATO ke timur, juga telah dibahas di kalangan elite AS dan Eropa, bersandiwara dengan berpusat pada ideologi anti-Rusia. 

Seperti kasus “Russia Gate” yang ditudingkan pada Trump yang sempat menggemparkan AS namun kemudian tak berujung pangkal, berbagai media massa besar heboh memberitakannya, membesar- besarkan dan menambah bumbu, hampir tidak ada yang tidak dilakukannya, tujuannya adalah mengakhiri karir politik Trump. Premis yang diisyaratkan dalam aksi konspirasi ini adalah, siapa pun yang berhubungan baik dengan Rusia, maka dia adalah orang jahat, dan tentu saja berarti bahwa Rusia juga adalah orang jahat.

Saat diwawancara, Trump mengatakan: “Jika saya yang menjabat, dipastikan tidak akan terjadi hal itu. Mereka memang sangat buruk, tapi hubungan Putin dengan saya sangat baik, saya menghormatinya.” 

Banyak orang merasa perkataan Trump seperti ini sangat konyol, tapi bahkan di pentas internasional pun, kecerdikan seorang pebisnis seperti Trump ini kadang kala juga sangat berguna. Namun kalangan liberal di AS dan Eropa tidak berpikir demikian. 

Selain alasan sejarah, para liberalis di Eropa dan AS, juga mempunyai alasan realistis sehingga harus menentang Rusia. Putin beraliran konservatif, menjunjung tinggi kedaulatan, tidak menerima berbagai macam teori dari kalangan progresif, termasuk gerakan transgender, gerakan hijau, juga menentang perampasan kedaulatan negara oleh kelompok berkepentingan globalisasi, dan lain sebagainya.

Setelah Uni Soviet runtuh, perekonomian Rusia pun kandas, status internasionalnya merosot drastis, PDB Rusia hanya setara dengan satu provinsi makmur di Tiongkok, dan jauh di bawah sebuah negara bagian besar di AS. Hal ini pun semakin memperparah penghinaan elite AS dan Eropa terhadap Rusia. 

Namun Rusia tetap mewarisi kekuatan militer yang dominan dan gudang senjata nuklir bekas Uni Soviet. Ada ungkapan mengatakan, kapal bobrok pun masih memiliki tiga kilogram paku, unta mati pun lebih besar daripada kuda, setelah terdesak oleh lawan yang terus melecehkannya, Rusia pun mulai membalas tanpa menghiraukan konsekuensi apa pun, apalagi Rusia telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana pasukan AS sebagai kekuatan militer nomor satu di dunia itu hengkang dari Afghanistan dengan mengenaskan.

Namun kaum progresif di Eropa maupun AS, sehari-harinya dengan semangat berseru paling lantang, tapi begitu terjadi krisis, tidak berdaya apa pun. Setidaknya, sekarang kita bisa melihat, yang ada hanyalah sanksi ekonomi yang berkelanjutan, tapi tidak ada tindakan bombastis yang konkret.

Rusia dan Ukraina sedang dilanda krisis peperangan, perang ini baik berskala besar ataupun kecil, dunia akan berubah karenanya. Mengutip sebuah kalimat dari “Kisah Tiga Negara” (Sam Kok, red.), hal besar di dunia ini, setelah lama berdamai pasti akan berseteru, setelah lama berseteru pasti akan berdamai. Mungkin itulah kehendak Ilahi, apa daya kehendak manusia? (sud)

Suatu Perang yang Tidak Ditentukan oleh Ukraina

oleh He Qinglian

Perang Rusia-Ukraina masih berlangsung, dan yang hendak dilakukan Rusia adalah melakukan perang terbatas. Sasarannya sangat jelas, yakni menuntut Ukraina tetap bersikap netral, dan setelah situasi terkendali kemungkinan besar Rusia akan mendukung sebuah pemerintahan baru Ukraina yang pro-Rusia untuk menggantikan pemerintahan sekarang. 

Pada 25 Februari lalu Presiden Ukraina mengemukakan permintaan negosiasi dengan syarat Ukraina tetap bersikap netral, yang mana sesuai permintaan Rusia; namun AS dan Eropa kembali menyatakan Rusia bersiap menguasai Ukraina sepenuhnya, dan mereka sama sekali tidak tertarik dengan negosiasi, selain tidak mengirim pasukan secara langsung, akan memberikan dukungan menyeluruh bagi Ukraina, serta berharap Ukraina dapat terus melawan Rusia dalam jangka waktu panjang. Presiden Ukraina akhirnya juga menyadari, walaupun negaranya adalah salah satu penyebab meletusnya peperangan, namun kekuasaan penentuan tidak berada di tangannya.

Rusia Terus Bersiap Membangkitkan Kembali Kehormatan Soviet

Setelah Uni Soviet runtuh, tak lama setelah warga Rusia bersorak atas demokratisasi, dengan cepat mereka kembali merasa kehilangan dengan tidak adanya lagi kejayaan Uni Soviet, sejak awal Putin telah berupaya merebut kembali sebagian dari pengaruh di era Uni Soviet serta wilayah yang dimiliki atau dikendalikan oleh Uni Soviet sebelumnya. Sejak meletusnya krisis Krimea pada 2014 silam, proses ini terus bergulir cepat.

Kali ini keunikan dari perang Rusia-Ukraina adalah: Dilihat dari pihak Rusia yang mengobarkan perang, ini adalah suatu ajang perang terbatas yang telah diperhitungkan cermat dari berbagai aspek serta telah dipilih momentumnya secara tepat, serta dengan mengumumkan sasarannya secara bertahap; dilihat dari pihak Ukraina yang bertahan, negara yang mendukungnya mencapai puluhan negara, dengan persiapan opini yang makan waktu paling panjang, frekuensi persiapan yang paling banyak, tapi sesungguhnya justru merupakan suatu ajang perang yang paling tidak dipersiapkan dengan baik.

Selama lebih 20 tahun Putin berkuasa, akhirnya telah tiba waktu yang terbaik yang dinantikannya selama ini: pertama, baik AS maupun Eropa, sedang berada pada jalur merosotnya kekuatan negaranya. Kemunduran Eropa telah mencapai belasan tahun lamanya, dampak jangka panjang dan pukulan akibat arus pengungsi pada 2015 terhadap Eropa, telah dibuktikan oleh seorang penulis sekaligus kritikus Inggris yakni Douglas Murray dalam bukunya yang berjudul “The Strange Death of Europe: Immigrations, Identity, and Islam”.

Dan terhadap kondisi di AS, sejak Putin berpidato pada acara tahunan yang diadakan Valdai Discussion Club pada 21 Oktober 2021 lalu — yakni yang disebut “Valdai Speech of Vladimir Putin”, konten pidato tersebut telah melontarkan kritik yang singkat padat dan berbobot terhadap kaum “progresivisme” dan ideologi sayap kiri di Barat. Jika dikatakan “Timur bangkit Barat Runtuh” dari Xi Jinping adalah semacam generalisasi, maka “Valdai Speech of Vladimir Putin” menunjukkan, betapa dia sangat memahami hingga demikian rinci akan kemerosotan yang sedang dialami oleh Barat.

Perang yang dikobarkan terhadap Ukraina, adalah sebuah aksi yang sudah lama direncanakan oleh Putin. Agresi militer kali ini, selain berdasarkan pada pemahamannya terhadap kekuatan militer Ukraina, juga berlandaskan pada satu penilaiannya: Yakni NATO dan AS tidak akan campur tangan dalam perang Rusia-Ukraina. Selain dari pernyataan sikap yang terus menerus oleh berbagai negara Uni Eropa dan pemerintah Biden di AS, ada satu lagi faktor penting yang membantu penilaiannya itu: surat kabar “New York Times” pada 25 Februari lalu memberitakan, menurut penuturan pejabat AS, selama tiga bulan terakhir, pejabat tinggi pemerintahan Biden dan pejabat tinggi Tiongkok telah mengadakan enam kali pertemuan darurat. Di dalam pertemuan tersebut AS membeberkan data intelijen yang menunjukkan Rusia tengah mengepung Ukraina dengan mengonsentrasikan pasukannya, dan memohon pada pihak Tiongkok agar membujuk Rusia untuk tidak melakukan agresi. RRT yang tidak terlalu memahami perilaku “nyeleneh” AS itu, dan jika ditelaah dari situasi saat ini, seandainya Tiongkok menyampaikan sepenuhnya maksud AS tersebut kepada Putin, hal itu hanya akan semakin memperkuat satu keyakinan Putin, yaitu AS dipastikan tidak akan campur tangan secara militer.

Sedangkan mengenai alasan AS mengapa meminta pertolongan Tiongkok selaku teman sekutu Rusia untuk menjadi juru bicaranya, sepertinya motivasi di baliknya agak rumit, tapi pasti bukan suatu kebodohan.

Negara Barat Telah Kecewakan Ukraina

Pihak Ukraina tentu saja sangat bisa merasakan ancaman militer Rusia, tapi penilaian Ukraina dalam hal apakah pihak Barat akan campur tangan, justru kebalikan dari Putin. Walaupun Jerman dan Prancis secara tegas menolak Ukraina bergabung dalam NATO, tapi Ukraina masih sangat berharap.

Dari pertimbangan geopolitik, Ukraina merupakan kawasan penyangga atau buffer zone, negara yang berada di kawasan semacam ini akan memilih untuk bersikap netral, jika dimainkan secara efektif, akan menjadi kartu as politik untuk menyeimbangkan hubungan antara kedua sisi. Tapi hubungan Ukraina-Rusia selama lebih dari tiga abad terakhir telah dipenuhi dengan dendam kesumat, ditambah lagi peristiwa Krimea 2014 semakin memperdalam kebencian Ukraina terhadap Rusia dan Putin, oleh sebab itu mereka berupaya mendekat dengan Uni Eropa, berharap dapat bergabung dengan Uni Eropa dan menjadi negara anggota NATO, demi mendapatkan perlindungan dari Uni Eropa. 

Dari sudut pandang rakyat Ukraina, karena Ukraina merupakan negara termiskin di Eropa Timur, setelah bergabung dengan Uni Eropa, maka warga Ukraina akan mendapat bonus berupa kemudahan bebas keluar masuk di berbagai negara Uni Eropa untuk mendapatkan pekerjaan. Orang yang pernah berinteraksi dengan orang Ukraina pasti tahu, begitu bicara soal sikap netral antara Rusia dengan Eropa, hampir dipastikan akan selalu menuai suara tentangan yang sengit. Pemerintah Ukraina adalah pemerintah pilihan rakyat, kebijakan luar negerinya tentu harus sesuai dengan aspirasi rakyatnya, jika tidak, maka pasti akan mendapat kritikan pro-Rusia dan kehilangan kewibawaan politiknya.

Perhitungan Untung-Rugi Masing-masing Pihak

Perang kali ini melibatkan tiga pihak, yakni: Ukraina, Rusia, Uni Eropa bersama AS.

Tujuan Rusia disebutkan dengan sangat jelas, yakni: Menuntut Ukraina bersikap netral, dan tidak memberi izin kepada negara mana pun untuk menempatkan pasukannya di Ukraina, tujuannya adalah menghentikan ekspansi NATO ke timur (yang sudah lima kali ekspansi ke timur). Kepentingannya dalam hal ini, pikirkan saja alasan Presiden AS John F. Kennedy tidak segan-segan mengobarkan perang untuk tidak membiarkan Uni Soviet menempatkan rudalnya di Kuba, maka akan dapat dipahami: Siapa yang mau pintu rumahnya dibidik dengan meriam besar oleh pihak lain?

Berbagai negara Eropa berharap antara pihaknya dengan Rusia terdapat sebuah batas penghalang, untuk meredakan tekanan, Ukraina berinisiatif mengubah sikap netralnya, tentu saja hal ini yang paling diharapkan oleh Uni Eropa. Uni Eropa telah bertekad: begitu Rusia merebut Ukraina, maka krisis pasti akan beralih pada keamanan tiga negara Baltik. Karena negara Baltik dan Polandia telah membentuk sayap strategis timur yang sensitif bagi NATO. 

Keterlibatan militer NATO di kawasan tersebut, adalah salah satu fokus utama persengketaan Rusia dengan NATO, Putin menentang NATO ekspansi ke timur dengan negara yang berbatasan wilayah langsung dengan Rusia, serta menuntut agar NATO mempertimbangkan kembali penempatan pasukannya di kawasan tersebut. Dilihat dari kondisi saat ini, itu akan membuat Putin terjebak dalam perang rakyat dalam skala besar, juga dapat memicu kemarahan dunia terhadap Rusia, sekaligus mengikis kekuatan negara Rusia, tapi ada satu berita yang bisa dijadikan bukti penilaian ini: Pada 26 Februari pukul 4 dini hari Zelenskyy menulis di akun Twitter-nya, sangat berbeda dengan sikap dua hari sebelumnya untuk bernegosiasi dengan Rusia, menyatakan Ukraina harus menjadi bagian dari Uni Eropa (Ukraine must become part of the European Union) — ini menandakan, antara Zelenskyy dengan Uni Eropa ada perundingan baru.

AS & Eropa Hendak Jadikan Ukraina Sebagai Kuburan Putin

Pada saat Zelenskyy lewat pidato daring menyatakan akan berunding dengan Rusia tentang sikap netral Ukraina, dan masyarakat tengah mengecam keras AS dan Uni Eropa bahkan tidak mampu dengan segera memberikan sanksi, terjadilah tiga peristiwa:

Pada 24 Februari, AS mengumumkan akan menempatkan 7.000 orang pasukan AS di negara Baltik. Biden juga menyatakan, sebagai bagian dari tindakan antisipasi NATO, dirinya telah memberikan otorisasi untuk mengirimkan “tambahan pasukan AS” kepada Jerman, termasuk sejumlah pasukan AS yang telah berada disana beberapa minggu lalu.

Pada 25 Februari, NATO mengumumkan, untuk pertama kalinya dalam sejarah NATO Response Force telah diaktifkan. Menurut komandan tertinggi pasukan sekutu NATO yakni Jenderal Tod Wolters, menginisiasi pasukan multi-nasional yang terbentuk dari kesatuan AD, AU dan AL serta pasukan khusus dari semua negara sekutu, dapat dengan cepat melakukan penempatan untuk mendukung negara anggota NATO — masyarakat menilai ini hanyalah gertakan, mengapa tidak langsung mengerahkan pasukan langsung terjun ke dalam pertempuran dan menyelesaikan krisis Ukraina? Dengan mengirim AU melakukan bombardir pun dapat menghalau Rusia.

Pada 25 Februari, Gedung Putih meminta kongres agar meloloskan dana bantuan sebesar USD 6,4 miliar untuk mengatasi krisis Ukraina pasca serangan Rusia, antara lain termasuk bantuan keamanan dan kemanusiaan sebesar USD 2,9 Miliar serta bantuan bagi Kementerian Pertahanan sebesar USD 3,5 Miliar — ini adalah gerakan awal berharap akan terjadi perang menyeluruh. Jika perundingan Rusia-Ukraina berhasil, Ukraina berjanji akan bersikap netral, Rusia akan menarik pasukannya, maka AS hanya perlu memberikan dana sebesar USD 1 Miliar.

Pada 26 Februari, Jerman telah memberikan wewenang bagi Belanda untuk mengirimkan 400 unit RPG (Rocket Propelled Grenade = Granat Berpeluru Roket) “Stinger” kepada Ukraina, untuk membantu pasukan Ukraina dalam melawan pasukan Rusia.

Tiga berita tersebut, menandakan baik pemerintah Eropa maupun Amerika berharap agar Ukraina dapat bertahan selama beberapa saat, semakin lama akan semakin baik.

Berikut Ini Rangkuman Garis Besarnya:

Sasaran serangan langsung Putin adalah Ukraina, yang diincarnya adalah ekspansi NATO ke timur, tujuan utamanya adalah memaksa Ukraina bersikap netral, pada saat yang tepat akan didirikan pemerintahan yang pro-Rusia — pada masa PD-II pemerintah komunis berbagai negara juga diusung oleh Uni Soviet dengan bedil dan meriam, bisa jadi penerus “pemerintahan baru Ukraina” telah dipersiapkannya. Oleh sebab itu Putin harus cepat memulai dan cepat mengakhiri, penasihatnya mengatakan, rencana awalnya adalah merebut Ukraina dalam tempo dua minggu, jika tidak, kekuatan oposisi di dalam negeri akan memanfaatkan peluang itu untuk membuat kerusuhan, yang dapat membahayakan posisi Putin.

Uni Eropa dan AS tentu saja juga telah melihat hal ini. Beberapa hari terakhir banyak analisa di media massa yang menelisik dari sudut pandang ini, berharap Putin terjebak dalam samudera perang rakyat warga Ukraina, membuatnya terjerumus tak berdaya, hingga pada akhirnya kerusuhan di Rusia akan menyeret Putin turun dari jabatannya, Rusia tanpa Putin, laiknya macan tua yang sudah ompong. Tapi jika Rusia dan Ukraina dibiarkan berunding sekarang, dan Ukraina dipaksa untuk bersikap netral, maka berikutnya yang akan berhadapan langsung dengan Rusia adalah tiga negara Baltik dan Polandia yang merupakan sayap NATO, ini adalah kondisi yang paling tidak ingin disaksikan oleh NATO. 

Walaupun Uni Eropa tidak bersedia mengirim pasukan, tapi juga harus mengerahkan berbagai cara memberikan bantuan dan perlengkapan militer bagi pasukan Ukraina, agar Ukraina mampu bertahan, sedangkan harga yang harus dibayar Ukraina sudah tidak dipertimbangkan lagi. Uni Eropa juga telah mengumumkan akan menerima pengungsi dari Ukraina, dan memberikan jalur penyelamatan diri bagi mereka, setidaknya agar tidak memicu kebencian yang ditujukan kepada mereka.

Pada Saat ini, bagaimana menentukan pilihan, sepenuhnya berada di tangan pemerintah Kiev.

1. Berunding dengan Rusia, memastikan sikap netral, mengakhiri perang;

2. Membuat Ukraina menjadi ajang perang yang akan mengubur karir politik Putin, yang harus dibayar oleh Ukraina dengan sangat mahal, hadiah dari Uni Eropa dan NATO adalah menerima Ukraina menjadi anggotanya, dan sejak saat itu menjadi tameng bagi daratan Eropa dalam menghadapi Rusia.

Kalau pada masa biasa, bisa dilakukan referendum; sekarang tidak bisa dilakukan referendum, hanya bisa mengandalkan keputusan Zelensky. Diperkirakan sampai detik ini, dia telah memahami strategi negara Barat. Namun, bagaimana Zelenskyy menentukan pilihan, sangat erat hubungannya dengan oleh pihak mana dirinya akan dikendalikan di kemudian hari. Sang pengendali akan dapat mewakilinya menyampaikan aspirasi. (sud)

Hong Kong Memecahkan Rekor 30.000 Kasus COVID-19 Berturut-turut, New York State Hentikan Mandat Wajib Masker dan Vaksin

Li Mei dan Mingyu 

Pada Selasa 1 Maret, tak termasuk daratan Tiongkok, lebih dari 437 juta jiwa di seluruh dunia didiagnosis dengan COVID-19. Sekitar 5,95 juta jiwa meninggal dunia.

Hong Kong mencatat lebih dari 32.000 kasus COVID-19 baru pada  hari itu. Angka tersebut melampaui 30.000 kasus dalam sehari  berturut-turut, dan 117 kasus kematian baru.

Atas lonjakan kasus COVID-19, warga setempat  khawatir  pihak berwenang akan menerapkan blokade selama periode test COVID-19. Akibatnya, di supermarket seperti daging, buah-buahan dan sayuran, mie instan, dan makanan kemasan akhirnya terjual habis.

“Ini kacau. Pemerintah selalu melakukan kesalahan. Ini hanya membuat semua orang khawatir. Semua orang panik,” kata Chun Yam, seorang Penduduk Hong Kong.

Hingga akhir Februari, Hong Kong memiliki lebih dari 200.000 kasus yang dikonfirmasi dan 744 kasus kematian.

Pemerintah mengatakan, meskipun ada lebih dari 3.000 kamar mayat umum, akan tetapi masih tidak cukup. Sedangkan pihak berwenang menyewa sektor swasta untuk menangani jenazah.

“Di Otoritas Rumah Sakit, kami memiliki situasi di mana ada lebih dari 3.000 kamar mayat, tetapi ada hambatan dalam proses pemindahan jenazah dari ruang gawat darurat ke kamar mayat umum,” kata seorang manajer administrasi umum Otoritas Rumah Sakit Hong Kong, Dr. Larry Lie.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) pada Senin 1 Maret menaikkan tingkat siaga Hong Kong dari satu menjadi tiga, tertinggi kedua, sambil menyarankan warganya yang belum divaksinasi agar tidak bepergian ke Hong Kong.

Menurut statistik terbaru dari CDC AS, dalam 24 jam terakhir di Amerika Serikat, ada 10.000 kasus baru yang dikonfirmasi dan 193 kasus kematian, yang merupakan angka terendah terbaru sejak meledaknya Omicron.

Mulai Rabu 2 Maret, Negara Bagian New York akan mencabut persyaratan untuk menunjukkan bukti vaksinasi dan mencabut  wajib masker dalam ruangan di seluruh negara bagian di sekolah umum, yang memungkinkan daerah untuk menetapkan peraturan terkait masker.

Walikota New York,  Eric Adams mengumumkan bahwa langkah-langkah di atas akan ditindaklanjuti pada 7 Maret, dan keputusan akhir diharapkan pada hari Jumat.

Penyelenggara komunitas New York menyambut baik langkah tersebut.

Zhang Donghui, pendiri Persatuan Penduduk New York berkata : “Saya pribadi menyambutnya. Sekitar setengah dari negara bagian di Amerika Serikat tidak pernah menerapkan mandat vaksin wajib atau mandat masker wajib dari awal hingga saat ini.” (hui)

Seminggu Setelah Invasi : Pasukan Rusia Diblokir di Darat, Serangan Udara Diluncurkan di Kota-kota Besar Ukraina

Jin Shi

Seminggu sejak Rusia menginvasi Ukraina, tetapi pasukan darat masih belum menguasai kota besar Ukraina. Tentara Rusia tampaknya telah mengubah strateginya saat ini hingga meningkatkan intensitas serangan udara. Banyak kota besar di Ukraina telah diserang dengan parah.

Pada 2 Maret 2022, tentara Rusia terus meningkatkan pengeboman di kota-kota besar di Ukraina.

Kota terbesar kedua, Kharkiv, terus menjadi sasaran pemboman terberat. Kantor polisi juga dilalap api pada Rabu, menyusul serangan terhadap gedung administrasi sehari sebelumnya. Daerah ini penuh dengan puing-puing setelah pengeboman.

Seorang pria mengatakan dia melihat banyak mayat setelah sebuah bangunan tempat tinggal dibom.

Rusia mengklaim mengambil alih kota besar pertamanya, Kherson, pada Rabu. Ukraina, bagaimanapun, menyangkalnya. Ukarina mengatakan kedua pihak sedang berperang.

Rusia juga mengatakan  mengambil alih pembangkit listrik tenaga nuklir terbesar Ukraina, pembangkit listrik tenaga nuklir Zaporozhye, tetapi Ukraina juga membantahnya. 

Parlemen Ukraina mengunggah video yang mengatakan penduduk dan karyawan pembangkit listrik tenaga nuklir mencegah pasukan Rusia memasuki kota.

Ibukota Ukraina, Kyiv, masih melawan di bawah tembakan artileri yang semakin sengit.

Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky mengatakan “Rudal tidak bisa mengalahkan Ukraina, bom tidak bisa mengalahkan Ukraina, tank, serangan udara tidak bisa, kami tetap di tanah kami.”

Secara umum diyakini bahwa peningkatan serangan udara tentara Rusia disebabkan oleh lambatnya kemajuan pasukan darat. Amerika Serikat mengatakan bahwa konvoi militer Rusia, yang membentang lebih dari 60 kilometer di luar Kyiv, hampir tidak bergerak dalam sehari terakhir karena pasokan yang tidak mencukupi.

Kementerian Pertahanan Rusia pada Rabu, juga mengungkapkan jumlah korban sejak invasi untuk pertama kalinya.

Juru bicara Kementerian Pertahanan Rusia, Igor Konashenkov mengatakan 498 tentara tewas dalam menjalankan tugas.

Ukraina mengatakan bahwa 6.000 tentara Rusia tewas. Saat ini, dunia luar belum bisa secara independen mengonfirmasi klaim kedua pihak tersebut.

Rusia  mengirimkan delegasi ke Belarus untuk mempersiapkan putaran kedua pembicaraan damai. Namun demikian, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengatakan bahwa jika tentara Rusia benar-benar menginginkan pembicaraan damai, mereka harus menghentikan pengeboman terlebih dahulu.

Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky berkata : “Kami terbuka untuk berdialog, tetapi pengeboman terhadap warga sipil setidaknya harus dihentikan dulu.”

Pada Rabu, Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi yang mengutuk agresi Rusia terhadap Ukraina.

Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres menuturkan: “Akhiri permusuhan di Ukraina dengan gencatan senjata segera dan buka pintu untuk dialog diplomatik.”

Lima negara termasuk Rusia, Belarusia, dan Korea Utara memberikan suara menentang resolusi tersebut, dan Tiongkok abstain dari pemungutan suara. (hui)

 

Gedung Putih Pantau Posisi Beijing dalam Konflik Rusia-Ukraina

NTDTV.com

Konflik antara Ukraina dan Rusia menjadi sorotan dunia. Masyarakat bebas mulai menjatuhkan sanksi  lebih keras kepada Rusia. Peran inti Amerika Serikat memiliki dampak penting pada perubahan situasi ini.

Presiden Rusia Vladimir Putin pada Minggu 27 Februari memerintahkan pasukan nuklir militer Rusia untuk disiagakan. Dewan Keamanan PBB menggelar pertemuan darurat pada Senin 28 Februari. Sedangkan Gedung Putih terus fokus pada peran Beijing.

Sekretaris pers Gedung Putih, Jen Psaki meminta pihak berwenang Beijing pada hari Minggu untuk mengutuk invasi Rusia ke Ukraina.

Dia mengatakan bahwa Presiden AS Biden tidak menutup kemungkinan untuk berbicara dengan Xi Jinping.

Beijing telah menolak menyebut tindakan Moskow sebagai invasi, yang dikritik Biden dengan syarat anonim pada pekan lalu.

Pada 1 Maret, Biden akan menyampaikan pidato kenegaraan pertamanya sejak menjabat.

Tahun ini bertepatan dengan pemilihan paruh waktu Kongres AS, sementara peringkat persetujuan Biden menurun drastis. Pemerintah AS menghadapi banyak tantangan seperti urusan internal, diplomasi, dan pandemi. Diharapkan pidato Biden akan fokus pada bidang-bidang seperti ekonomi, pandemi dan konflik Ukraina-Rusia.

Dunia  memantau bagaimana Biden, dalam pidatonya, menguraikan ancaman Beijing terhadap Amerika Serikat, dunia liberal dan demokrasi Barat. (Hui)

Pasukan Ukraina Berhasil Menumpas Komando ‘Republik Chechnya’ yang Mencoba Membunuh Volodymyr Zelensky

oleh Zhang Ruizhen 

Fox News melaporkan pada 1 Maret bahwa komando “Republik Chechnya” yang mencoba membunuh Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, telah ditumpas oleh pasukan keamanan Ukraina. Demikian ungkap Oleksiy Danilov, Sekretaris Jenderal Dewan Keamanan Nasional Ukraina kepada televisi lokal saat invasi Rusia memasuki hari ketujuh.

Oleksiy Danilov mengatakan bahwa anggota Dinas Keamanan Federal Rusia yang menentang perang mengungkapkan, rencana pembunuhan kepada mereka karena orang-orang Rusia ini tidak bersedia mengambil bagian dalam perang yang berdarah ini.

Lebih jauh Danilov mengatakan, komando pembunuhan yang dikirim oleh Republik Chechnya yang berada di bawah Rusia dipecah menjadi dua kelompok, dengan satu kelompoknya yang telah ditumpas di Gostomel, wilayah Kyiv, sedangkan kelompok lainnya masih sedang diserang.

Pada 1 Maret John Spencer, seorang cendekiawan di Institute of Modern Warfare di Akademi Militer Amerika Serikat di West Point mengatakan : “Kesalahan terbesar (Rusia) adalah meremehkan perlawanan yang akan mereka hadapi, jadi pasukan Rusia mereka mencoba merebut wilayah-wilayah kunci Ukraina melalui tiga tempat, Itu adalah salah perhitungan.”

Reuters mengutip ucapan seorang pejabat senior Kementerian Pertahanan AS melaporkan pada 2 Maret, bahwa pasukan Rusia yang menyerang Kyiv telah terhenti dan mereka sedang menghadapi tantangan logistik, termasuk kekurangan pasokan bahan bakar dan makanan, sehingga moral sebagian prajuritnya melorot. Meskipun mungkin saja mereka menangguhkan laju pasukannya karena alasan mengevaluasi kembali taktik penyerangan.

Warga sipil tanpa pandang usia di seluruh Ukraina menggunakan cara mereka sendiri untuk menghalangi invasi Rusia. Para wanita dan anak-anak juga membantu menenun perlengkapan militer, dan banyak orang mengambil inisiatif untuk mendatangi pusat perekrutan untuk mendaftarkan diri sebagai sukarelawan, ikut mengangkat senjata untuk membela tanah air. (sin)

Hari ke 7 Invasi Rusia : 2.000 Warga Sipil Tewas di Ukraina dan 830.000 Mengungsi, Pengadilan Kriminal Internasional Mulai Bersidang

Luo Tingting

Pada hari ketujuh invasi Rusia ke Ukraina, lebih dari 2.000 warga sipil di Ukraina tewas dan 830.000 orang mengungsi. Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) akan menggelar sidang pada 7 Maret atas tuduhan invasi Rusia terhadap Ukraina adalah tindakan genosida.

Layanan Darurat Nasional, sebuah badan bantuan Ukraina, memposting di Facebook pada 2 Maret bahwa invasi Rusia telah menewaskan lebih dari 2.000 warga sipil Ukraina dan menghancurkan ratusan infrastruktur transportasi,  tempat tinggal, rumah sakit, dan taman kanak-kanak.

Sementara departemen itu yang melakukan misi penyelamatan, sebanyak 10 penyelamat tewas dan 13 terluka.

Data dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2 Maret menunjukkan bahwa sejauh ini, 836.000 warga Ukraina telah mengungsi. Ukraina adalah negara yang berpenduduk sekitar 44 juta jiwa.

Pada 2 Maret 2022, sejumlah besar orang Ukraina tiba di Stasiun Pusat Berlin di Jerman. (Hannibal Hanschke/Getty Images)

Lebih dari 660.000 warga Ukraina telah melarikan diri ke luar negeri dan diperkirakan satu juta warga Ukraina telah mengungsi, kata badan pengungsi PBB. 

PBB memperkirakan bahwa hingga 4 juta pengungsi mungkin membutuhkan bantuan dalam beberapa bulan mendatang, dengan sekitar 12 juta masih menunggu di Ukraina.

Mahkamah Internasional mengatakan pada 1 Maret, bahwa mereka akan menggelar sidang atas tuduhan invasi Rusia terhadap Ukraina adalah tindakan genosida pada 7 dan 8 Maret.

Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Ned Price mengatakan Washington berharap Mahkamah Internasional akan mengambil tindakan segera atas permintaan Ukraina di persidangan.

“Suatu hari Rusia tidak mengendurkan agresinya, dan suatu hari Ukraina melihat lebih banyak kekerasan, penderitaan, kematian, dan kehancuran,” katanya.

Jaksa Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) mengatakan dalam sebuah pernyataan pada 2 Maret bahwa “setiap tuduhan kejahatan perang di masa lalu dan sekarang, kejahatan terhadap kemanusiaan atau genosida yang dilakukan oleh siapa pun di bagian mana pun di wilayah Ukraina buktinya akan segera dikumpulkan.” 

Militer Rusia menggunakan senjata yang sangat mematikan dalam serangan terbaru, termasuk bom cluster dan bom vakum.

Menteri Luar Negeri Ukraina, Dmitro Kuleba pada 1 Maret mengutuk penembakan sembarangan Rusia terhadap Kharkiv, kota terbesar kedua di Ukraina. ”

 

Adegan setelah sebuah kafe dibom di Kharkiv, 2 Maret 2022. (SERGEY BOBOK/AFP via Getty Images)

Tim penyelamat memasukkan orang yang terluka ke dalam ambulans di Kharkiv pada 2 Maret 2022. (SERGEY BOBOK/AFP via Getty Images)

 

Pemandangan di luar setelah pengeboman balai kota Kharkiv pada 1 Maret 2022. (SERGEY BOBOK/AFP via Getty Images)

 

Pada 2 Maret 2022, gedung Universitas Negeri Kharkiv dibom dan terbakar. (SERGEY BOBOK/AFP via Getty Images)

Pemandangan di luar setelah pengeboman balai kota Kharkiv pada 1 Maret 2022. (SERGEY BOBOK/AFP via Getty Images)

Setidaknya 11 warga sipil tewas, menurut walikota kota  Kharkiv. Sebuah sekolah dihancurkan dan halaman depan beberapa surat kabar Inggris menampilkan gambar pembunuhan dua gadis Ukraina.

Amnesty International melaporkan, sebuah bom cluster Rusia menghantam sebuah taman kanak-kanak di timur laut Ukraina pada 25 Februari, menewaskan tiga orang, termasuk seorang anak. 

Pemerintah Inggris memperingatkan pada 1 Maret bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin dan para komandannya dapat menghadapi tuntutan atas kejahatan perang.

Menteri Kehakiman Inggris Dominic Raab, mantan jaksa kejahatan perang, mengatakan kepada Sky News bahwa tidak peduli berapa lama, Inggris dan sekutunya akan membawa pelanggar ke pengadilan.

Raab kepada BBC mengatakan, Terhadap Putin, para jenderal dan tentara Rusia, “ada risiko nyata bahwa mereka akan dikirim ke  pengadilan Den Haag. 

“Jika ICC memutuskan untuk mengambil tindakan, saya yakin Inggris dan sekutunya akan bersedia mendukungnya, secara praktis dan logistik,” kata Raab. (hui)

Majelis Umum PBB Loloskan Resolusi Mengutuk Agresi Rusia, Pasukannya Harus Ditarik Tanpa Syarat

Luo Tingting 

Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi yang mengutuk agresi Rusia terhadap Ukraina dan mendesak Moskow untuk menarik pasukannya tanpa syarat, pada 2 Maret 2022. Tiongkok kembali abstain dalam pemungutan suara tersebut.

Sidang gabungan selama tiga hari tersebut adalah “sesi khusus darurat” pertama yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam lebih dari 40 tahun. Sebanyak 193 negara anggota memberikan suara pada situasi di Ukraina dan akhirnya mengeluarkan resolusi dengan 141 suara mendukung, 5 suara menentang, dan 35 abstain.

Resolusi tersebut mengutuk agresi Rusia terhadap Ukraina dalam istilah yang paling keras. Bahkan, mendesak Rusia untuk segera menghentikan penggunaan kekuatan dan “penarikan segera, lengkap dan tanpa syarat semua pasukan Rusia dari perbatasan Ukraina yang diakui secara internasional.”

Resolusi itu juga meminta Rusia untuk membatalkan keputusannya untuk mengakui dua wilayah separatis di Ukraina timur sebagai “wilayah merdeka”.

Di antara mereka, lima negara, Rusia, Belarusia, Korea Utara, Eritrea, dan Suriah, memberikan suara menentangnya, dan 35 negara, termasuk Tiongkok, India, dan Iran, memilih untuk abstain. Sebanyak 141 negara lainnya memberikan suara mendukung. Saat hasil pemungutan suara diumumkan, para delegasi berdiri dan bertepuk tangan.

Meskipun resolusi tersebut tidak mengikat secara hukum, namun berpengaruh dalam mencerminkan opini internasional, mewakili kemenangan simbolis bagi Ukraina dan memperburuk isolasi internasional Moskow.  Bahkan Serbia, sekutu tradisional Rusia, memberikan suara mendukung resolusi tersebut.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres memuji pesan resolusi Majelis Umum PBB: “Segera hentikan pertempuran di Ukraina, bungkam senjata, dan buka pintu untuk dialog dan diplomasi. Integritas dan kedaulatan wilayah Ukraina harus dihormati sesuai dengan Piagam PBB .”

Linda Thomas-Greenfield, duta besar AS untuk PBB, mendesak anggota PBB lainnya untuk meminta pertanggungjawaban Rusia atas agresinya terhadap Ukraina.

Dia mengatakan gambar-gambar itu menunjukkan pasukan Rusia mengirimkan senjata berat ke Ukraina, termasuk amunisi tandan dan bom vakum, senjata mematikan yang dilarang oleh hukum internasional dan tidak boleh berada di medan perang.

Duta Besar Rusia untuk PBB, Vassily Nebenzia, membantah bahwa pasukan Rusia telah menyerang warga sipil Ukraina.

Pada 1 Maret, kota terbesar kedua di Ukraina, Kharkiv, dibombardir oleh tentara Rusia. Sebuah gedung perkantoran diserang dan terbakar, dan sebuah universitas dan kantor polisi juga diserang. Pejabat setempat mengatakan pada 2 Maret bahwa dalam 24 jam terakhir, setidaknya 21 orang tewas dan 112 terluka dalam pemboman itu.

Layanan Darurat Nasional di bawah Kementerian Dalam Negeri Ukraina melaporkan di Facebook pada 2 Maret: “Selama tujuh hari perang, Rusia menghancurkan ratusan infrastruktur transportasi, bangunan tempat tinggal, rumah sakit, dan taman kanak-kanak. Selama waktu ini, ada lebih dari 2.000 rakyat Ukraina tewas, tidak termasuk para pembela negara kami.”

Sudah seminggu sejak Rusia menginvasi Ukraina, dan belum juga menaklukkan kota-kota besar di Ukraina, Rusia justru menghadapi sanksi internasional yang belum pernah terjadi sebelumnya dan terisolasi dalam komunitas internasional.

Saat ini, sistem keuangan Rusia  terpukul keras oleh sanksi internasional, perusahaan multinasional besar telah menarik diri dari Rusia.  Banyak negara telah menutup wilayah udara mereka ke Rusia. (hui)