Secretchina.com
Negosiasi gencatan senjata di Jalur Gaza masih belum mencapai kesepakatan. Israel tidak hanya mengeluarkan perintah evakuasi baru, tetapi juga terlibat dalam bentrokan besar dengan Hizbullah Lebanon menggunakan roket. Pihak berwenang Teheran menyatakan bahwa Iran tidak berniat memperburuk ketegangan di kawasan Timur Tengah.
Pada 26 Agustus, Reuters melaporkan bahwa pada 25 Agustus malam, Israel mengeluarkan perintah evakuasi baru untuk kota Deir Al-Balah di Jalur Gaza tengah.
Israel mengklaim bahwa Pasukan Pertahanan Israel (IDF) berencana untuk melakukan tindakan militer terhadap Hamas dan kelompok-kelompok ekstremis Islam lainnya di daerah tersebut.
Dalam beberapa hari terakhir, Israel telah mengeluarkan sejumlah perintah evakuasi di berbagai wilayah Jalur Gaza, yang merupakan jumlah terbanyak sejak perang di Jalur Gaza meletus pada Oktober 2023. Hal ini memicu protes keras dari warga Palestina, PBB, dan para pejabat bantuan atas penyusutan wilayah kemanusiaan dan ketidakamanan bagi warga di Jalur Gaza.
Pemerintah kota Deir Al-Balah menyebutkan bahwa hingga kini, perintah evakuasi Israel telah menyebabkan 250.000 orang mengungsi. Petugas medis di Jalur Gaza menyatakan bahwa serangan militer Israel pada 26 Agustus menyebabkan sedikitnya tujuh warga Palestina tewas.
Dua orang tewas di Deir Al-Balah, tempat sekitar satu juta warga Palestina berlindung; dua orang tewas di sebuah sekolah di kamp pengungsi Al-Nuseirat; dan tiga orang tewas di kota Rafah di selatan, dekat perbatasan Mesir.
Karena kekhawatiran akan pemboman, perintah evakuasi baru dari Israel memaksa banyak keluarga dan pasien Palestina di Jalur Gaza untuk meninggalkan Rumah Sakit Al-Aqsa, fasilitas medis utama di Deir Al-Balah, tempat ratusan ribu penduduk dan pengungsi berlindung. Rumah Sakit Al-Aqsa terletak sangat dekat dengan area yang termasuk dalam perintah evakuasi Israel.
Pada 25 Agustus malam, Dokter Lintas Batas (MSF) dalam sebuah pernyataan mengatakan bahwa ledakan terjadi sekitar 250 meter dari Rumah Sakit Al-Aqsa yang didukung MSF, menyebabkan kepanikan di antara penduduk setempat. “Oleh karena itu, MSF sedang mempertimbangkan untuk sementara menghentikan perawatan korban luka, sambil berupaya mempertahankan pengobatan penyelamatan nyawa.”
Menurut otoritas kesehatan di Jalur Gaza, dari sekitar 650 pasien, hanya sekitar 100 orang yang masih berada di Rumah Sakit Al-Aqsa, dengan tujuh di antaranya berada di unit perawatan intensif (ICU).
Dalam pernyataan tersebut, MSF menegaskan, “Situasi ini tidak dapat diterima. Karena tidak ada pilihan lain bagi pasien, Rumah Sakit Al-Aqsa telah beroperasi di luar kapasitas selama beberapa minggu. Semua pihak yang berkonflik harus menghormati rumah sakit serta hak pasien untuk mendapatkan layanan medis.”
Karena upaya diplomatik mediator seperti Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat sejauh ini belum mampu menjembatani perbedaan antara Israel dan Hamas, harapan untuk gencatan senjata di Jalur Gaza tampaknya semakin tipis.
Dua sumber keamanan Mesir menyatakan bahwa Hamas dan Israel belum menyetujui beberapa usulan kompromi gencatan senjata yang diajukan mediator dalam perundingan di Kairo, Mesir, pada 25 Agustus. Namun, seorang pejabat tinggi pemerintah AS mengatakan bahwa perundingan di Kairo kali ini bersifat “konstruktif.”
Pejabat tinggi Hamas, Osama Hamdan, mengatakan bahwa Hamas menolak persyaratan baru yang diajukan Israel selama perundingan, sehingga mereka tidak berpartisipasi dalam pertemuan tersebut. Komentar AS mengenai kesepakatan gencatan senjata yang akan segera dicapai dianggap salah, dan dimaksudkan untuk mendukung kampanye pemilihan presiden AS.
Karena memberi bantuan kepada Israel menjelang pemilihan presiden November mendatang, Presiden AS Joe Biden dan pemerintahannya menghadapi semakin banyak protes di dalam negeri.
Otoritas Teheran Klaim Tidak Berniat Memperburuk Ketegangan di Timur Tengah
Pada 26 Agustus, Reuters melaporkan bahwa Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araqchi mengatakan dalam percakapan telepon dengan Menteri Luar Negeri Italia Antonio Tajani bahwa pihak berwenang Teheran tidak berusaha memperburuk ketegangan di Timur Tengah. Iran akan merespons pembunuhan mantan ketua biro politik Hamas, Ismail Haniyeh, di Teheran dengan “tanggapan yang jelas, dipikirkan secara matang dan tepat.”
Menurut pernyataan yang dikeluarkan oleh Kementerian Luar Negeri Iran pada 26 Agustus mengenai percakapan antara Menteri Luar Negeri Iran dan Italia, Araqchi mengatakan kepada Menteri Luar Negeri Italia Tajani: “Iran tidak berusaha memperburuk ketegangan di Timur Tengah, tetapi juga tidak takut dengan ketegangan di kawasan tersebut.” Iran mengecam Israel atas pembunuhan Ismail Haniyeh pada 31 Juli. Media resmi Iran mengutip pernyataan Araqchi yang mengatakan bahwa tindakan tersebut merupakan “pelanggaran yang tidak dapat dimaafkan terhadap keamanan dan kedaulatan Iran.”
Israel tidak mengklaim bertanggung jawab atau menyangkal atas keterlibatannya dalam kematian Haniyeh. Pada 26 Agustus, pihak berwenang Teheran menyatakan bahwa Israel telah kehilangan daya pencegahnya setelah Hizbullah Lebanon melancarkan serangan militer. Keseimbangan strategis di Timur Tengah telah bergeser ke arah yang tidak menguntungkan Israel.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Nasser Kanaani, mengatakan di media sosial X: “Meskipun mendapat dukungan penuh dari negara-negara seperti Amerika Serikat, Israel masih tidak dapat memprediksi kapan dan di mana gerakan perlawanan akan memberikan tanggapan yang terbatas dan terkendali.”
Kanaani menambahkan bahwa Israel “sekarang harus mempertahankan diri di tanah yang mereka duduki,” dan bahwa “keseimbangan strategis telah mengalami perubahan mendasar,” yang tidak menguntungkan Israel. Setiap efek meluas dari konflik militer besar dalam perang Gaza berpotensi berubah menjadi perang di Timur Tengah yang melibatkan Hizbullah Lebanon, pendukung Iran, dan sekutu utama Israel, Amerika Serikat.
Pemimpin Hizbullah Lebanon, Sayyed Hassan Nasrallah, menyatakan bahwa serangan roket oleh Hizbullah adalah balasan atas pembunuhan komandan senior mereka, Fouad Shukr, oleh Israel pada Juli lalu, dan bahwa operasi tersebut telah “selesai sesuai rencana.” Namun, Hizbullah Lebanon akan mengevaluasi serangan militer ini, “dan jika hasilnya tidak memuaskan, maka kami berhak untuk memberikan respons lebih lanjut.”
Sayyed Hassan Nasrallah mengatakan bahwa sebelum Hizbullah Lebanon melancarkan serangan, Israel sudah terlebih dahulu melakukan serangan udara. Menanggapi hal ini, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan bahwa serangan “pencegahan” tersebut telah menggagalkan kemampuan Hizbullah untuk melancarkan serangan yang lebih besar. Semua drone yang menargetkan lokasi strategis di wilayah tengah Israel berhasil ditembak jatuh.
Namun, pemimpin Hizbullah Lebanon menyatakan bahwa serangan Israel tersebut tidak efektif. Roket dan drone Hizbullah Lebanon terutama menargetkan sebuah pangkalan intelijen di dekat Tel Aviv dalam serangan militer mereka.
Menteri Luar Negeri Israel menyatakan bahwa negaranya tidak mencari perang secara menyeluruh. Namun, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memperingatkan, “Ini belum berakhir.” Lebanon mengonfirmasi bahwa tiga orang tewas, sementara Israel melaporkan satu kematian. Kedua belah pihak mengaku senang untuk sementara waktu menghindari peningkatan ketegangan lebih lanjut, tetapi juga memperingatkan bahwa lebih banyak serangan militer mungkin masih akan terjadi.
Pada pagi 25 Agustus, Hizbullah Lebanon menembakkan ratusan roket ke Israel dan melancarkan serangan drone. Militer Israel melaporkan bahwa mereka telah mengerahkan sekitar 100 pesawat untuk menyerang Lebanon guna mencegah serangan yang lebih besar, menjadikannya salah satu konflik militer paling serius di perbatasan Israel-Lebanon dalam lebih dari sepuluh bulan terakhir. (Jhon)