oleh Xue Fei, Luo Ya
Epochtimes.id- Rezim Komunis Tiongkok menjadikan agama sebagai objek komersial. Dari CEO Shaolin, Dupa Berharga Selangit sampai ke “Kuil Nenek”, tingkat ketidaklogisannya semakin menjadi-jadi.
Baru-baru ini, kedua belas instansi pemerintah secara bersama-sama mengeluarkan surat edaran pengecaman terhadap fenomena tersebut dan memperoleh perhatian publik.
Menurut laporan media Tiongkok pada 23 Nopember 2017, Kantor Administrasi Urusan Agama, Kementerian Propaganda, Departemen Pekerjaan Front Persatuan, Kantor Dinas Keamanan Jaringan Internet dan Informatisasi Pusat, Departemen Keamanan Publik, Biro Pariwisata, Komisi Pengawas Sekuritas dan Komoditas Berjangka dan lainnya sebanyak 12 instansi pemerintah bersama-sama menerbitkan surat edaran berjudul “Beberapa Saran dan Pendapat tentang Langkah Lanjutan dalam Menangani Isu Komersialisasi Agama Budha dan Ajaran Taoisme”. Isinya menyebutkan bahwa fenomena ini sudah memperoleh kecaman keras dari masyarakat.
Aturan baru melarang keras modal komersial terlibat dalam agama Buddha, ajaran Taoisme, organisasi atau individu tidak diijinkan untuk berperan sebagai kontraktor bangunan atau pengelola tempat-tempat ibadah agama Buddha, vihara dan Tao.
Bahkan tempat ibadah bersangkutan dilarang terdaftar sebagai aset perusahaan atau terdaftar sebagai modal operasi perusahan.
Media Tiongkok baru-baru ini mengungkapkan bagaimana “Kuil Nenek” menjadi “populer”.
Pada suatu saat, seorang arsitek Universitas Tsinghua bernama Xu Teng mempublikasikan sebuah artikel berjudul “Kuil Milik Nenek-nya” artikel tersebut bercerita tentang sebuah kuil yang terletak di Hebei Yixian yang di atas altar sembahyangnya dipenuhi sejumlah patung dewa-dewi baik yang berasal dari agama Buddha maupun ajaran Tao.
Katanya, setiap bilik berisikan patung dewa/dewi di atas meja altar sembahyang itu sudah dikontrak orang, sehingga uang sumbangan yang diberikan untuk dewa/dewi tersebut menjadi milik kontraktor itu.
Para kontraktor bahkan menciptakan ‘Dewa Kereta’ dengan jari penunjuk yang memang dibuat dan dijual kepada para pemuja sesuai keinginan mereka.
Media Tiongkok sebelumnya pernah melaporkan tentang 10 kasus yang memanfaatkan keagamaan untuk mendapatkan uang, memanfaatkan ajaran guna meraup keuntungan. Di antaranya yang paling menonjol adalah isu ‘Kuil yang dikontrak’.
Seperti yang dilaporkan ‘China News Weekly’, pada tahun 2012 seorang turis lokal mampir ke sebuah kuil bernama Yanqian yang terletak di Kabupaten Yiliang, Provinsi Yunnan untuk bersembahyang.
Akhirnya ia terpaksa harus mengeluarkan uang RMB. 23.4ribu sebagai pembayaran ‘sumbangan untuk kuil’ oleh seorang ‘Guru’ di sana. Tak lama kemudian, terbongkar bahwa sejak tahun 2004 kuil tersebut sudah dikontrak oleh seorang boss dengan nilai sebesar RMB.7.2juta. Biksu atau bikuni di sana semuanya palsu.
Peraturan baru juga melarang pribadi atau organisasi dengan kedok kegiatan Buddhisme, Taoisme untuk mencari dana, memungut tiket masuk kuil dengan harga tinggi, melarang penjualan dupa dengan istilah ini dan itu yang dibandrol dengan harga lebih tinggi.
Kuil Shaolin ‘Songshan’ yang disebut-sebut sebagai yang terbaik sejak beberapa tahun terakhir juga mengalami komersialisasi. Harga tiket masuknya mahal. Dupa sebatangnya besar harganya bisa mencapai RMB.6ribu (+/- Rp. 12juta).
Beberapa tahun yang lalu kuil Shaolin ini juga hendak go publik, meskipun memicu kontroversial. Kepala biara Shi Yongxin justru seorang inisiator komersialisasi Shaolin. Ia sampai dijuluki CEO Shaolin, biksu ekonomi oleh para netizen.
Dalam beberapa tahun terakhir, akibat isu-isu ekonomi serta gaya hidup Shi Yongxin sehingga memicu kritikan tajam dari netizen. Ada yang menuduh ia terus terjerumus dalam kehidupan yang tidak wajar, suka main perempuan, mencari uang dengan cara tidak halal, menguasai secara ilegal properti Shaolin, menodai reputasi Shaolin, Agama Buddha dan sebagainya.
Namun, tangan hitam yang berada di balik semua ini tak lain adalah Partai Komunis Tiongkok.
Agama berfungsi sebagai panggung dari pertunjukan ekonomi
Terhadap fenomena ‘tidak waras’ tempat ibadah dijadikan tempat untuk meraup keuntungan, komentator politik NTDTV Jason mengatakan bahwa sejak PKT menghancurkan kuil serta nilai-nilai agama di masa berkecamuknya Revolusi Kebudayaan, hal yang nyata sebenarnya sudah hilang.
Menurut Komentator ini, Kemudian karena semata-mata ingin mengembangkan ekonomi, jadi kuil-kuil di banyak tempat akhirnya dibangun kembali, termasuk patung-patung Buddha. Namun itu sebenarnya digunakan untuk kepentingan ekonomi. Alasan tersebut juga dimanfaatkan untuk tujuan pengembangan pariwisata.
Ia mengatakan, jika tempat wisata itu ‘berbau’ abad pertengahan, maka petugas di sana semua menggunakan pakaian abad pertengahan.
Jika itu adalah kuil maka staf-stafnya mengenakan busana agama Buddha atao Tao, tetapi mereka itu bukan umat asli Buddha atau Tao. Dan penerimaan atau pengeluaran dana di sana semuanya juga harus berjalan menurut aturan yang sudah ditetapkan oleh pemda setempat.
Jason juga mengatakan, banyak biksu atau pendeta Tao itu dikirim dari Sekolah Pendidikan Agama Buddha atau Ajaran Tao yang dikelola oleh Partai Komunis Tiongkok. Para lulusan dari sana bahkan ada yang memegang jabatan resmi di kantor, departemen dan lainnya. Sebenarnya mereka itu adalah petugas PKT.
PKT menghancurkan nilai-nilai agama
Komentator Xia Xiaoqiang mengatakan bahwa PKT menghilangkan nilai agama terutama melalui menyangkal keberadaan sang pencipta, kemudian merusak lingkungan ibadah, kultivasi, membunuh orang.
Lebih parah lagi, PKT mendirikan asosiasi keagamaan yang memungkinkan para agennya untuk mengkritik ajaran-ajaran agama dari dalam dan menciptakan fenomena palsu tentang kebebasan beragama dan lainnya.
Di pertengahan abad lalu sebelum Revolusi Kebudayaan berhenti, PKT terutama mempraktekkan cara-cara menghancurkan tempat ibadah, merusak patung-patung Buddha untuk menghilangkan nilai agama.
Setelah tahun 90-an PKT menggunakan cara seakan-akan Tiongkok memberi kebebasan kepada rakyat untuk memeluk agama.
Ia mengatakan bahwa kebebasan beragama palsu terutama bermanifestasi sebagai sekularisasi agama, pelembagaan organisasi keagamaan, komersialisasi atau politisasi pemimpin keagamaan.
Kuil Shaolin menjadi perwakilan dari isu pengumpulan dana oleh kuil-kuil Tiongkok, dan Shi Yongxin menjadi wakil dari biksu politik dan CEO agama. Komersialisasi dan pengrusakan nilai agama Tionghoa juga mencapai puncaknya selama pemerintahan Jiang Zemin.
Selain itu, ‘tokoh agama’ seperti Shi Yongxin yang dikendalikan dan dibeli oleh Jiang Zemin akhirnya juga dijadikan alat pemukul, alat politik oleh Jiang Zemin yang melancarkan kampanye politik serta pembasmian dan penganiayaan terhadap Falun Gong. Hal ini telah menimbulkan kebencian yang kuat dari semua lapisan masyarakat.
Xia Xiaoqiang mengatakan, dengan dilatar belakangi kejadian ini, Xi Jinping mengadakan pertemuan nasional urusan keagamaan pada bulan April 2016. Mengeluarkan pernyataan yang bertolak belakang dengan Jiang Zemin.
Di antaranya ada isi yang mengoreksi kebijakan Jiang Zemin terkait penindasan agama. Setahun kemudian, para petinggi Tiongkok bertempur sengit di Kongres Nasional ke 19.
Xia Xiaoqiang percaya bahwa dikeluarkannya pernyataan dari keduabelas instansi pemerintah atas tanggapan dari fenomena kacau yang timbul akibat komersialisasi keagamaan tidak lepas hubungannya dengan hasil Rakernas Keagamaan yang diadakan tahun lalu.
Meskipun ini hanyalah sebuah simbolis, soal hasilnya kita belum tahu. Tetapi, memang untuk mencapai inti permasalahan perlu pembongkaran yang besar-besaran. (Sinatra/asr)
Sumber : Epochtimes.com
ErabaruNews