EtIndonesia. “Anak laki-laki itu mengangkat segumpal pakaian yang berlumuran darah dan berkata, ‘Ini semua darah.’ Aku terdiam tak bisa berkata-kata. Meski sepuluh hari sebelumnya aku sudah melihat tentara dan tank di pinggiran Beijing, aku tetap tak bisa membayangkan bahwa militer benar-benar menembaki rakyat sipil.”
Saat itu, gadis di sampingnya dengan penuh emosi menceritakan: “Tadi malam tank-tank masuk ke lapangan, tentara menembaki orang-orang. Kami tak tahu berapa banyak yang tewas.”
Aku tak bisa mendengar lagi kelanjutan cerita mereka, tubuhku seperti membeku. Tanpa sadar aku kembali ke kamar dan jatuh terduduk di kursi.
Sejak kecil aku selalu diajari bahwa Partai dan pemerintah adalah pelayan rakyat. Bahkan peristiwa Tiananmen pada bulan April dulu pun dijelaskan sebagai perbuatan jahat “Kelompok Empat”. Partai tetap disebut “agung, mulia, dan benar”. Tapi saat itu, aku—mahasiswa baru yang baru menginjak dunia kampus—dilanda ketakutan luar biasa: apakah selama ini aku telah dibohongi?
Ketika kesadaran kembali, seluruh punggungku terasa dingin. Kupikir, seandainya tadi malam aku tidak pulang karena terlalu lelah, mungkin aku telah menemui ajal. Hidup dalam masa damai, kami para pemuda tidak pernah menyangka bahwa kematian bisa sedekat itu.
Malam Itu: Niat Membantu yang Tanpa Sadar Menyelamatkan Nyawaku
Tanggal 3 Juni 1989, mahasiswa di kampus Tsinghua sudah hampir habis. Sahabat dekatku, Dou Dou, hendak pulang ke rumah malam itu naik kereta. Tapi transportasi umum telah dihentikan; bus tidak beroperasi, dan jalur metro hanya berfungsi sebagian. Jalanan sepi dari manusia maupun kendaraan. Tak tahu di mana bisa dapat taksi.
Aku memutuskan saat itu juga untuk mengantarnya naik sepeda ke Stasiun Qianmen agar dia bisa naik metro ke stasiun kereta. Setelah itu aku berencana menginap di Lapangan Tiananmen. Aku memang terbiasa berkeliling Beijing naik sepeda karena tak suka berdesakan. Membawa Dou Dou yang bertubuh mungil juga terasa bukan masalah.
Setelah makan malam, kami mengobrol sepanjang jalan dan akhirnya tiba di Qianmen. Setelah menurunkannya, aku langsung melanjutkan perjalanan ke lapangan. Langit sudah gelap, dan jumlah orang serta tenda di lapangan jauh berkurang. Banyak mahasiswa sudah pulang. Pengeras suara mengumumkan kabar darurat militer.
Aku berjalan sebentar di lapangan dan merasa kakiku mulai lelah. Meski Dou Dou hanya seberat 40 kg, bersepeda lebih dari satu jam tetap melelahkan. Setelah menyelesaikan “misi”, tubuhku benar-benar terasa lunglai. Lapangan tampak cukup tenang malam itu. Aku pun berpikir untuk pulang ke kampus dan kembali keesokan pagi.
Sepeda kugowes pelan-pelan kembali ke asrama. Gedung asrama perempuan hampir kosong dan sangat sunyi. Di kamar, hanya ada aku seorang. Setelah mencuci muka, aku naik ke tempat tidur dan langsung tertidur lelap.
Jeritan Tengah Malam: “Jangan Tidur! Ada Pembunuhan!”
Dalam tidurku yang nyenyak, tiba-tiba terdengar suara perempuan menjerit: “Jangan tidur! Ada pembunuhan!”
Awalnya kukira itu hanya mimpi, tapi suara jeritan terus terdengar. Aku akhirnya tersadar dan melompat turun dari ranjang tingkat. Koridor asrama panjang dan semua kamar terhubung satu sama lain.
Saat keluar kamar, beberapa gadis lain yang juga masih mengenakan piyama berjalan keluar dengan wajah mengantuk. Di tengah koridor berdiri sepasang mahasiswa, laki-laki dan perempuan, wajah mereka tampak sangat lelah—jelas mereka baru kembali dari Tiananmen.
Gadis itu dengan penuh semangat berkata: “Tadi malam tank-tank masuk ke lapangan. Tentara melepaskan tembakan. Kami tidak tahu berapa banyak yang tewas.” Anak laki-laki itu mengangkat seonggok pakaian yang basah darah dan berkata: “Ini semua darah.”
Aku membeku. Meski aku sendiri pernah melihat tentara dan tank di pinggiran Kota Beijing, aku masih tidak bisa percaya bahwa tentara benar-benar menembaki rakyat. Mereka terus bercerita, tetapi aku sudah tidak bisa mendengar apa pun. Aku kembali ke kamar dan jatuh terduduk di kursi.
Tak Ada Lagi Kata “Agung dan Mulia” di Hatiku
Sejak kecil, kami diajari bahwa Partai itu mulia, bahwa pemerintah mencintai rakyat. Peristiwa Tiananmen di bulan April pun dulu kami pikir hanyalah ulah para penghianat. Tapi malam itu, semua bayangan “kejayaan” itu runtuh dalam sekejap.
Aku mulai menyadari bahwa selama ini mungkin aku hanya hidup dalam kebohongan. Ketika akhirnya aku sadar sepenuhnya, aku merasa punggungku sedingin es. Kalau saja aku tak terlalu lelah malam itu dan memilih tetap di lapangan, mungkin aku tak akan bisa menceritakan kisah ini hari ini.
Hari-Hari Setelah Tragedi
Pada siang hari tanggal 4 Juni, versi resmi pemerintah menyatakan bahwa militer telah “membersihkan lapangan” dan “memadamkan kerusuhan kontra-revolusioner.” Dosen-dosen kami tak berkata apa pun, hanya memberi tahu bahwa pihak fakultas akan menyediakan mobil untuk membawa kami—mahasiswa dari luar kota—ke stasiun kereta secepatnya.
Pagi hari tanggal 6 Juni, aku dan empat mahasiswa lainnya naik mobil minibus kampus menuju Stasiun Metro Yonghegong. Katanya, hanya di situ metro masih beroperasi. Jalanan benar-benar sunyi, hanya mobil kami yang melintas.
Aku merasa gelisah, seakan belum sepenuhnya menyadari bahwa kami sedang “melarikan diri dari kematian”. Di tengah perjalanan, tiba-tiba terdengar suara seperti petasan. Seseorang di dalam mobil berteriak: “Itu suara tembakan!”
Sopir tidak berkata apa-apa. Dia langsung memutar balik arah dan mencari jalan lain. Di kejauhan terdengar lagi satu-dua letusan, lalu kembali senyap seperti mati. Suara tembakan itu membangunkanku dari semua penyangkalan: tragedi Tiananmen memang benar-benar terjadi.(jhn/yn)