EtIndonesia. Dalam perkembangan terbaru yang mengguncang dunia politik Tiongkok, Komisi Disiplin Pusat Partai Komunis Tiongkok (PKT) resmi mengumumkan pemeriksaan terhadap Lan Tianli, Wakil Sekretaris PKT sekaligus Ketua Pemerintah Daerah Otonom Guangxi. Dia diduga terlibat dalam pelanggaran disiplin dan hukum berat. Kasus ini menandai kedua kalinya, sejak Kongres Nasional PKT ke-20, seorang pejabat sekelas pemimpin pemerintahan provinsi yang masih aktif dijerat skandal besar.
Laporan ini tidak hanya mengejutkan publik Tiongkok, tetapi juga mengundang sorotan dunia internasional. Sebab, penangkapan Lan Tianli diprediksi akan menyeret setidaknya 800 pejabat dan pengusaha lain, bahkan dikaitkan dengan nama besar Guo Shengkun—yang dikenal punya hubungan keluarga dengan mantan petinggi PKT, Zeng Qinghong.
Tak hanya itu, slogan yang digaungkan pimpinan Partai Guangxi, “Tak Ada Raja Bermahkota Besi”, telah memicu spekulasi mengenai tajamnya konflik internal di kalangan elite PKT dan kemungkinan adanya ‘pembersihan’ politik besar-besaran di belakang layar.
Pandangan Ahli: Analisis Mendalam Yuan Hongbing
Dalam rangka menggali dinamika di balik kasus ini, jurnalis Kan Zhongguo mewawancarai Profesor Yuan Hongbing, seorang pakar hukum dan pengamat politik Tiongkok yang kini tinggal di Australia. Yuan dikenal sering membongkar intrik di kalangan elite PKT.
Profesor Yuan menegaskan: “Sistem internal PKT saat ini tengah menghadapi krisis terbesar. Meskipun Xi Jinping telah menggencarkan kampanye anti-korupsi selama lebih dari 12 tahun, justru korupsi semakin merajalela. Setiap pejabat besar yang tumbang akan menyeret gelombang pejabat lainnya. Ini adalah pola sistemik yang mengakar.”
Menurut Yuan, Xi Jinping sebenarnya hanya ‘setengah melek’ dalam urusan ideologi, namun sangat licik dalam memperebutkan kekuasaan. Dia menggambarkan Xi sebagai sosok yang buruk dalam mengelola negara, namun, karena aturan ‘seleksi terbalik’ dalam sistem otoriter, justru menempati puncak piramida kekuasaan PKT.
“Barangkali ini adalah ‘kutukan langit’ bagi rezim tirani,” sindirnya.
Di awal masa kekuasaan, Xi sempat menipu publik lewat slogan anti-korupsi, tapi kenyataannya, itu hanya digunakan untuk menyingkirkan lawan politik—sebuah pembersihan besar-besaran ala Stalin. Tujuan utama Xi bukan sekadar pemberantasan korupsi, melainkan memuluskan jalan menjadi ‘kaisar seumur hidup’, menyelamatkan PKT dari krisis eksistensial, dan membangkitkan komunisme internasional.
Yuan Hongbing mengingatkan: “Ren Zhiqiang, satu-satunya orang yang sangat berani, pernah berkata: ‘Xi Jinping adalah badut telanjang yang ingin menjadi kaisar.’ Ini konsensus langka di kalangan pejabat dan masyarakat.”
Ironisnya, Xi justru menjadi simbol puncak kehendak politik PKT, namun secara moral, kompetensi, dan kapasitas, dia sangat diragukan.
“Inilah lonceng kematian bagi PKT,” lanjut Yuan. “Setiap kebijakan yang dikendalikan langsung oleh Xi hampir selalu berujung pada kegagalan dan kehancuran.”
Di kalangan birokrasi, Xi bahkan dijuluki “Kaisar Proyek Gagal” (Emperor of Abandoned Projects) karena banyak proyek besar yang mangkrak. Rakyat dan pejabat semakin marah, dan banyak pejabat kini memilih bermalas-malasan, korupsi masif, dan ‘menunggu kehancuran’. Mereka sudah kehilangan harapan terhadap masa depan PKT maupun Xi Jinping.
Krisis Internal PKT: Fenomena Faksi dan Persiapan Runtuhnya Sistem
Menurut Yuan, krisis paling mematikan bagi Xi adalah ketika para pejabat mulai kehilangan kepercayaan, bahkan saling menunjuk sebagai sumber masalah. Retorika tentang “Keemasan Zaman Baru Xi Jinping” dinilai hanya fatamorgana sebelum kehancuran.
Faktanya, para pejabat PKT paling tahu betapa gentingnya krisis yang sedang dihadapi. Ada kemungkinan besar, dalam beberapa tahun ke depan, sistem diktator Xi akan runtuh akibat perlawanan rakyat dan Tiongkok masuk ke era kekacauan serta perebutan kekuasaan. Yuan bahkan mengutip Mao Zedong yang pernah berkata: “Setelah aku tiada, akan ada hujan darah dan angin amis.”
Meski Xi masih bermimpi menjadi kaisar abadi dan menuntut loyalitas mutlak dari para pejabat, mayoritas pejabat PKT mulai mempersiapkan diri dengan mengumpulkan kekayaan dan membangun kekuatan ekonomi-politik pribadi untuk menyelamatkan diri jika sistem runtuh. Inilah salah satu penyebab utama mengapa korupsi semakin merajalela.
Sejak Kongres Nasional PKT ke-20, hampir semua pejabat yang dijerat Komisi Disiplin Pusat, termasuk Lan Tianli, dikenai tuduhan “membangun faksi/geng” —istilah yang kabur namun sarat makna psikologis. Intinya, mereka membentuk jejaring pribadi di luar struktur resmi partai, membangun ‘kerajaan kecil’ sebagai antisipasi jika PKT kolaps.
Laporan Rahasia: “Faksi dan Geng” Jadi Ancaman Eksistensial
Menteri Organisasi PKT, Shi Taifeng, dalam laporannya ke Komite Tetap Politbiro, menegaskan bahaya fenomena “aktivitas non-organisasi membangun faksi/geng di dalam partai”. Laporan ini, yang tersebar ke seluruh struktur partai, menyebut fenomena ini sebagai bentuk pengkhianatan dan korosi sistemik paling berbahaya bagi kelangsungan PKT.
Tiga Ciri Fenomena Faksi/Geng:
- Jejaring Hirarkis Pribadi: Loyal hanya pada atasan yang mengangkat mereka, bukan pada partai. Ini mengubah struktur partai menjadi ‘geng pribadi’.
- Jaringan Lintas Sektor: Menghubungkan pejabat partai, militer, BUMN, dan pengusaha swasta—membentuk jaringan kekuatan paralel.
- Berbasis Wilayah Tradisional: Para pejabat membangun kekuatan lokal di berbagai provinsi untuk bertahan dari kemungkinan kekacauan nasional, seperti di Delta Sungai Yangtze, Timur Laut, Guangxi, Hunan, Henan, Ningxia, Qinghai, dan lainnya.
Salah satu pejabat yang kini tengah diperiksa mengakui, membangun jaringan daerah adalah langkah antisipatif untuk melindungi diri dari kemungkinan amuk massa jika kekuasaan runtuh.
Selain itu, kasus pejabat tinggi militer seperti Miao Hua dan He Weidong yang awalnya sangat dipercaya Xi, kini justru terungkap bersekongkol dengan keluarga Jiang Zemin dan Zeng Qinghong—musuh utama Xi di wilayah Shanghai dan Delta Yangtze. Bahkan di Xinjiang, Korps Produksi dan Konstruksi ikut membangun jaringan dengan pejabat lokal, bersiap menghadapi segala skenario perubahan rezim.
Pepatah lama kembali terbukti: “Bebek di sungai lebih dulu tahu air menghangat.” Artinya, para pejabat PKT selalu lebih cepat merasakan tanda-tanda krisis.
Kampanye Anti-Korupsi, Intelijen, dan Ketakutan Sistemik
Fenomena jatuhnya banyak jenderal sejak 2012—sebagian besar diangkat Xi sendiri—dinilai sebagai bagian dari pilar utama kontrol kekuasaan PKT di era Xi.
Menurut Yuan, seluruh sistem kini dikendalikan oleh jaringan intelijen dan polisi rahasia yang sangat masif:
- Komisi Disiplin Pusat dan Komisi Pengawasan Negara: Ratusan ribu agen mengawasi jutaan pejabat di berbagai tingkatan.
- Komisi Disiplin Militer: Mengawasi langsung para jenderal.
- Sekretariat Pusat (dipimpin Cai Qi): Menggabungkan jabatan sekretaris pemerintah provinsi dan partai, di bawah kendali langsung Sekretariat Pusat. Para sekretaris kini menjadi ‘polisi rahasia’ yang memata-matai pejabat tinggi lain.
- Kementerian Keamanan Negara (MSS): Tidak hanya bertugas untuk intelijen eksternal, tetapi juga menjadi polisi rahasia internal partai, mengawasi semua level pejabat.
- Kementerian Keamanan Publik: Ketat mengawasi kelompok masyarakat dan tokoh berpengaruh.
- Komisi Militer Pusat: Setelah Kongres ke-20, didirikan satuan khusus beranggota 18 ribu orang yang bertugas menangkap dan menahan jenderal yang dicurigai tidak loyal.
Bahkan, setiap sekretaris pejabat tinggi militer kini diawasi langsung oleh kantor Xi Jinping, menjadi ‘polisi rahasia’ untuk atasannya sendiri.
Kesimpulan: “Lonceng Kematian” Bagi Rezim Xi dan PKT?
Sejarah menunjukkan, semua rezim diktator yang bertahan lewat jaringan polisi rahasia pada akhirnya tumbang. Metode pembersihan dan pemecatan besar-besaran terhadap pejabat yang dianggap tidak loyal hanya membuat mental birokrasi terguncang dan mempercepat kehancuran fondasi kekuasaan.
Pada akhirnya, para pejabat adalah pilar utama rezim. Ketika kepercayaan mereka ambruk dan mereka lebih sibuk mempersiapkan jalan selamat pribadi, saat itulah kekuasaan PKT benar-benar berada di ambang kehancuran.
Penutup:
Kasus Lan Tianli hanyalah puncak dari gunung es krisis elite PKT. Di balik layar, fenomena “tak ada raja bermahkota besi” menandai terjadinya perubahan besar yang, jika terus berlanjut, dapat mengguncang Tiongkok menuju babak sejarah yang belum pernah terjadi sebelumnya—sebuah babak yang berpotensi penuh kekacauan, pertarungan kekuatan, dan mungkin, berakhirnya era PKT di Tiongkok.