EtIndonesia. Pada 13 Juni 2025 dini hari, dunia dikejutkan oleh sebuah operasi militer yang tidak hanya mengguncang Iran, tetapi juga mengirimkan gelombang kejut ke seluruh kawasan Timur Tengah dan papan catur geopolitik global. Hampir 200 pesawat tempur Israel, dalam operasi lintas batas yang terkoordinasi rapi, menembus wilayah udara Yordania, Suriah, dan Irak, menuju jantung pertahanan serta program nuklir Iran.
Operasi ini menjadi salah satu serangan udara terkoordinasi terbesar di abad ini—disebut sebagai “hujan api di fajar Timur Tengah”—dan mencerminkan kombinasi keunggulan teknologi, keunggulan intelijen, serta sinyal politik berlapis yang ditujukan tidak hanya pada Teheran, tapi juga kepada kekuatan Partai Komunis Tiongkok (PKT).
Rangkaian Serangan: Lima Gelombang Mematikan
1. Gelombang Pertama – Pembunuhan Terarah dan Pembukaan Jalur
Serangan pertama menargetkan titik-titik pertahanan udara utama serta pusat komando Iran. Informasi detail mengenai posisi, jadwal, hingga kebiasaan para jenderal Iran diduga telah diperoleh Israel lewat jaringan mata-mata yang tertanam dalam sistem militer dan pemerintahan Iran.
Rudal-rudal presisi tinggi meluluhlantakkan kawasan perumahan elit dan markas para perwira tinggi di pinggiran Teheran. Serangan ini bukan sekadar menghancurkan perangkat keras pertahanan, melainkan juga “memenggal” komando agar kekuatan respons Iran lumpuh seketika.
2. Gelombang Kedua – Penghancuran Infrastruktur Strategis
Setelah garis pertahanan utama hancur, gelombang kedua diarahkan ke bandara militer, basis rudal utama, dan pusat-pusat logistik. Gudang peluru kendali Khorramshahr serta sistem rudal S-300 Iran—yang selama ini dibanggakan sebagai pelindung utama wilayah udara mereka—dihancurkan secara sistematis. Jaringan komunikasi militer Iran lumpuh total, membuat komando pusat tidak lagi mampu mengendalikan pasukan di lapangan.
3. Gelombang Ketiga – Serangan Mematikan ke Fasilitas Nuklir
Israel tidak menyia-nyiakan momentum. Sasaran berikutnya adalah fasilitas-fasilitas nuklir paling sensitif dan strategis milik Iran, seperti Natanz dan Arak. Di Natanz, ledakan besar menimbulkan kebakaran kimia yang sangat sulit dipadamkan, menciptakan kepanikan nasional serta potensi bencana lingkungan. Israel dengan tegas mengirim pesan: ambisi nuklir Iran harus dihancurkan sampai ke akar, agar tidak mungkin pulih selama bertahun-tahun ke depan.
4 & 5. Gelombang Penuntasan – “Textbook” Operasi Intelijen
Gelombang keempat dan kelima adalah tahap penyempurnaan, menargetkan lebih dari 100 titik vital di wilayah mulai dari Azerbaijan Timur, Khuzestan, hingga pusat kota Teheran. Koordinasi antara pasukan udara, drone, serta pasukan khusus dan jaringan intelijen benar-benar “textbook”—menjadi contoh operasi presisi di era modern.
Korban: “Decapitation Strike” yang Membelah Iran
Menjelang fajar, dunia internasional dikejutkan dengan rilis resmi dari Israel berisi daftar korban yang mengisi halaman depan media global:
- Jenderal Hossein Salami, Panglima Tertinggi Korps Garda Revolusi Islam (IRGC)
- Mayor Jenderal Mohammad Bagheri – Kepala Staf Angkatan Bersenjata Iran
- Jenderal Gholam Ali Rashid – Panglima Komando Pusat Iran
- Dr. Dawani – Mantan Kepala Organisasi Energi Atom Iran, tokoh utama sains nuklir
- Dr. Tehranchi – Rektor Universitas Azad Teheran
- Enam Ahli Fisika Nuklir – Termasuk ilmuwan senior dengan pengalaman puluhan tahun
Pergantian jenderal militer bisa dilakukan dengan cepat; dalam beberapa jam, Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, langsung menunjuk para pengganti. Namun kerugian sebenarnya adalah hilangnya para ilmuwan nuklir: aset strategis negara yang ditempa selama puluhan tahun. Kerusakan ini bersifat permanen dan memerlukan dekade untuk dipulihkan—jika memang bisa.
Efek Geopolitik: Sinyal Keras untuk Dunia dan “Pesan Pribadi” ke PKT
Lebih dari sekadar operasi militer, serangan ini adalah demonstrasi nyata dari kekuatan dan keberanian Israel. Di balik layar, beredar rumor kuat bahwa Israel sebenarnya sudah “memberi peringatan” lewat saluran rahasia kepada sejumlah pemimpin Iran sebelum operasi dimulai. Pesannya lugas: “Kalian masih hidup hanya karena kami mengizinkan. Berikutnya bisa siapa saja, di mana saja.”
Peringatan serupa juga dialamatkan kepada elite Partai Komunis Tiongkok (PKT)—secara terang-terangan menegaskan bahwa jaringan intelijen Israel dan Amerika Serikat mampu menjangkau siapa pun, di mana pun. Ini bukan sekadar aksi militer, melainkan bentuk “pemerasan intelijen” yang menggetarkan dunia internasional.
Diamnya Beijing: Tanda Retaknya Poros Timur
Respons Tiongkok terhadap serangan ini menjadi bahan pembicaraan di seluruh dunia. Bukannya bersuara lantang, Beijing memilih diam dan sangat selektif dalam pernyataan resmi. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Lin Jian hanya mengulang retorika lama: menyerukan “penahanan diri”, tanpa menyebut satu nama pun, tanpa kecaman tegas, tanpa aksi nyata.
Bahkan pada hari yang sama, Presiden Xi Jinping justru mengirim telegram belasungkawa kepada Presiden dan Perdana Menteri India terkait kecelakaan pesawat, dan PM Li Qiang ikut bersikap serupa. Untuk sekutu strategis seperti Iran yang baru saja “dibantai”, mereka memilih “tutup mulut”. Tetapi untuk India, musuh tradisionalnya, mereka justru menampilkan empati mendalam. Realitas politik internasional kini tampil telanjang: Tiongkok—yang selama ini digadang-gadang sebagai “pelindung” Iran—justru memilih menjauh di saat paling krusial.
Keruntuhan Poros: Iran Ditelantarkan, PKT Tak Berdaya
Serangan Israel ini tidak hanya meluluhlantakkan infrastruktur dan komando Iran, tetapi juga mempermalukan kemampuan industri pertahanan Tiongkok. Sistem persenjataan canggih yang selama ini dipromosikan, seperti rudal PL-15, gagal meledak di medan perang.
Sistem pertahanan udara gagal ekspor, navigasi Beidou tak mampu sepenuhnya diandalkan, dan masalah produksi chip masih membayangi. Industri pertahanan Tiongkok kini bahkan kesulitan memenuhi kebutuhan domestik, apalagi menopang sekutu di luar negeri.
Seluruh dunia akhirnya menyadari: Tiongkok tidak mundur secara sukarela dari Timur Tengah, melainkan dipaksa hengkang secara diam-diam, di bawah tekanan realitas dan kegagalan teknologi militernya sendiri. Iran—yang selama ini digadang-gadang sebagai “saudara seperjuangan anti-Amerika”—kini benar-benar kehilangan tempat di panggung global.
Babak Berikutnya: Siapa yang Akan Menyusul?
Kini, dunia bertanya-tanya: siapa berikutnya? Myanmar, Korea Utara, Venezuela, atau bahkan Vladimir Putin sendiri? Satu per satu, mimpi membangun “aliansi global anti-Amerika” versi PKT kini hancur diterpa badai kenyataan. Mulai hari ini, semua negara yang selama ini bergantung pada “naskah PKT” harus sadar: kekuatan militer Tiongkok tidak cukup untuk menopang sekutu di medan perang nyata.
Penutup: Bukan Sekadar Perang – Titik Balik Sejarah Dunia
Serangan besar-besaran Israel ke Iran bukan hanya babak baru dalam sejarah konflik Timur Tengah, tetapi juga lonceng kematian bagi konsep poros perlawanan yang dibangun oleh PKT.
Bagi Iran, ini bukan sekadar kerugian strategis, melainkan juga trauma nasional yang memperlihatkan betapa rapuhnya perlindungan dari sekutu utama. Bagi Tiongkok, ini menjadi alarm bahaya: di medan perang nyata, diplomasi kosong dan teknologi setengah matang tak bisa lagi menahan arus perubahan zaman.
Serangan ini menjadi pesan keras untuk dunia: Era baru geopolitik telah dimulai, dan hanya mereka yang benar-benar siap yang akan bertahan. (***)