Home Blog Page 5

Benar-benar Tidak Batuk Lagi! Tenggorokan Tidak Gatal, Berbaring pun Tidak Batuk—Ternyata Obat Batuk Alami Ini Sangat Ampuh!

EtIndonesia. Beberapa hari terakhir, anak saya terus-menerus batuk. Tak disangka, kakek memberikan resep tradisional—dan sungguh, hasilnya luar biasa! Sejak mengikuti resep itu, batuknya hilang total, tenggorokannya tidak gatal lagi, bahkan saat berbaring pun tidak batuk lagi. Kami benar-benar tidak menyangka, ternyata bisa semujarab ini!

Sebenarnya, kasus batuk di bulan Mei memang sering terjadi. Mungkin kamu juga heran, kenapa di bulan Mei ini banyak sekali orang yang mudah terserang batuk? Saya pun bertanya kepada seorang teman yang belajar pengobatan tradisional Tiongkok, dan dia menjelaskan tiga penyebab utama:

1. Peralihan musim dari semi ke panas, yang membuat suhu siang dan malam memiliki perbedaan ekstrem—bahkan bisa lebih dari 10 derajat Celcius. Hal ini membuat selaput lendir saluran pernapasan menjadi lebih rentan.

2. Konsentrasi serbuk sari dan kapas pohon poplar (sejenis kapas beterbangan di udara) mencapai puncaknya di bulan Mei—menurut data meteorologi, bisa mencapai 4.000 partikel/m³. Ini sangat mudah memicu batuk, khususnya bagi yang alergi.

3. Mei disebut sebagai “bulan beracun”, karena pada saat inilah banyak kuman, bakteri, dan hama penyakit berkembang biak, yang dapat menyebabkan infeksi dan peradangan saluran pernapasan.

Jadi, Apa Resep Rahasia dari Sang Kakek Itu? Jawabannya Adalah: Buah Loquat (枇杷 / Pípa)

Buah loquat (dikenal sebagai biwa dalam bahasa Jepang, atau nispero di beberapa negara lain) ternyata memiliki khasiat luar biasa dalam meredakan batuk. 

Berikut alasannya:

·        Daging buah loquat mengandung arabinogalactan, sejenis polisakarida yang membentuk lapisan pelindung pada tenggorokan.

·        Daun loquat mengandung senyawa triterpenoid, yang mampu menekan rangsangan pusat batuk di otak.

·        Selain itu, setiap 100 gram buah loquat mengandung sekitar 8 mg vitamin C, yang sangat baik dalam mempercepat pemulihan selaput lendir saluran pernapasan.

Bagaimana Cara Mengonsumsinya? Ini Dia 3 Cara Praktis dan Efektif

1. Terapi Buah Segar

·        Caranya: Konsumsi 5–8 buah loquat segar (sudah dikupas dan dibuang bijinya) dalam keadaan perut kosong, setiap hari selama 3 hari berturut-turut.

·        Manfaat: Sangat efektif meredakan batuk, bahkan bisa menghilangkan batuk sepenuhnya jika dilakukan dengan benar.

·        Catatan: Pastikan mencuci buah dengan benar, karena permukaannya memiliki bulu halus. Jangan makan terlalu banyak sekaligus, karena bisa menyebabkan panas dalam.

2. Rebusan Daun Loquat + Gula Batu (Resep Andalan Keluarga Kami!)

·        Bahan:

  • 10 lembar daun loquat tua (bisa pakai yang segar atau yang sudah dikeringkan),
  • 20 gram gula batu.

·        Cara membuat:

  • Cuci bersih daun loquat.
  • Rebus dalam air bersih hingga mendidih, lalu kecilkan api dan rebus perlahan.
  • Masukkan gula batu, aduk hingga larut.
  • Biarkan hangat, lalu minum 150 ml sebelum tidur.

·        Manfaat: Lebih ampuh dari buahnya! Sangat cocok untuk anak-anak yang mengalami batuk terus-menerus. Tapi ingat, jangan minum dalam keadaan dingin, karena bersifat dingin dan bisa menyebabkan diare.

3. Permen Tenggorokan Darurat (Loquat + Madu)

·        Cara membuat:

  • Haluskan daging buah loquat.
  • Campur dengan madu murni dalam perbandingan 1:1.
  • Simpan dalam wadah tertutup, lalu dinginkan di lemari es.

·        Manfaat: Bisa digunakan seperti permen tenggorokan alami. Efek menenangkan dan melembapkan tenggorokan sangat terasa, dan membantu meredakan batuk dengan cepat.

Kesimpulan:

Bulan Mei memang masa rawan batuk. Tapi dengan pendekatan alami seperti menggunakan loquat—baik buah maupun daunnya—kita bisa meredakan batuk tanpa obat kimia. Meski demikian, jika batuk tidak kunjung sembuh atau disertai gejala lain seperti demam, sesak napas, atau nyeri dada, sebaiknya segera periksakan diri ke dokter untuk mendapatkan penanganan medis yang tepat.(jhn/yn)

Beijing Diduga Akan Tiru Serangan “Pearl Harbor” ala Ukraina ke Rusia? Pakar AS Beri Peringatan Mendesak


EtIndonesia. Pada 1 Juni, Ukraina sukses melancarkan serangan besar-besaran menggunakan drone ke beberapa pangkalan militer di wilayah Timur Jauh Rusia—sekitar 4.800 km dari Kyiv. Serangan ini dijuluki oleh komunitas militer Rusia sebagai “Pearl Harbor versi Rusia” atau bahkan “Kuda Troya ala Ukraina.” Metode baru dalam penggunaan drone ini mencemaskan para pakar militer Amerika, karena berpotensi ditiru oleh kapal kargo Tiongkok di pelabuhan-pelabuhan AS untuk serangan mendadak serupa.

Serangan Diam-diam: Drone Ukraina Luncur dari Kontainer Dekat Pangkalan Rusia

Pada Minggu, Dinas Keamanan Ukraina (SBU) merilis video yang mengungkap sebagian detail dari operasi tersebut. Setidaknya empat pangkalan udara Rusia menjadi sasaran, dengan total 41 pesawat tempur utama Rusia berhasil dihancurkan atau rusak parah. Di antara pesawat yang terkena serangan termasuk pembom jarak jauh Tu-95 dan Tu-22M yang dapat membawa senjata konvensional maupun nuklir, serta pesawat peringatan dini udara A-50. Serangan ini bahkan diklaim berhasil melumpuhkan sekitar 34% dari seluruh pembom strategis Rusia yang mampu meluncurkan rudal jelajah.

Badan intelijen Ukraina menjelaskan bahwa operasi ini melibatkan agen-agen khusus yang menyusup ke Rusia dengan membawa kontainer berisi drone menggunakan sejumlah truk. Setelah kontainer diletakkan dekat pangkalan militer, para agen segera meninggalkan lokasi. Drone kemudian dikendalikan dari jarak jauh melalui sistem komunikasi seperti Starlink, dengan atap kontainer dibuka secara otomatis untuk meluncurkan drone ke arah target.

Zelenskyy: Operasi “Jaring Laba-laba” Akan Masuk Buku Sejarah

Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy pada Minggu malam menyebut operasi yang diberi nama kode “Jaring Laba-laba” (Web) ini sebagai serangan paling berdampak dalam seluruh perang sejauh ini dan yakin akan tercatat dalam sejarah.

Dia mengatakan bahwa operasi ini telah direncanakan selama 1,5 tahun dan melibatkan total 117 drone. Yang mengejutkan, markas operasi ini berada di sebelah kantor pusat Dinas Keamanan Federal Rusia (FSB)—lembaga intelijen dan keamanan utama Rusia.

Serangan “Pearl Harbor” versi Ukraina ini memperluas batas pemahaman dunia tentang taktik penggunaan drone dan memicu kekhawatiran mendalam dari kalangan militer Amerika Serikat.

Peringatan Serius dari Pakar Militer AS: Ancaman Serangan Kontainer di Pelabuhan AS

Thomas Shugart, peneliti dari Center for a New American Security (CNAS) sekaligus pensiunan komandan angkatan laut AS, memberikan peringatan sangat serius.

Dalam wawancara dengan Newsweek, dia mengatakan: “Kita mengizinkan kapal-kapal milik dan dioperasikan oleh perusahaan militer Tiongkok yang telah ditandai oleh Departemen Pertahanan AS untuk bersandar di pelabuhan-pelabuhan kita, lengkap dengan ribuan kontainer yang mereka kendalikan. Itu hampir gila.”

Shugart menegaskan bahwa kekhawatiran ini bukan sekadar spekulasi, melainkan sejalan dengan doktrin “perang tanpa batas” (unrestricted warfare) yang sejak lama dikedepankan oleh Partai Komunis Tiongkok—strategi yang mengandalkan serangan kejutan dan metode non-konvensional untuk menghadapi kekuatan militer AS.

Beberapa pakar lain turut menyuarakan keprihatinan yang sama. Bahkan sebelumnya, lembaga intelijen dan keamanan dalam negeri AS sudah memberikan peringatan.

Dalam laporan Newsweek, disebutkan bahwa pada Januari lalu, sejumlah anggota Komite Keamanan Dalam Negeri AS meminta Penjaga Pantai AS (US Coast Guard) memberikan briefing rahasia mengenai kapal-kapal dagang milik COSCO (China Ocean Shipping Company) yang berlabuh di pelabuhan-pelabuhan utama AS. Mereka memperingatkan bahwa pelabuhan AS kini menghadapi risiko besar mulai dari serangan siber, spionase, sabotase, hingga gangguan rantai pasok.

SBU: Drone Ukraina Hancurkan 41 Pesawat Tempur Rusia Senilai $7 Miliar

Pada 2 Juni, Direktur SBU Vasyl Maliuk mengonfirmasi bahwa Ukraina berhasil menyerang empat pangkalan udara Rusia melalui operasi drone “Jaring Laba-laba” dan menghancurkan 41 pesawat militer Rusia, dengan total kerugian mencapai sekitar 7 miliar dolar.

Maliuk menyatakan bahwa operasi ini secara simultan mencakup tiga zona waktu dan menargetkan pangkalan udara di Rusia Tengah hingga wilayah Arktik. Beberapa lokasi yang diserang antara lain:

·        Bandara Ivanovo (sekitar 300 km utara Moskow),

·        Lapangan pelatihan pembom Dyagilevo di wilayah Ryazan,

·        Pangkalan udara Olenya di Arktik,

·        dan Pangkalan udara Belaya di Siberia Timur, sekitar 4.300 km dari perbatasan Ukraina-Rusia.

Melalui media sosial, Presiden Zelenskyy menyebut bahwa ini adalah bukti kekuatan produksi militer dalam negeri Ukraina yang kini bisa memenuhi sekitar 40% kebutuhan pertahanan, meski tetap memerlukan dukungan dana asing—terutama untuk produksi drone dan sistem pertahanan udara.

Ini adalah serangan Ukraina pertama yang menjangkau pangkalan udara Rusia sejauh ini secara besar-besaran—menandakan peningkatan drastis dalam kemampuan serangan jarak jauh dengan drone.

Bloger Pro-Militer Rusia: “Ini Pukulan Berat, Dinas Intelijen Gagal Total”

Bloger militer Rusia yang dikenal dekat dengan kalangan militer, Rybar, menulis di platform Telegram bahwa serangan ini adalah “pukulan sangat berat” bagi pertahanan Rusia. Ia secara blak-blakan menyebut bahwa dinas intelijen Rusia telah melakukan kesalahan besar dalam mengantisipasi serangan ini. (jhn/yn)

Bocah di Tiongkok Kabur Setelah Dimarahi Ayahnya, Mengetahui Ayahnya Telah Meninggal dalam Kecelakan 2 Hari Kemudian

EtIndonesia. Orang-orang di media sosial merasa sedih atas seorang bocah lelaki berusia 12 tahun yang kabur dari rumah untuk menghindari hukuman dari ayahnya, dan baru mendengar tentang kematian mendadak ayahnya saat ditemukan oleh polisi.

Bocah laki-laki bermarga Wang itu, dari Provinsi Jiangxi di Tiongkok timur, kabur dari rumahnya pada 20 Mei setelah ayahnya memarahi dan memukulinya karena terlalu banyak bermain dengan ponselnya.

Dua hari kemudian, ayahnya, seorang sopir pengiriman barang, tertabrak mobil saat sedang bekerja.

Menurut seorang saksi, Wang senior sedang mengendarai sepeda listriknya ketika sepeda itu bertabrakan dengan sebuah mobil dan dia terseret di bawah roda-rodanya.

Saksi mata mengatakan dia mendengar pengemudi itu mengaku tidak melihat Wang senior yang terluka parah dan dilarikan ke rumah sakit.

Setelah mengetahui situasi keluarganya, polisi dan relawan segera melakukan pencarian terhadap bocah laki-laki itu agar dia bisa melihat ayahnya untuk terakhir kalinya.

Mereka menemukan bocah itu di jalan di luar sebuah toko, tetapi sudah terlambat, ayahnya telah meninggal.

Seorang relawan yang mengelola tim penyelamat setempat mengatakan orangtua bocah itu bercerai saat dia masih kecil. Dia tinggal bersama ayah dan neneknya, yang berusia 70-an.

Kisah itu telah ditonton hampir 5 juta kali di platform media sosial utama.

“Ayahnya mungkin mencarinya saat mengantar pesanan,” kata seorang pengamat daring.

“Dia mungkin tidak dapat menyadari apa arti kematian di usianya, tetapi dia mungkin menyesal melarikan diri selama sisa hidupnya,” kata yang lain.

Orang ketiga berkata: “Ini adalah tragedi keluarga orangtua tunggal, di mana orangtua yang harus bekerja sepanjang waktu untuk memberi makan keluarga tidak punya waktu untuk mendidik anak-anak mereka dengan baik.”

Beberapa juga memberi perhatian khusus pada keselamatan pengendara, dan meminta platform pengiriman makanan untuk memperkenalkan langkah-langkah guna mengurangi tekanan pada pekerja.

Tiongkok memiliki lebih dari 10 juta pekerja pengiriman, menurut media pemerintah negara itu. Gaji bulanan rata-rata mereka adalah 6.800 yuan.

Menurut survei yang dilakukan bersama oleh Akademi Ilmu Sosial Tiongkok pada tahun 2020, lebih dari 60 persen pengemudi pengiriman bekerja tujuh hari seminggu.

Separuhnya bekerja delapan hingga 10 jam sehari, dan 37 persen lainnya bekerja lebih dari 10 jam sehari.

Perusahaan pengiriman makanan raksasa Tiongkok, Meituan, mengatakan pihaknya berencana untuk memperkenalkan langkah-langkah anti-kelelahan bagi para pekerjanya Desember lalu.

Langkah-langkah tersebut memberi tahu pekerja jika mereka telah bekerja selama delapan jam, dan memaksa mereka untuk beristirahat saat mereka bekerja hingga 12 jam.(yn)

Sumber: scmp

Ukraina Balas Dendam: Jembatan Krimea Hancur, AS Siapkan ‘Bom’ Ekonomi Baru

EtIndonesia. Situasi di kawasan Laut Hitam kembali memanas setelah Ukraina secara resmi mengumumkan telah melakukan serangan spektakuler terhadap jembatan strategis yang menghubungkan Rusia dan Semenanjung Krimea. Serangan ini bukan hanya menunjukkan kapabilitas militer dan intelijen Ukraina, tetapi juga menimbulkan efek domino ke berbagai penjuru dunia, termasuk memicu respons keras dari Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya.

Ledakan Dahsyat di Jembatan Krimea

Pada pagi hari, 3 Juni , Badan Keamanan Nasional Ukraina merilis pernyataan resmi yang mengejutkan dunia internasional. Mereka mengonfirmasi telah melancarkan operasi peledakan bawah air terhadap jembatan jalan raya dan rel kereta yang membentang sepanjang 19 kilometer, menjadi penghubung vital antara daratan Rusia dengan Krimea.

Dalam operasi yang disebut-sebut sudah dipersiapkan selama berbulan-bulan itu, Ukraina menggunakan sekitar 1.100 kilogram bahan peledak canggih. Target utama adalah pilar utama penopang jembatan. Rekaman video yang disebar Pemerintah Ukraina memperlihatkan detik-detik ledakan di bawah permukaan air, menciptakan semburan air raksasa, gelombang kejut, dan serpihan beterbangan di udara.

Akibat ledakan tersebut, struktur penopang jembatan mengalami kerusakan berat dan sebagian tenggelam ke bawah permukaan laut. Lalu lintas di kedua jalur jembatan, baik jalan raya maupun rel kereta, langsung dihentikan total, dan status darurat diberlakukan di sekitar lokasi.

Krisis Logistik Rusia dan Simbol Kekuasaan Putin

Jembatan Krimea yang diresmikan pada 2018 oleh Presiden Vladimir Putin bukan sekadar infrastruktur; dia adalah simbol kekuasaan Rusia atas Krimea dan menjadi jalur logistik utama militer serta sipil. Sejak invasi Rusia ke Ukraina, jembatan ini selalu menjadi target utama serangan karena fungsinya yang sangat vital.

Serangan ini merupakan yang ketiga kalinya menimpa jembatan tersebut sejak pecahnya perang. Media-media Rusia sempat memberlakukan sensor dan hanya menginformasikan bahwa jembatan ditutup selama lebih dari tiga jam tanpa penjelasan resmi, sebelum akhirnya kembali dibuka secara terbatas.

Operasi Drone “Jaring Laba-laba” Mengguncang Pangkalan Udara Rusia

Bersamaan dengan aksi di Krimea, delegasi tinggi Ukraina, termasuk Kolonel Palitsa (Wakil Kepala Staf Kepresidenan), tiba di Washington DC untuk menyampaikan laporan keberhasilan “Operasi Jaring Laba-laba”—sebuah serangan drone skala besar terhadap beberapa pangkalan udara utama milik militer Rusia.

Yang mengejutkan dunia, operasi ini melibatkan drone-drone dengan biaya produksi sangat rendah, namun mampu meluluhlantakkan peralatan tempur Rusia senilai ratusan juta dolar. Salah satu contoh paling mencolok adalah bagaimana sebuah drone buatan Ukraina, yang harga per unitnya hanya sekitar 600 dolar, berhasil menghancurkan pesawat pengebom strategis milik Rusia yang nilainya ratusan juta dolar.

Drone-drone ini, menurut pejabat Ukraina, berhasil diselundupkan ke wilayah Rusia dengan menggunakan kotak kayu khusus, lalu diterbangkan dari Kiev hingga ke pangkalan-pangkalan di Siberia, menempuh jarak lebih dari 4.300 kilometer.

Presiden Zelenskyy: Teknologi Kunci Kemenangan

Dalam pidatonya, Presiden Volodymyr Zelenskyy menegaskan bahwa serangkaian operasi militer ini adalah bukti nyata bagaimana teknologi telah mengubah wajah peperangan modern. 

“Dengan kreativitas dan inovasi, kami bisa menembus pertahanan Rusia yang dianggap paling kuat di dunia,” ujarnya.

Keberhasilan ini juga mendapat perhatian dan pujian dari para analis militer Amerika Serikat. Mereka menyoroti betapa efektif dan jauhnya jangkauan drone Ukraina, bahkan menimbulkan kekhawatiran baru di kalangan pejabat NATO terkait celah pertahanan di pangkalan-pangkalan udara mereka sendiri.

Tekanan Diplomatik: Sanksi Ekspor Energi Rusia Diperketat

Tidak hanya berhenti pada aspek militer, Ukraina juga memanfaatkan momentum ini untuk meningkatkan tekanan diplomatik terhadap Rusia. Delegasi Ukraina secara langsung meminta kepada Pemerintah Amerika Serikat dan anggota Kongres untuk memperkuat sanksi ekonomi, terutama di sektor ekspor minyak dan gas Rusia.

Senat Amerika Serikat kini tengah menyiapkan rancangan undang-undang sanksi baru yang dijadwalkan akan disahkan pada akhir Juni. Sanksi tersebut menargetkan ekspor energi Rusia ke berbagai negara, termasuk kemungkinan pengenaan tarif hukuman hingga 500% bagi negara-negara pengimpor energi Rusia. Tiongkok dan India, sebagai pembeli utama—menyerap sekitar 70% ekspor minyak dan gas Rusia—diperkirakan akan menjadi sasaran utama kebijakan ini.

Kongres AS Bersatu, Dampak Global Mengancam

Ketua Mayoritas Senat AS, John Thune, dalam pidato di Capitol Hill pada 2 Juni menegaskan bahwa meskipun pemerintahan Trump masih berharap ada ruang negosiasi dengan Rusia, Kongres telah sepakat untuk bertindak tegas.

“Amerika tidak boleh lagi membiarkan rezim Putin membiayai perang dari hasil penjualan energi,” ujar Thune. 

Sebanyak 82 senator dari Partai Demokrat maupun Republik telah menandatangani dukungan terhadap sanksi baru ini. Langkah ini mencerminkan sikap bipartisan yang jarang terjadi dalam isu luar negeri Amerika.

Namun demikian, meskipun sudah lolos Senat, RUU sanksi baru ini masih harus mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang saat ini dikuasai Partai Republik. Sampai berita ini diturunkan, belum ada kepastian kapan DPR akan mengagendakan pemungutan suara, dan apakah Presiden AS akan segera menandatanganinya menjadi undang-undang.

Dampak Besar di Asia: Tiongkok dan India Dalam Sorotan

Jika sanksi ini benar-benar diberlakukan, diperkirakan akan berdampak besar terhadap stabilitas pasar energi global. Tiongkok dan India sebagai konsumen utama energi Rusia akan menghadapi dilema besar—melanjutkan impor dan menghadapi tarif berat dari AS, atau mencari alternatif energi di tengah ketidakpastian geopolitik dunia.

Tak hanya itu, kebijakan baru ini berpotensi memperuncing ketegangan diplomatik antara Washington, Beijing, dan New Delhi. Negara-negara Eropa pun ikut mencermati dengan seksama, khawatir akan efek domino terhadap pasokan energi di benua tersebut.

Kesimpulan:

Serangan spektakuler Ukraina ke jembatan Krimea dan keberhasilan operasi drone di wilayah Rusia menunjukkan babak baru dalam perang teknologi di era modern. Di sisi lain, tekanan ekonomi dan diplomatik dari Amerika Serikat dan sekutunya terhadap Rusia—dengan target sekunder ke Tiongkok dan India—berpotensi memicu pergeseran besar dalam geopolitik energi dunia. Dunia kini menanti, akankah respons Rusia, Tiongkok, dan India membawa eskalasi baru, atau justru membuka ruang negosiasi damai?

Menlu AS Marco Rubio Kutuk Pembantaian Lapangan Tiananmen oleh PKT Menjelang Peringatan ke 36

 “Kita mengenang penumpasan brutal 36 tahun lalu … Kebebasan, demokrasi, dan pemerintahan sendiri adalah prinsip kemanusiaan yang tidak bisa dihapus oleh PKT,” kata Menteri Luar Negeri AS.

EtIndonesia. Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Marco Rubio, mengecam tindakan “penumpasan brutal” Partai Komunis Tiongkok (PKT) terhadap protes mahasiswa pada 4 Juni 1989 di Lapangan Tiananmen, dalam sebuah unggahan di media sosial menjelang peringatan tragedi tersebut.

“Kami mengenang penumpasan brutal yang dilakukan Partai Komunis Tiongkok 36 tahun lalu di Lapangan Tiananmen dan menghormati keberanian para korban tak bersalah yang dibunuh dan dipenjara hari itu. Kebebasan, demokrasi, dan pemerintahan sendiri adalah prinsip kemanusiaan yang tidak bisa dihapus oleh PKT,” tulisnya di platform X (sebelumnya Twitter).

Rubio juga mengeluarkan pernyataan resmi dari Departemen Luar Negeri AS untuk mengenang para mahasiswa, sekaligus mengecam PKT atas tindakan sensor dan pelanggaran hak asasi manusia.

Di Lapangan Tiananmen pada 4 Juni 1989, para mahasiswa Beijing memprotes tindakan keras Partai Komunis Tiongkok terhadap anti-korupsi dan menuntut demokrasi, dengan melakukan aksi mogok makan yang didukung oleh masyarakat umum. (Foto courtesy of Jian Liu)

Pernyataan tersebut mencatat bahwa demonstrasi pro-demokrasi dimulai pada musim semi tahun 1989 dan “menginspirasi gerakan nasional.”

“Ratusan ribu warga biasa di ibu kota dan di seluruh Tiongkok turun ke jalan selama berminggu-minggu untuk menggunakan hak mereka atas kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai, dengan menyerukan demokrasi, hak asasi manusia, dan diakhirinya korupsi yang merajalela,” bunyi pernyataan itu.

“PKT menanggapi dengan penumpasan brutal, mengirim Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) untuk menembaki warga sipil tak bersenjata yang berkumpul di jalan-jalan Beijing dan di Lapangan Tiananmen demi memadamkan semangat pro-demokrasi mereka.”

Penulis Ma Jian terus berjaga hingga fajar di bawah monumen di tengah Lapangan Tiananmen di Beijing pada tahun 1989. (Courtesy of Ma Jian)

PKT menghadapi para demonstran dengan tank dan tembakan senjata api. Jumlah korban jiwa mencapai ribuan orang, tetapi pihak berwenang Tiongkok—dalam salah satu bentuk sensor paling dikenal luas—memberitahu rakyat bahwa para mahasiswa-lah yang menyerang tentara.

“PKT secara aktif berusaha menyensor fakta-fakta, tetapi dunia tidak akan pernah melupakannya,” kata Rubio.

Rubio memberikan penghormatan terhadap keberanian para demonstran yang gugur, “serta mereka yang hingga hari ini terus mengalami penganiayaan karena memperjuangkan keadilan dan pertanggungjawaban atas peristiwa 4 Juni 1989.”

“Keberanian mereka di tengah bahaya yang pasti mengingatkan kita bahwa prinsip-prinsip kebebasan, demokrasi, dan pemerintahan sendiri bukanlah semata-mata milik Amerika. Itu adalah prinsip kemanusiaan yang tidak bisa dihapus oleh PKT,” ujar Rubio.

Seorang mahasiswa pro-demokrasi melakukan demonstrasi di Lapangan Tiananmen di Beijing pada tahun 1989. (Foto courtesy of Ma Jian)

Saat itu, Presiden George H.W. Bush juga mengecam tindakan PKT, dan sejak itu, Departemen Luar Negeri AS terus menyampaikan kecaman tiap tahun.

Para aktivis hak asasi manusia di seluruh dunia turut memperingati peringatan pembantaian Lapangan Tiananmen. Namun di Tiongkok, PKT memantau dan membatasi pergerakan para aktivis hak asasi yang diketahui, terutama menjelang peringatan seperti 4 Juni, guna mencegah terjadinya demonstrasi.

PKT memiliki rekam jejak panjang dalam pelanggaran hak asasi manusia, tetapi secara rutin memperingatkan negara lain agar tidak membahas isu tersebut. Dua dekade lalu, para pembelot Tiongkok mengungkap bahwa PKT menganggap beberapa kelompok sebagai “racun” bagi kekuasaannya karena mereka menawarkan visi alternatif bagi masa depan Tiongkok.

Para kelompok tersebut meliputi: praktisi Falun Gong (sebuah disiplin spiritual), orang Tibet, para pendukung demokrasi di Tiongkok, pendukung kemerdekaan Taiwan, dan yang terbaru, etnis minoritas Uyghur yang dianiaya di Xinjiang. PKT menyebut mereka sebagai “lima racun”. (asr)

Sumber : Theepochtimes.com

Pemerintahan Trump Tertibkan Universitas Harvard, “Sekolah Partai Nomor Satu di Luar Negeri” Milik PKT Bisa Berakhir

Sekolah Pemerintahan Kennedy di Universitas Harvard telah lama menjadi pilihan utama pejabat tinggi Partai Komunis Tiongkok (PKT) untuk “mendapat gelar bergengsi” di luar negeri. Bahkan, institusi ini dijuluki sebagai “Sekolah Partai Nomor Satu di Luar Negeri” milik PKT. Namun, dengan langkah pemerintahan Trump untuk menertibkan Harvard dan melarang mahasiswa Tiongkok yang terkait dengan PKT masuk ke AS, saluran infiltrasi PKT ini kini benar-benar terputus.

EtIndonesia. Laporan The Wall Street Journal menyebutkan selama beberapa dekade terakhir, PKT telah mengirim ribuan pejabat menengah dan tinggi ke AS untuk memperoleh “gelar kehormatan,” termasuk mantan Wakil Presiden Li Yuanchao dan perwakilan dagang utama Liu He.

Pekan lalu, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio mengumumkan akan memperketat permohonan visa bagi warga negara Tiongkok, dan akan membatalkan visa pelajar Tiongkok secara besar-besaran, terutama bagi mereka yang terkait dengan PKT atau mempelajari bidang-bidang strategis.

Hubungan Harvard dengan PKT telah menjadi titik tekanan utama bagi pemerintahan Trump. Trump sedang mencabut hak Harvard untuk menerima mahasiswa asing dan menuduh universitas tersebut terlalu dekat dengan PKT. Namun, pemerintah memberi Harvard waktu 30 hari untuk mengajukan banding.

Kalangan politik AS menilai bahwa PKT telah lama memanfaatkan kebijakan pendidikan tinggi AS yang longgar untuk mencuri kekayaan intelektual, menyusup ke dunia akademik, dan merusak kepentingan nasional AS. Banyak kampus menjadi benteng ideologi liberal dan komunisme kiri.

Pada awal 2000-an, Harvard memulai program bernama “Pelatihan Tingkat Lanjut Administrasi Publik Tiongkok,” yang dirancang untuk pejabat PKT dan terdiri dari dua fase pelatihan — masing-masing di Harvard dan Universitas Tsinghua di Beijing.

Beberapa anak pejabat tinggi PKT juga diketahui kuliah di Harvard, termasuk Xi Mingze (putri Xi Jinping) dan Bo Guagua (putra Bo Xilai, mantan anggota Politbiro PKT).

Hubungan erat Harvard dengan PKT juga membuka peluang komunikasi langsung. Tahun lalu, mantan dekan Sekolah Kennedy, Graham Allison, pernah bertemu dengan Xi Jinping dan Menteri Luar Negeri PKT, Wang Yi.

Pemerintahan Trump kini mengambil tindakan terhadap Harvard dan universitas-universitas AS lainnya untuk memutus infiltrasi kekuatan asing ke dalam dunia pendidikan tinggi Amerika.

Pemerintah mengumumkan pembekuan kontrak dan pendanaan federal senilai lebih dari 2 miliar dolar AS kepada Harvard, dan universitas tersebut telah mengajukan gugatan atas keputusan ini. (hui)

Laporan oleh Zhao Fenghua, New Tang Dynasty Television

Xi Jinping Menghilang 13 Hari, Kematian Mendadak Xu Qiliang Picu Spekulasi

EtIndonesia. Ragam berita kali ini tentang Wakil Ketua Komisi Militer Pusat Partai Komunis Tiongkok  Xu Qiliang tiba-tiba meninggal dunia, tiga versi penyebab menimbulkan spekulasi, Xi Jinping menghilang 13 hari, satu tindakan media resmi mematahkan kebiasaan, gunung berapi aktif terbesar di Eropa meletus, wisatawan panik melarikan diri. Meteor api, petir aneh, dan ikan-ikan muncul dari air, fenomena aneh di Tiongkok picu kekhawatiran

Mantan Wakil Ketua Komisi Militer Pusat PKT Xu Qiliang Tiba-Tiba Meninggal Dunia, Xi Jinping Menghilang 13 Hari Picu Spekulasi

Dunia politik Tiongkok kembali diguncang. Pada Senin (2 Juni), mantan Wakil Ketua Komisi Militer Pusat PKT, Xu Qiliang, secara resmi diumumkan meninggal dunia karena sakit, pada usia 75 tahun. Ada kabar bahwa ia “mati karena ketakutan”, memicu perhatian besar terhadap gejolak dalam militer PKT.

Kantor berita resmi Xinhua melaporkan bahwa Xu meninggal dunia pada pukul 12:12 siang di Beijing. Ia pernah menjabat sebagai Komandan Angkatan Udara, Wakil Ketua Komisi Militer Pusat, dan anggota Politbiro, dan pensiun pada tahun 2022.

Namun, sebelum pengumuman resmi, rumor sudah beredar di media sosial luar negeri. Mantan jurnalis Tiongkok, Zhao Lanjian, mengungkap di platform X bahwa ia menerima kabar kematian Xu sejak 28 Mei dari sumber di militer, dan menyebut Xu “mati karena ketakutan”.

Versi lain dikutip dari Sing Tao Daily, yang mengutip jurnalis Beijing Ma Ling, mengatakan bahwa Xu mengalami serangan jantung mendadak saat jogging di pagi hari.

Sementara itu, jurnalis independen di Australia, Yin Ke, menyebut bahwa putri Xu menyampaikan dalam pengumuman kematian bahwa Xu meninggal dunia karena “kematian jantung mendadak”. Disebutkan pula bahwa ia sempat dilarikan ke Rumah Sakit 301, tetapi tidak berhasil diselamatkan.

Kematian Xu terjadi di tengah gejolak besar di kalangan elit PKT. Selama setahun terakhir, banyak orang kepercayaan Xi Jinping dari kalangan partai, pemerintahan, dan militer ditangkap, termasuk Menteri Pertahanan Li Shangfu, Menteri Luar Negeri Qin Gang, dan Kepala Departemen Kerja Politik Miao Hua.

Pada 19 Mei, komentator Cai Shenkun mengungkap bahwa Wakil Kepala Departemen Kerja Politik Komisi Militer, He Hongjun, melakukan percobaan bunuh diri saat dalam tahanan dan akhirnya meninggal dunia. Cai juga menyebut Wakil Ketua Komisi Militer lainnya, He Weidong, meninggal dunia pada 2 Mei, namun tidak ada pengumuman resmi.

Sementara itu, Xi Jinping sendiri tidak muncul di depan publik. Hingga 2 Juni, sudah 13 hari ia tidak tampil di media. Bahkan rapat Politbiro bulan Mei tidak dilaporkan, mematahkan kebiasaan yang selama ini ada.

The Epoch Times melaporkan bahwa Xi sebenarnya sudah kehilangan kekuasaan sejak April tahun lalu, dan hanya menjabat secara simbolis. Mantan tokoh elit seperti Wen Jiabao dan Zhang Youxia diduga sedang mengambil alih kendali.

Meski Xinhua pada 2 Juni menerbitkan berita surat dari Xi untuk “Barisan Pemuda Pionir”, yang dianggap sebagai upaya menunjukkan eksistensinya, analis Wen Zhao berpendapat bahwa jika Xi masih memegang kekuasaan, ia seharusnya tampil menenangkan publik — bukan “menghilang secara fisik”.

Putaran Kedua Negosiasi Rusia-Ukraina Berakhir Singkat, Kesepakatan Baru Pertukaran Tahanan Tercapai

Pada 2 Juni, Rusia dan Ukraina menggelar putaran kedua negosiasi damai di Istanbul, Turki. Namun, pertemuan itu molor dua jam dan hanya berlangsung sekitar satu jam sebelum berakhir tanpa hasil nyata. Ini adalah kontak langsung kedua antara kedua negara sejak 2022.

Menurut Reuters, Menteri Luar Negeri Turki Hakan Fidan mengatakan kepada delegasi bahwa “seluruh dunia sedang menyaksikan.” Agenda termasuk gencatan senjata, pertemuan presiden kedua negara, dan pertukaran tawanan.

Namun, sebelum perundingan dimulai, Ukraina melancarkan serangan drone besar-besaran terhadap pangkalan strategis Angkatan Udara Rusia, termasuk pembom jarak jauh dengan kemampuan nuklir di Siberia.

CNN melaporkan, menurut sumber dari Badan Keamanan Ukraina (SBU), serangan ini telah dipersiapkan secara rahasia selama satu setengah tahun. Drone disamarkan dalam rumah kayu yang diangkut dengan truk, kemudian diluncurkan secara mendadak di wilayah dalam Rusia.

Serangan ini diklaim menyebabkan kerugian senilai US$7 miliar bagi Rusia, menghancurkan sekitar 34% armada pembom rudal jelajah strategis Rusia. Citra satelit juga menunjukkan adanya kerusakan pangkalan.

Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy mengatakan di Lituania bahwa Ukraina sedang menyiapkan putaran baru pertukaran tawanan. Kepala stafnya juga menyampaikan telah menyerahkan daftar anak-anak Ukraina yang diculik, meminta Rusia mengembalikannya.

Setelah pertemuan, kedua belah pihak menyatakan telah mencapai kesepakatan awal soal pertukaran tawanan dan pemulangan jenazah. Mereka berencana masing-masing menyerahkan 6.000 jenazah tentara yang gugur. Perwakilan Kremlin Vladimir Medinsky juga mengusulkan gencatan senjata 2–3 hari di garis depan tertentu untuk memungkinkan pemulangan jenazah, dengan syarat telah disampaikan ke Ukraina.

Rincian lain dari pertemuan belum diumumkan. Apakah serangan drone Ukraina akan berdampak besar pada negosiasi dan medan perang ke depan? Kami akan terus memantau.

Insiden Teror di Colorado: Pelaku Imigran Ilegal

Pada 2 Juni, Departemen Keamanan Dalam Negeri AS mengonfirmasi bahwa pelaku serangan di Boulder, Colorado adalah imigran asing ilegal.

Asisten Menteri untuk Urusan Publik, Tricia McLaughlin, menyatakan bahwa pelaku bernama Mohamed Soliman, 45 tahun, masuk AS dengan visa turis B2 pada Agustus 2022, lalu mengajukan suaka. Ia sempat mendapat izin kerja, namun sejak 28 Maret tahun ini, izinnya habis dan ia menjadi imigran ilegal.

Serangan terjadi  di acara mingguan bertema “Lari untuk Hidup Mereka” yang mendukung Israel. Polisi menyatakan bahwa Soliman menggunakan pelontar api buatan sendiri dan alat pembakar untuk menyerang kerumunan, sambil meneriakkan slogan “Bebaskan Palestina”.

FBI menyatakan ini sebagai “serangan teroris.” Agen FBI Mark Michalek menyebut kasus ini sedang diselidiki bersama oleh pihak federal dan lokal. Foto Soliman telah dirilis, dan ia kini ditahan di penjara Boulder County.

Menurut polisi, serangan melukai delapan orang berusia 52–88 tahun. Dua korban luka parah diterbangkan ke pusat luka bakar. Belum ada laporan korban jiwa. Soliman didakwa dengan berbagai pelanggaran berat, termasuk penggunaan alat pembakar dan percobaan pembunuhan tingkat pertama. Belum jelas apakah ini dikategorikan sebagai percobaan pembunuhan.

Soliman dijadwalkan menjalani sidang perdana hari ini, dengan jaminan ditetapkan sebesar US$10 juta.

Gedung Putih juga menanggapi. Penasihat Keamanan Dalam Negeri Stephen Miller mengkritik lewat platform X: “Pelaku ini mendapat visa dan izin kerja di bawah pemerintahan Biden, lalu menjadi imigran ilegal. Kebijakan imigrasi yang menghancurkan ini harus segera dihentikan.”

Acara “Lari untuk Hidup Mereka” merupakan kegiatan rutin mingguan di Boulder untuk mendukung pembebasan sandera Israel yang masih ditahan Hamas.

Kasus ini masih dalam penyelidikan. Kami akan terus memberikan informasi terbaru.

[Gunung Etna Meletus di Italia, Wisatawan Lari Menyelamatkan Diri]

Pada Senin 2 Juni, Gunung Etna di Italia mengalami letusan besar. Video yang diunggah di media sosial menunjukkan wisatawan berbaris panjang dan berlari menjauh dari lokasi kejadian. Asap tebal yang terbentuk dari gas panas, abu vulkanik, dan batuan naik beberapa kilometer ke langit di belakang mereka — pemandangannya sangat dramatis.

Gunung ini terletak di Pulau Sisilia, Italia, dan merupakan destinasi wisata populer sekaligus gunung berapi aktif terbesar di Eropa, menarik sekitar 1,5 juta wisatawan setiap tahunnya. Banyak dari mereka mendaki hingga ke puncak.

Seorang pemilik perusahaan wisata mengatakan kepada CNN bahwa saat gunung meletus, mereka memiliki 40 orang di Gunung Etna.

Meskipun Etna adalah salah satu gunung berapi paling aktif di dunia, menurut data dari Institut Nasional Geofisika dan Vulkanologi, letusan sebesar ini belum terjadi sejak tahun 2014.

Juru bicara institut tersebut menyatakan bahwa sekitar pukul 13.00 waktu setempat (07.00 waktu AS bagian timur), gunung mulai memuntahkan lava panas, dan intensitas letusan terus meningkat.

Beberapa saksi mata yang mengunggah video di media sosial mengatakan bahwa letusan dimulai pada malam hari, dan suara ledakan terdengar hingga Taormina yang berjarak 50 km dan Catania yang berjarak 40 km.

Badan Perlindungan Sipil Sisilia mengeluarkan peringatan penerbangan vulkanik (VONA), yang berarti semua penerbangan harus menghindari area tersebut.

Untuk saat ini, angin belum membawa abu vulkanik ke arah bandara, sehingga bandara di Catania dan Palermo tetap buka. Namun, menurut pelacak penerbangan, beberapa penerbangan dari Catania telah dialihkan ke Palermo.

Pihak berwenang Sisilia mengatakan mereka terus memantau situasi dan saat ini belum ada ancaman bagi masyarakat.

[Bola Api, Petir Aneh, Ikan Melompat – Fenomena Alam Aneh di Tiongkok Jadi Sorotan]

Pada 1 Juni, danau Dianchi di Kunming, Yunnan tiba-tiba dipenuhi dengan ikan-ikan yang meloncat dari permukaan air. Banyak orang menyaksikannya, dan salah satu warganet memposting video yang mengatakan, “Sekitar 300-400 ikan melompat bersamaan selama kira-kira satu menit, saat itu suhu udara sekitar 22 derajat Celcius.” Beberapa orang di lokasi bahkan berteriak ketakutan.

Seorang warganet berkomentar, “Saya tumbuh besar di dekat laut dan belum pernah melihat hal seperti ini. Para nelayan yang berusia 40–50 tahun juga bilang mereka belum pernah melihat kejadian seperti ini.”

Ada juga yang mengatakan, “Jika terjadi hal di luar kebiasaan, pasti ada sesuatu yang aneh.”

Akhir-akhir ini, berbagai fenomena alam tak biasa terjadi di berbagai wilayah Tiongkok.

Pada 1 dan 2 Juni, aurora merah muda langka muncul di banyak tempat di provinsi Heilongjiang, termasuk Mishan, Jiamusi, dan Heihe.

Dari 31 Mei hingga 1 Juni, seorang fotografer di Tibet merekam petir misterius berwarna merah — dikenal sebagai “red sprite” — untuk pertama kalinya dalam gerakan lambat di Tiongkok. Ia membagikannya di media sosial sebagai dokumentasi pertama fenomena itu di dalam negeri.

Pada 31 Mei sekitar pukul 03.00 dini hari, warga di distrik Tongzhou, Shunyi, dan Huairou di Beijing melaporkan mendengar suara ledakan besar yang membangunkan mereka dari tidur. Beberapa orang menyaksikan langit malam yang gelap tiba-tiba menyala terang. Banyak yang menduga itu adalah bola api (meteor besar) dan mungkin ada meteorit yang jatuh di Beijing.

Pada 30 Mei malam, benda terbang tak dikenal terlihat jatuh dari langit dengan cahaya terang di Weifang dan Rizhao di Shandong, serta di Jiangsu dan Anhui.

Warganet Tiongkok meninggalkan komentar seperti: “Akhir-akhir ini langit sering menunjukkan tanda-tanda, bola api, petir merah, semua ini tanda langit — bisa jadi pertanda baik atau buruk.” Ada pula yang berkata, “Juli dan Agustus akan menjadi titik balik dunia, yang tahu pasti sudah paham.” “Apakah ini pertanda baik atau pertanda buruk?” “Akan ada apa? Harus lebih waspada!”

[Putaran Kedua Perundingan Rusia-Ukraina Gagal, Serangan Drone Memicu Ketegangan]

Pada 2 Juni, Rusia dan Ukraina mengadakan putaran kedua perundingan damai di Istanbul, Turki. Namun, perundingan berlangsung kurang dari dua jam dan berakhir tanpa hasil jelas.

Ini merupakan pertemuan langsung kedua antara Rusia dan Ukraina sejak 2022. Pertemuan itu tertunda hampir dua jam dari waktu yang dijadwalkan, tanpa alasan yang dijelaskan.

Menurut laporan Reuters, Menteri Luar Negeri Turki Hakan Fidan mengatakan kepada delegasi Rusia dan Ukraina, “Seluruh dunia sedang memperhatikan.” Ia menyebutkan bahwa pertemuan ini akan membahas kemungkinan gencatan senjata, pertemuan presiden kedua negara, serta pertukaran tahanan perang.

Kedua pihak menyatakan bahwa mereka telah mencapai kesepakatan awal tentang pertukaran tawanan dan pemulangan jenazah tentara yang gugur, masing-masing berjumlah 6.000. Wakil Kremlin Vladimir Medinsky juga mengusulkan gencatan senjata singkat 2–3 hari di beberapa garis depan untuk mengumpulkan jenazah, dan telah menyerahkan memorandum syarat gencatan senjata kepada delegasi Ukraina.

Namun, menjelang perundingan ini, militer Ukraina meluncurkan serangan drone besar-besaran ke pangkalan strategis angkatan udara Rusia, termasuk terhadap pembom jarak jauh yang memiliki kemampuan nuklir di Siberia dan daerah lain.

Menurut CNN, seorang sumber dari Badan Keamanan Ukraina (SBU) mengungkapkan bahwa serangan ini telah dipersiapkan secara rahasia selama satu setengah tahun. Drone disembunyikan dalam rumah kayu yang bisa bergerak di atas truk dan menyerang secara mendadak ketika sudah masuk ke wilayah Rusia.

Sumber tersebut mengatakan, serangan itu menimbulkan kerugian hingga 7 miliar dolar AS bagi Rusia, dan sekitar 34% pesawat pengangkut rudal jelajah strategis mereka dihancurkan. Citra satelit juga menunjukkan kerusakan pada pangkalan tersebut.

Blogger pro-Rusia di media sosial marah besar dan menyerukan balas dendam, meningkatkan ketegangan publik.

Sementara itu, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy menyatakan di Lituania bahwa Ukraina sedang menyiapkan putaran baru pertukaran tawanan. Kepala stafnya juga mengungkapkan bahwa mereka telah menyerahkan daftar nama kepada pihak Rusia untuk meminta pemulangan anak-anak Ukraina yang dibawa paksa.

Ukraina menyatakan bahwa anak-anak tersebut diculik oleh militer Rusia dan harus dikembalikan sebagai bagian dari kesepakatan. Rusia membantah dan mengatakan bahwa anak-anak itu hanya diamankan untuk melindungi mereka dari konflik.

Rincian lebih lanjut dari pertemuan ini belum dipublikasikan. Namun perhatian dunia tertuju pada tekanan dari Presiden AS Donald Trump yang memperingatkan bahwa jika tidak ada hasil nyata, AS mungkin akan menarik diri dari proses mediasi.

Baru mulai negosiasi, sudah diserang dengan rudal. Apakah serangan Ukraina ini akan menggagalkan proses perdamaian? Bagaimana Rusia akan merespons? Kami akan terus memantau perkembangan situasi ini. (Hui)

Sumber : NTDTV.com 

Turis di Tiongkok Merusak Patung Tentara Terakota Berusia 2.000 Tahun Setelah Melompat ke Dalam Lubang

EtIndonesia. Seorang turis menuai kecaman luas setelah melompat ke bagian yang dilindungi di situs Tentara Terakota di Xi’an, Tiongkok dan merusak dua patung kuno tersebut.

Insiden tersebut terjadi pada hari Jumat (30/5) ketika seorang pria berusia 30 tahun, yang hanya dikenal sebagai Sun, melompati penghalang pengaman — termasuk pagar pembatas dan jaring — ke salah satu lubang yang menampung tentara tanah liat berusia 2.000 tahun tersebut.

Meskipun lubang tersebut sedalam lebih dari 5m, Sun berhasil turun ke dalamnya dan mulai menarik beberapa patung, menyebabkan kerusakan yang terlihat pada setidaknya dua di antaranya.

Dia baru berhenti ketika petugas keamanan turun tangan dan menahannya.

Pihak berwenang museum telah mengonfirmasi bahwa Sun menderita penyakit mental dan bahwa penyelidikan polisi masih berlangsung.

Situs Tentara Terakota, yang dianggap sebagai salah satu harta arkeologi terbesar di Tiongkok, tetap terbuka untuk pengunjung.

Para pejabat saat ini sedang menilai tingkat kerusakan dan cara terbaik untuk melakukan perbaikan.

Lubang yang dimasuki Sun adalah satu dari ratusan lubang di kompleks luas yang dibangun untuk menjaga makam kaisar pertama Tiongkok, Qin Shi Huang.

Ditemukan pada tahun 1974 oleh petani setempat, area tersebut telah ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO.

Lubang tersebut berisi lebih dari 8.000 patung terakota, termasuk prajurit, kereta perang, kuda, musisi, akrobat, dan pejabat.

Insiden di Xi’an menambah pola vandalisme yang meresahkan di tempat-tempat bersejarah.

Pada bulan Mei, seorang pria di Vietnam ditangkap setelah menaiki singgasana dinasti Nguyen yang berusia berabad-abad di Istana Thai Hoa di Hue dan mematahkan salah satu sandaran lengannya.

Pihak berwenang mengatakan bahwa dia tampak sangat mabuk dan menunjukkan tanda-tanda psikosis.

Beberapa hari kemudian, Kementerian Kebudayaan Peru mengecam tindakan penodaan warisan budaya lainnya setelah seorang pria terekam sedang menyemprotkan cat simbol falus pada dinding berusia 600 tahun di Chan Chan, sebuah situs Warisan Dunia UNESCO.(yn)

Sumber: mustsharenews

Jembatan Krimea Meledak, Pangkalan Nuklir Hancur: Dunia Waswas Menanti Langkah Putin Selanjutnya

EtIndonesia. Dunia internasional tengah berada dalam ketegangan luar biasa setelah serangkaian peristiwa dramatis yang berpotensi mengubah jalannya sejarah. Dalam rentang waktu kurang dari seminggu, konflik antara Rusia dan Ukraina mengalami eskalasi tajam yang disebut-sebut sebagai titik balik paling berbahaya sejak invasi Rusia ke Ukraina pada 2022. Dari upaya pembunuhan Presiden Vladimir Putin hingga serangan masif drone Ukraina terhadap kekuatan udara strategis Rusia, situasi di Eurasia kini kian panas dan menimbulkan kekhawatiran global—bahkan potensi pecahnya Perang Dunia Ketiga.

Upaya Pembunuhan Putin dan “Operasi Jaring Laba-laba”

Pada 1 Juni, Ukraina melancarkan operasi gabungan besar-besaran yang dinamai “Operasi Jaring Laba-laba”. Serangan ini menargetkan sejumlah pangkalan strategis Angkatan Udara Rusia yang tersebar di lima wilayah kunci: mulai dari Murmansk di Kutub Utara, Irkutsk di Siberia, hingga Amur di Timur Jauh. Dengan menggunakan ratusan drone, Ukraina menyerang fasilitas-fasilitas militer dan lapangan terbang yang diketahui menjadi basis pesawat pengebom strategis Rusia—termasuk armada pembom nuklir yang selama ini menjadi tulang punggung kekuatan deterrent Moskow.

Serangan ini, yang diyakini sebagai salah satu aksi militer terbesar sejak dimulainya invasi, diduga menghancurkan setidaknya 34%—bahkan beberapa sumber menyebut hampir 40%—dari total armada pesawat pengebom strategis Rusia. Akibatnya, kemampuan Rusia untuk melancarkan serangan nuklir jarak jauh mendadak terpangkas secara drastis. Dunia internasional, termasuk Amerika Serikat, dikabarkan terkejut dengan keberanian dan skala serangan ini.

Kejutan Besar dan Diamnya Gedung Putih

Yang membuat situasi semakin pelik, menurut pernyataan resmi dari pemerintahan Trump, Amerika Serikat sama sekali tidak mengetahui rencana serangan besar ini dan tidak menerima notifikasi atau permintaan konsultasi dari pihak Ukraina.

Jenderal (Purn) Michael Flynn, mantan wakil penasihat keamanan nasional AS, menyatakan dengan nada prihatin: “Bagaimana mungkin operasi sebesar ini lolos dari radar sistem intelijen? Siapa yang memberi otorisasi, siapa yang memblokir informasi kepada Presiden? Ini ibarat serangan 9/11 di mana Presiden Bush bahkan tidak sempat menerima telepon peringatan. Ini bukan sekadar kecelakaan sistem, melainkan bencana dalam manajemen keamanan nasional.”

Flynn menambahkan, serangan ini bukan sekadar “gangguan” di garis depan, tetapi adalah “serangan langsung terhadap platform nuklir”—sebuah tindakan yang secara strategis dapat dianggap oleh Moskow sebagai deklarasi perang terbuka, bahkan potensi eskalasi menuju konflik nuklir.

Jembatan Krimea: Simbol yang Terus Dihantam

Tak berhenti di situ, pada 3 Juni, Badan Keamanan Ukraina mengonfirmasi telah melakukan serangan peledakan bawah air terhadap Jembatan Krimea—jalur vital yang menghubungkan Rusia dengan Semenanjung Krimea yang diduduki. Dalam operasi yang disebut telah dipersiapkan selama berbulan-bulan, Ukraina menggunakan bom bawah air yang sebelumnya sudah dipasang untuk menghancurkan pilar-pilar utama jembatan tersebut. Rekaman video yang dirilis memperlihatkan ledakan masif di bawah permukaan air, disusul semburan air dan serpihan logam yang beterbangan.

Serangan ini menjadi yang ketiga kalinya terhadap jembatan Krimea sejak perang pecah. Jembatan ini bukan hanya simbol aneksasi Rusia atas wilayah Ukraina, tetapi juga jalur logistik utama bagi pasukan Rusia di selatan. Kerusakan parah pada jembatan menyebabkan lalu lintas darat dan kereta terputus sementara, memaksa Rusia menetapkan status darurat.

Respons Rusia: Bom Udara FAB-3000 Menghantam Ukraina

Hanya berselang satu hari setelah “Pearl Harbor versi Rusia” ini, Moskow akhirnya melancarkan serangan balasan. Pada 2 Juni, Angkatan Udara Rusia melakukan serangan udara berat ke markas komando militer Ukraina di wilayah Sumy, Ukraina timur laut. Dengan menggunakan bom udara FAB-3000 berkekuatan besar, fasilitas komando Ukraina diratakan dengan tanah. Laporan awal menyebutkan banyak korban tewas di kalangan perwira tinggi dan staf komando Ukraina.

Pengamat menilai serangan ini hanyalah awal dari kemungkinan rangkaian aksi balasan Rusia yang lebih dahsyat. Namun, dunia kini menanti langkah berikutnya, mengingat Vladimir Putin sendiri masih memilih untuk tidak membuat pernyataan publik.

Kesunyian yang Mencekam: Apakah Ini “Sebelum Badai”?

Yang paling mencemaskan dunia saat ini bukan hanya aksi militer yang terjadi, melainkan keheningan yang menyelimuti para aktor utama. Baik Vladimir Putin di Moskow maupun Presiden AS, Donald Trump di Washington hingga saat ini belum mengeluarkan pernyataan resmi mengenai serangkaian serangan yang terjadi—termasuk upaya pembunuhan terhadap Putin sendiri.

Rebecca Koffler, mantan analis intelijen Rusia dan penulis naskah pidato Putin, menegaskan: “Kita sudah melewati tahap perang perwakilan (‘proxy war’). Ini sudah menjadi konfrontasi militer langsung antara dua kekuatan besar: Amerika Serikat dan Rusia. Keheningan saat ini justru yang paling menakutkan, karena sering kali diam berarti sedang menyiapkan sesuatu yang jauh lebih besar.”

Senada dengan itu, analis militer Steve Bannon mengingatkan: “Amerika Serikat kini terseret ke dalam pusaran konflik berskala dunia yang bisa saja jauh lebih parah dibanding dua perang dunia sebelumnya. Jika ini dibiarkan, siapa pun bisa saja menyalakan sumbu perang global.”

Dampak Global dan Spekulasi: Menuju Perang Dunia Ketiga?

Dengan keberhasilan Ukraina melumpuhkan sebagian besar pesawat pengebom strategis Rusia, tatanan keamanan dunia kini dipertaruhkan. Banyak pengamat meyakini bahwa aksi Ukraina, meski secara teknis adalah upaya mempertahankan diri, secara geopolitik justru dapat memicu aksi balasan Rusia yang tak terduga—bahkan penggunaan senjata nuklir tak lagi sepenuhnya tabu.

Media internasional menyebut serangan ke pangkalan udara Rusia sebagai “Pearl Harbor versi Rusia”. Namun, pertanyaannya, apakah Rusia akan bereaksi sekuat Amerika Serikat pada 1941? Dan jika ya, apakah dunia siap menanggung akibatnya?

Sampai artikel ini ditulis, baik Vladimir Putin maupun Donald Trump masih memilih diam. Tidak ada satupun pernyataan resmi dari Kremlin atau Gedung Putih terkait eskalasi yang terjadi. Dunia menahan napas—menanti, apakah diam ini adalah tanda perang yang segera meledak, atau upaya terakhir untuk mencegah kiamat nuklir.

Ketika Nama Xi Jinping Menghilang dari Media: Sandi Suksesi dan Kudeta Halus di Tubuh PKT

EtIndonesia. Tradisi politik yang sudah mengakar kuat di Tiongkok akhirnya goyah di tahun ini. Untuk pertama kalinya dalam 12 tahun terakhir, perayaan Hari Anak pada 1 Juni — yang biasanya menjadi panggung wajib bagi Xi Jinping untuk membangun citra “Bapak Bangsa” di hadapan jutaan rakyat — berlangsung tanpa kehadiran sosok sang pemimpin. Tiada kunjungan ke sekolah, tiada gestur mengusap kepala anak-anak, bahkan sekadar video ucapan atau tanda tangan pada scarf merah anak-anak pun absen total. Semua ritual propaganda yang selama ini menjadi andalan Partai Komunis Tiongkok (PKT) seolah “lenyap dari sejarah”.

Yang tersisa hanyalah sebuah surat ucapan selamat yang kering dan datar, tanpa sentuhan personal. Saking minimnya materi baru, media resmi seperti CCTV dan Xinhua pun terpaksa memutar ulang rekaman lawas, seperti membuat memorial bagi tokoh masa lalu. Seolah-olah, dalam kalender politik 2025, Xi Jinping benar-benar dihapus dari narasi Hari Anak.

Dalam sistem propaganda PKT yang sangat kaku dan penuh perhitungan, absennya seluruh rangkaian ini tentu bukan sekadar kelalaian teknis. Justru, ini menjadi alarm keras akan adanya turbulensi besar di pusat kekuasaan Tiongkok.

Cai Qi, Scarf Merah, dan “Bapak Presiden Sakit”

Situasi makin memanas pada 27 Mei lalu, ketika Cai Qi — anggota Politbiro sekaligus loyalis dan “tangan kanan” Xi Jinping — tiba-tiba tampil ke depan, membawa scarf merah dan hadir dalam acara anak-anak, mewakili “pimpinan pusat partai”. Dalam pidatonya, secara terbuka dia menyampaikan bahwa “Bapak Presiden baru-baru ini sakit, hanya perlu istirahat”. Namun, pertanyaan besar pun muncul: siapa yang sebenarnya bertanya soal itu? Mengapa harus buru-buru membantah rumor di ruang publik? Semakin ingin menutup-nutupi, justru semakin besar rasa penasaran masyarakat: ada apa dengan Xi Jinping?

Atmosfer politik ibu kota pun semakin tegang, terlebih setelah para pejabat provinsi berbondong-bondong kembali ke Beijing. Sementara itu, scarf merah — simbol khas generasi penerus — tidak lagi tampak di dada “inti” kekuasaan.

Xinhua: “Siap Mengambil Alih”—Sandi Suksesi yang Tak Lagi Terselubung

Tepat di tengah keanehan ini, Xinhua News Agency menerbitkan tajuk utama dengan judul mencolok: “Harus Selalu Siap untuk Mengambil Alih Kepemimpinan di Masa Depan”. Headline itu tanpa subjek dan objek — hanya kata “mengambil alih” yang begitu gamblang, tanpa tedeng aling-aling. Di sistem media PKT yang serba penuh sensor dan pengawasan, judul seperti ini jelas bukan iseng, melainkan sandi keras bahwa “pergantian pemimpin” memang sedang dipersiapkan.

Sejumlah pengamat menilai, Xinhua sudah membaca arah angin sejak kasus hilangnya Fu Hua, mantan Pemimpin Redaksi People’s Daily dan “penyambung lidah nomor satu” Xi Jinping. Fu Hua kini lenyap tanpa jejak dari jajaran inti media, diduga terdepak akibat loyalitas “berlebihan” pada Xi — sebuah sinyal keras bagi seluruh birokrasi propaganda: “Era baru segera dimulai, cari pijakan baru sebelum terlambat!”

Headline “mengambil alih” dalam pemberitaan Hari Anak sejatinya adalah bunyi gong dari Xinhua: “Kami tahu dia akan mundur. Semua orang, siap-siap saja!”

PLA Daily: Loyalitas Berpindah dari Pribadi ke Partai

Kejutan berikutnya datang dari Harian Tentara Pembebasan (PLA Daily) pada hari yang sama. Dalam editorial penting berjudul “Pertajam Loyalitas Revolusioner Prajurit”, untuk pertama kalinya dalam satu dekade, nama Xi Jinping tidak disebutkan sama sekali. Jika biasanya editorial PLA Daily dipenuhi ungkapan seperti “Patuh sepenuhnya pada perintah Ketua Xi”, kali ini mereka hanya menulis “Loyal pada Partai”, “Mendengarkan perintah Partai”, dan “Menjaga disiplin ketat”.

Pergantian diksi ini tidak bisa dipandang enteng. Bagi sistem PKT, ini pertanda bahwa loyalitas militer telah beralih dari kultus individu kembali ke kepemimpinan kolektif partai. Ini pula sinyal bahwa militer — pilar utama kekuasaan di Tiongkok — tidak lagi 100% berada di bawah komando pribadi Xi. Pengalaman pahit Hu Yaobang dan Zhao Ziyang di masa lalu menjadi pengingat: jika militer sudah tidak lagi memihak, maka tak lama lagi, sang pemimpin tinggal menunggu waktu untuk “masuk museum sejarah”.

Editorial tersebut adalah deklarasi terbuka: “Era baru, pemimpin baru!” Fase transisi ini bukan lagi rumor di balik layar, tapi sudah mulai diwartakan secara gamblang.

Roket Karier Lu Dongliang: Sandi Pengangkatan Darurat untuk Suksesi

Pergeseran besar juga tampak pada struktur birokrasi. Pada 30 Mei, Komite Provinsi Shanxi mengumumkan penunjukan mendadak: Lu Dongliang diangkat menjadi Wakil Sekretaris Komite Provinsi, membawahi bidang keuangan, keamanan, dan integrasi sipil-militer — tiga sektor strategis. Lonjakan karier Lu begitu luar biasa: dari Wakil Gubernur ke Wakil Sekretaris hanya dalam lima bulan, tanpa “masa magang” bertele-tele.

Lebih dari sekadar promosi, jabatan yang dipegang Lu Dongliang adalah “kursi kendali” ekonomi dan keamanan: dari Komisi Pembangunan dan Reformasi, Dinas Keuangan, hingga penanganan krisis dan integrasi militer-sipil. Menurut tradisi PKT, ini adalah langkah “pengangkatan darurat” — sandi bahwa faksi baru tengah menyiapkan suksesi nyata.

Profil Lu Dongliang pun menarik: dia bukan berasal dari “kelompok Xi”, melainkan birokrat ekonomi-teknologi, jebolan reformis, dan dianggap representasi “arus teknologi baru”. Penempatan Lu Dongliang di Shanxi — wilayah yang secara historis kerap jadi laboratorium reformasi PKT — adalah ujian untuk format suksesi di era pasca-Xi.

Manuver di Sektor Keuangan: Kembalinya Orang Wang Qishan

Pergantian besar juga terjadi di pusat keuangan negara. Pada hari yang sama, Zhang Xiaodong ditunjuk sebagai Wakil Sekretaris Partai di Bank Pembangunan Pertanian Tiongkok (ADBC), salah satu “tombak fiskal” utama Tiongkok. Zhang adalah teknokrat keuangan, jebolan ICBC — bank yang selama ini dikenal sebagai basis Wang Qishan, mantan “menteri keuangan” paling berpengaruh era Xi.

Kembalinya loyalis Wang Qishan ke posisi kunci keuangan menjadi sinyal jelas: reformasi fiskal tengah berjalan cepat, dan faksi lama kembali merapat ke inti kekuasaan — tanda bahwa masa dominasi “kelompok Xi” benar-benar sedang diakhiri.

“Pukulan Pamungkas”: Tiga Jabatan Zheng Yanxiong Disikat Sekaligus

Puncak drama terjadi pada larut malam 30 Mei. Zheng Yanxiong — tokoh “tangan besi” yang pernah jadi simbol penumpas demonstrasi di Wukan dan arsitek “kota polisi” di Hong Kong — dicopot sekaligus dari tiga jabatan kunci: Kepala Kantor Penghubung Pemerintah Pusat untuk Hong Kong, Wakil Direktur Kantor Urusan Hong Kong-Makau, serta Penasihat Keamanan Nasional Komite Keamanan Hong Kong. Tanpa masa transisi, tanpa rotasi, tanpa basa-basi.

Pencopotan brutal ini hanya bermakna satu: faksi baru penguasa ingin segera “membersihkan utang lama”, menyapu bersih seluruh sistem warisan “kelompok Xi”, dan menata ulang struktur kekuasaan dari akar.

Zheng Yanxiong, simbol pendekatan represif sejak era Xi, kini harus lengser tanpa perlawanan. Kejadian ini menjadi penanda dimulainya gelombang besar pembersihan internal: berikutnya, “serigala diplomat” akan disingkirkan, kepolisian dirombak, sektor keuangan dan parlemen juga akan diam-diam diganti.

Menuju Era Baru: Transformasi Ekstrem di Tubuh PKT

Seluruh rangkaian peristiwa di atas bukanlah deretan kebetulan. Dari absennya Xi Jinping di Hari Anak, headline Xinhua tentang suksesi, perombakan pejabat di pusat keuangan dan pemerintahan daerah, hingga pembersihan brutal terhadap loyalis Xi — semuanya adalah bagian dari skenario besar menuju era baru di tubuh PKT.

Tiongkok kini tengah memasuki fase transisi internal yang paling ekstrem dan berbahaya dalam 40 tahun terakhir. Semua berawal dari hilangnya “suara manusia kuat” di Beijing, absennya satu scarf merah, dan getaran pertama dari perubahan rezim yang sudah tak bisa dibendung lagi.

Situasi Epidemi di Tiongkok Memanas, Dokter Mengungkap Upaya Menutup-nutupi Epidemi oleh PKT

Setelah secara langka mengakui bahwa wabah COVID-19 kembali meningkat, rezim PKT kembali mengklaim bahwa wabah sudah mereda. Namun, banyak warga dari berbagai daerah di Tiongkok mengatakan kepada NTD bahwa wabah sebenarnya tidak pernah benar-benar hilang. Gelombang baru COVID-19 kini sedang merebak; rumah sakit dan klinik penuh sesak, banyak orang meninggal mendadak—bahkan ada dokter yang wafat di tempat kerja. Sejumlah dokter mengungkap bagaimana Partai Komunis Tiongkok (PKT) terus menutupi kenyataan wabah COVID-19

EtIndonesia. Pada awal Mei, PKT secara tidak biasa mengakui bahwa penyebaran virus Corona kembali meningkat. Namun pada 28 Mei, media pemerintah menyebutkan bahwa menurut Biro Pengendalian Penyakit, tren peningkatan kasus sudah mulai melambat.

Menjelang akhir Mei, seorang dokter di daratan Tiongkok mengatakan kepada wartawan NTD bahwa “wabah sebenarnya tidak pernah pergi.” Pemerintah melarang penyebutan COVID-19 atau pengakuan adanya wabah, karena semua ditentukan oleh kebutuhan politik.


“Karena ini menyangkut pemantauan pemerintah, mereka tidak akan bicara secara blak-blakan. Misalnya seperti tes PCR, dulu sempat dilarang. Kalau kamu ingin tes, biayanya lebih dari  RMB.100 . Jadi para dokter bilang, ya sudah, entah itu COVID atau bukan, sama saja—infeksi saluran pernapasan atas. Tidak perlu dites. Sekarang mulai dites lagi, karena negara juga ingin memantau dan tahu situasi. Kalau-kalau terjadi hal besar,” ujar Dokter Klinik Guangzhou, Kang Hong.

Kang juga mengungkap bahwa gelombang baru COVID-19 telah meledak, banyak orang terinfeksi, dan seorang dokter senior di rumah sakit kelas atas (Tingkat 3A) di Guangzhou meninggal dunia di tempat kerja setelah terinfeksi.

Kang Hong melanjutkan:  “Tingkat kematian COVID lebih tinggi dari flu biasa. Gejalanya lebih berat. Biasanya saya tidak pakai masker, sekarang saya pakai. Umumnya yang parah itu orang tua, yang bisa menyebabkan komplikasi seperti pneumonia. Ada yang bisa disembuhkan, ada yang tidak. Di rumah sakit tempat anak saya bekerja, seorang dokter tua meninggal. Dia masih bekerja, tapi hanya dua hari sudah tak kuat. Setelah diperiksa, gejalanya parah. Kasus seperti ini dihitung sebagai kecelakaan kerja.”

Belakangan ini, di Shanghai, Guangzhou, Yunnan, Hunan, dan Guizhou, banyak dokter terkenal juga meninggal mendadak. Usia tertua 64 tahun, termuda 37 tahun.

Kang mengungkapkan bahwa bahkan jika seseorang meninggal akibat COVID-19, rumah sakit tidak diperbolehkan melaporkannya.

Kang Hong menjelaskan:  “Sebagian besar pasien saya mengalami demam dan flu. Kami juga tidak melakukan tes; pasien juga enggan karena mereka tahu itu pasti COVID, dan tidak mau buang-buang uang. Dalam waktu lama, rumah sakit tidak mengadakan tes, karena takut menimbulkan kepanikan. Kalau sampai ada yang meninggal, semua jadi takut. Sekarang, dinas kesehatan sudah bilang: tidak perlu dilaporkan.”

Menurutnya, rumah sakit umumnya tidak mencatat jumlah kematian akibat COVID. Data resmi berasal dari “pos pemantauan” atau sentinel points, yaitu rumah sakit tertentu yang pembiayaan tesnya ditanggung negara. Tujuannya adalah untuk keperluan pengawasan pemerintah.

Kang berkata:  “Misalnya di Guangzhou, ada puluhan pos pemantauan, biasanya rumah sakit kelas 3A dan klinik demam. Dulu, meskipun belum ada COVID, sudah ada klinik demam. Jadi setiap pasien yang datang langsung dites. Tes ini dibiayai negara, bukan pasien. Pemerintah bisa memantau, tapi masyarakat umum tidak tahu.”

Chen Yang, seorang tabib Tiongkok di Zhuzhou, Hunan, juga mengungkap bahwa pemerintah terus menutupi wabah.

Chen Yang menyampaikan:  “Virus ini sedang meledak lagi. Menurut saya, sebenarnya tidak pernah berhenti. Saya sering menerima pasien. Setelah gagal ditangani dengan pengobatan barat, mereka datang ke saya. Saya beri obat tradisional Tiongkok, dan banyak yang membaik. Kalau ada yang meninggal, tidak boleh dikatakan akibat virus. Saya kira dari 1 miliar lebih penduduk Tiongkok, hampir semuanya sudah terinfeksi. Virus ini sudah membunuh setidaknya ratusan juta orang.”

Liu, warga Yulin, Shaanxi, mengatakan bahwa wabah datang bergelombang, dan banyak orang di sekitarnya mengalami gejala flu berulang-ulang.

Liu mengatakan:  “Banyak orang dewasa yang demam, diare, sakit tenggorokan. Banyak juga yang harus diinfus. Umumnya bisa disembuhkan, tapi butuh waktu sekitar seminggu.”

Beberapa warga Shenzhen juga mengatakan bahwa banyak orang di daerah mereka terinfeksi COVID, dan rumah sakit serta klinik dipenuhi pasien.

Jian, warga Shenzhen, mengatakan:  “Di selatan Tiongkok ini sangat parah. Di Shenzhen, hampir semua rumah sakit dan klinik penuh. Banyak yang sakit tenggorokan dan demam. Secara resmi ini dianggap sebagai COVID varian baru. Tapi kalau ada yang meninggal karena ini, pemerintah tidak akan mengakuinya.”

Tao, warga Jilin, juga menyampaikan bahwa banyak orang di sekitarnya meninggal, namun semua informasi ini diblokir oleh pemerintah.

Tao menyatakan:  “Akhir-akhir ini banyak yang meninggal. Beberapa hari ini saja sudah ada beberapa kasus. Ada yang tua, ada juga yang masih muda. Ada yang pagi-pagi masih sehat jalan-jalan, belum sempat ke rumah sakit sudah meninggal. Banyak yang bilang itu karena vaksin. Setelah disuntik, banyak yang mengeluh bahu sakit, tekanan darah naik terus. Banyak yang meninggal dunia.”

Sejak Januari 2023, pendiri Falun Gong, Master Li Hongzhi, telah memperingatkan bahwa PKT terus menutupi wabah selama lebih dari tiga tahun. Beliau  menyatakan bahwa hingga saat itu, COVID telah membunuh 400 juta orang di Tiongkok, dan jumlah itu bisa mencapai 500 juta ketika wabah ini benar-benar berakhir. (Hui)

Penyunting: Li Yun | Reporter: Xiong Bin | Pascaproduksi: Gao Yu

Lembaga Investasi Emas Ternama di Tiongkok Mengalami Gagal Bayar, Dana yang Terlibat Setara Lebih dari 4,4 Triliun Rupiah

0

Baru-baru ini, penyedia layanan komprehensif emas ternama di Tiongkok, Yongkun Gold, mengalami krisis pembayaran karena putusnya rantai pendanaan. Peristiwa ini berdampak pada lebih dari 10.000 investor. Saat ini, kantor pusat Yongkun Gold yang berada di Hangzhou, Zhejiang, telah disegel.

EtIndonesia. Pada 1 Juni, sejumlah media daratan melaporkan bahwa Yongkun Gold, penyedia layanan emas terkenal dengan lebih dari 30 gerai, mengalami kejanggalan dalam pembayaran — tidak mampu membayar maupun mengembalikan dana.

Beberapa korban menyampaikan bahwa Yongkun telah membangun kepercayaan selama 10 tahun melalui pembayaran yang stabil. Beberapa keluarga bahkan menginvestasikan hingga 20 juta yuan. Bahkan, ada karyawan Yongkun sendiri yang menginvestasikan seluruh harta mereka, bahkan sampai berutang demi berinvestasi.

Saat ini, jumlah korban penipuan diperkirakan telah melebihi 10.000 orang, dengan total dana yang terlibat lebih dari 2 miliar yuan. Selain itu, masih banyak investor lain yang belum melaporkan kasus mereka. Perkiraan konservatif menyebutkan jumlah total dana bisa mencapai 5 miliar yuan.

Yongkun mempromosikan produknya dengan menjanjikan imbal hasil tinggi antara 12% hingga 18%, serta menggunakan klaim “latar belakang modal negara” dan “penitipan oleh bank” sebagai jaminan kredibilitas untuk menarik investor. 

Mereka juga menyatakan bahwa jika harga emas naik, investor bisa menarik emas fisik atau menerima keuntungan, dan jika harga emas turun, modal akan dikembalikan dengan bunga tahunan 8%. Ada juga program penukaran poin dengan emas, yang menarik banyak investor.

“Ini hanyalah produk keuangan berkedok investasi emas. Ketika harga emas melonjak dan nasabah meminta pencairan emas, barulah platform ini memperlihatkan jati dirinya — bahwa sebenarnya tidak ada emas, ini murni penipuan,” kata ekonom Amerika Serikat, Huang Dawei. 

Investigasi menemukan bahwa “emas” yang dipamerkan Yongkun hanyalah kuningan berlapis emas. Dana investor dialihkan ke investasi berisiko tinggi dan dipindahkan ke luar negeri. Akhirnya, akibat fluktuasi harga emas dan gelombang penarikan dana secara massal, rantai pendanaan pun putus.

Sun Guoxiang, Associate Professor di Departemen Urusan Internasional dan Bisnis Universitas Nanhua, Taiwan, menyatakan: “Ini sangat mirip dengan skema Ponzi. Begitu aliran dana masuk berkurang atau banyak investor secara bersamaan meminta pencairan, platform tidak mampu menepati janji, yang berujung pada runtuhnya rantai pendanaan.”

Pada 27 Mei, pihak kepolisian Hangzhou mengonfirmasi bahwa kasus ini telah masuk tahap penyelidikan resmi. Perwakilan hukum perusahaan, Wang Guohai, dilaporkan menghilang, kepala keuangan kabur ke Yunnan, dan beberapa eksekutif lainnya telah ditahan.

Huang Dawei menambahkan: “Banyak penipuan yang mengatasnamakan investasi emas. Mereka telah lama beroperasi di luar jangkauan pengawasan. Pemerintah pun sebenarnya tahu, namun membiarkannya begitu saja. Ini adalah salah satu bentuk perampokan brutal di sudut gelap kekacauan sistem keuangan Tiongkok.” (Hui)

Laporan oleh reporter NTD, Li Yun dan Qiu Yue.

Gempa Magnitudo 5,8 Guncang Turkiye, Warga Terbangun dari Tidur – Seorang Gadis Diduga Meninggal Dunia karena Ketakutan

Pada 3 Juni 2025 dini hari, wilayah Marmaris di barat daya Turki diguncang gempa berkekuatan 5,8 magnitudo yang mengejutkan warga dari tidur mereka. Gempa ini menyebabkan seorang gadis remaja dilaporkan meninggal dunia akibat serangan panik, dan sedikitnya tujuh orang lainnya terluka saat berusaha melarikan diri dari rumah.

EtIndonesia. Gempa di Turki  pada pukul 02.17 waktu setempat. Stasiun televisi NTV melaporkan bahwa getaran terasa kuat dan membangunkan banyak orang, bahkan terasa hingga ke wilayah terdekat seperti Pulau Rhodes di Yunani.

Menteri Dalam Negeri Turki, Ali Yerlikaya, menyatakan bahwa sejauh ini belum ada laporan kerusakan bangunan di kawasan pemukiman. Namun, di kota resort Fethiye, seorang gadis berusia 14 tahun dilaporkan meninggal dunia karena ketakutan.

Selain itu, tujuh orang lainnya mengalami luka-luka, sebagian besar karena melompat keluar dari jendela dalam keadaan panik. Saat ini belum ada laporan korban jiwa lainnya. 

Dalam video yang beredar, terlihat tamu-tamu hotel di kota tersebut dievakuasi keluar dari kamar mereka saat gempa terjadi, dan menunggu di luar karena kekhawatiran akan gempa susulan. (Hui)

Sumber : NTDTV.com 

Drama Diplomasi Timur Tengah: Prancis dan AS Bertarung Kata-kata, Hamas Tolak Damai!

EtIndonesia. Ketegangan diplomatik antara Amerika Serikat, Prancis, dan Israel semakin memanas menyusul pernyataan tajam dari Duta Besar AS untuk Israel, Mike Huckabee, dalam sebuah wawancara eksklusif pada 2 Juni. Huckabee secara terbuka mengkritik sikap Presiden Prancis, Emmanuel Macron terkait isu pembentukan negara Palestina di tengah situasi perang yang masih berlangsung di Gaza.

Dalam wawancara tersebut, Huckabee menyindir keras proposal Prancis yang mendorong realisasi solusi dua negara. 

“Jika Prancis sungguh ingin mendirikan negara Palestina, silakan saja dirikan di French Riviera. Jangan memaksakan tekanan semacam itu kepada negara berdaulat lain,” ujarnya tegas.

Pernyataan Huckabee ini merespons pidato Presiden Macron yang pada pekan sebelumnya menyebut bahwa: “Di bawah kondisi tertentu, pembentukan negara Palestina adalah sebuah tuntutan moral sekaligus politik bagi komunitas internasional.” 

Macron bahkan mengancam akan menjatuhkan sanksi terhadap Israel jika negara tersebut tidak menunjukkan itikad baik untuk menuju solusi damai.

Kondisi Terbaru di Gaza: Hamas Masih Menyandera 58 Warga Israel

Situasi di Gaza masih sangat panas. Sejak serangan Hamas ke wilayah Israel pada 7 Oktober 2023 lalu, situasi keamanan di kawasan tersebut berubah drastis. Hingga hari ini, setidaknya 58 warga Israel masih disandera oleh Hamas. Operasi militer dan blokade ketat terus dilakukan oleh Israel, sementara tekanan diplomatik terhadap pemerintah Netanyahu semakin meningkat dari berbagai negara Barat.

Menurut Duta Besar Huckabee, wacana mengenai solusi dua negara yang didengungkan Prancis sangat tidak realistis untuk diterapkan dalam situasi saat ini. 

“Israel sedang berada dalam keadaan perang. Wacana negara Palestina di tengah situasi seperti ini justru memperkeruh keadaan dan tidak menawarkan solusi nyata,” katanya.

Perpecahan Internasional: AS, Prancis, dan Arab Saudi

Pernyataan Macron telah memicu reaksi keras tidak hanya dari Israel, tetapi juga dari Amerika Serikat. Menurut analisis para pengamat politik internasional, hubungan Prancis dan Israel mengalami ketegangan paling serius sejak beberapa dekade terakhir.

Sebelum ancaman sanksi dijatuhkan, Israel sebenarnya telah menerima proposal Amerika Serikat mengenai gencatan senjata selama 60 hari—namun proposal ini ditolak mentah-mentah oleh Hamas. Pemerintah Israel menuding, manuver Macron hanyalah bagian dari kampanye global anti-Israel, bahkan ada tudingan bahwa Prancis “berniat mengusir warga Yahudi dari Tepi Barat” lewat tekanan internasional.

Sementara itu, Prancis dan Arab Saudi telah dijadwalkan untuk memimpin sebuah konferensi internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada bulan Juni ini. Tujuan utama konferensi tersebut adalah untuk membahas secara serius kemungkinan realisasi negara Palestina yang merdeka dan dapat berdampingan secara damai dengan Israel. Konferensi ini akan melibatkan negara-negara kunci Eropa, Timur Tengah, dan Amerika Serikat sebagai penengah utama.

Dinamika Diplomatik: Ancaman Sanksi hingga Manuver Politik Global

Tekanan terhadap Israel datang tidak hanya dari Prancis. Uni Eropa, sejumlah negara anggota G20, serta organisasi internasional lainnya semakin gencar menyerukan penyelesaian dua negara. Namun, para pejabat tinggi Israel tetap pada posisi keras, menolak upaya yang dianggap melemahkan posisi strategis mereka di kawasan.

Pemerintah Netanyahu menyebut bahwa keamanan nasional adalah prioritas utama.

“Israel tidak akan tunduk pada tekanan eksternal, terutama dalam situasi di mana keselamatan warga negara kami masih terancam langsung oleh aksi terorisme,” ungkap salah satu juru bicara pemerintah Israel.

Di sisi lain, para diplomat Prancis menegaskan bahwa tekanan internasional merupakan bagian dari upaya nyata menegakkan perdamaian dan keadilan di Timur Tengah. 

“Kami akan terus mendukung solusi dua negara. Hanya dengan cara inilah hak rakyat Palestina bisa dihormati dan keamanan Israel dapat dijamin,” tegas Macron dalam pernyataan terpisah.

Perspektif Amerika Serikat: Fokus pada Gencatan Senjata dan Keamanan

Sikap Amerika Serikat hingga kini tetap berfokus pada upaya mendorong gencatan senjata jangka menengah, bantuan kemanusiaan, serta perlindungan bagi warga sipil di kedua belah pihak. Namun, pemerintahan AS masih menolak tekanan untuk memaksa Israel menerima syarat-syarat internasional yang dinilai “tidak adil” dalam situasi konflik bersenjata.

“Prioritas kami adalah keselamatan sandera dan menurunkan eskalasi militer. Tidak ada solusi permanen yang bisa didiktekan oleh pihak luar selama pihak-pihak terkait belum siap untuk duduk bersama secara jujur,” jelas Huckabee menegaskan kembali posisi Pemerintah AS.

Penutup: Krisis Timur Tengah Menuju Titik Kritis

Konferensi internasional PBB yang akan dipimpin Prancis dan Arab Saudi pada bulan Juni mendatang diprediksi akan menjadi salah satu pertemuan paling menentukan dalam sejarah negosiasi Timur Tengah. Namun, dengan masih tertahannya 58 sandera Israel di Gaza dan tidak adanya tanda-tanda penurunan eskalasi militer, para pengamat pesimis akan tercapai solusi konkret dalam waktu dekat.

Diplomasi global kembali diuji, sementara rakyat di kedua sisi konflik terus berharap pada keajaiban perdamaian di tengah ancaman perang yang tak kunjung reda.