ETIndonesia. Pada 21 Oktober 2024, sebuah laporan di Seoul mengungkap keputusan Korea Utara untuk mengirim ribuan prajurit ke garis depan Rusia dalam perang melawan Ukraina. Banyak pihak internasional menganggap prajurit Korea Utara hanya akan menjadi “meriam hidup.” Namun, beberapa pembelot dengan latar belakang militer mengatakan kepada media Inggris bahwa potensi dampak prajurit ini tidak boleh diremehkan.
Keterlibatan Korea Utara di Perang Ukraina
Menurut laporan media dan organisasi pendukung Ukraina, pada Oktober 2024, prajurit Korea Utara telah terlibat bentrokan langsung dengan pasukan Ukraina. Namun, mereka mengalami kekalahan besar, dengan banyak prajurit tewas.
Intelijen Ukraina (GUR) menyatakan bahwa hingga Desember 2024, prajurit Korea Utara hanya memainkan peran sebagai pasukan lini kedua. Pada 14 Desember, GUR melaporkan bahwa pasukan Korea Utara secara resmi mulai mengambil bagian dalam misi tempur garis depan bersama dengan pasukan Rusia.
Hingga 14 Desember, sekitar 200 personel dari kedua pihak tewas atau terluka. Intelijen Korea Selatan memperkirakan bahwa dari lebih dari 100 prajurit Korea Utara yang baru dikerahkan ke medan perang di wilayah Kursk Rusia pada Desember, sebagian besar telah tewas.
Meski kontribusi mereka terbatas akibat hambatan bahasa, kurangnya pengalaman dalam perang modern, dan adaptasi dengan medan perang Rusia, prajurit Korea Utara tetap memiliki semangat bertarung yang tinggi.
Pendapat Para Pembelot Militer
Laporan dari BBC pada 20 Desember 2024 yang berbasis di Seoul mengutip beberapa pembelot militer yang menyatakan bahwa meski pengiriman tentara Korea Utara mencerminkan keputusasaan Rusia, dampaknya terhadap dinamika perang tidak boleh diabaikan.
Pasukan yang dikirim ke Rusia sebagian besar berasal dari unit elit Korea Utara seperti Korps Badai (Storm Corps). Mereka memiliki pelatihan lebih keras dan kondisi fisik lebih baik dibanding pasukan reguler. Namun, Korps Badai dirancang untuk misi infiltrasi dan menciptakan kekacauan di belakang garis musuh, bukan pertempuran garis depan.
Menurut pembelot militer Ryu Sung-hyun, pengiriman unit elit ini menunjukkan bahwa Kim Jong-un ingin menghindari kerugian besar yang dapat merusak citra rezimnya. Namun, loyalitas mereka kepada rezim Pyongyang serta semangat bertarung dan kemampuan belajar yang tinggi membuat mereka tetap berbahaya.
Pembelot lain, Huh Na, mengatakan bahwa sebagian besar anggota Korps Badai berasal dari keluarga petani atau pekerja yang sangat patuh pada rezim. Banyak dari mereka tidak memiliki koneksi politik atau sosial sehingga lebih rentan dikirim ke garis depan. Jika mereka mencoba melarikan diri, mereka kemungkinan akan ditembak mati oleh pihak Korea Utara sendiri.
Potensi Ancaman
Lee Hyun-seung, mantan instruktur pasukan khusus Korea Utara yang membelot pada 2014, mengatakan bahwa prajurit Korea Utara akan belajar dan beradaptasi dengan medan perang Rusia seiring waktu. Semangat bertarung mereka yang lebih tinggi dibandingkan pasukan Rusia menjadi faktor yang tidak boleh diremehkan.
Mantan komandan pasukan khusus Korea Selatan, Chun In-bum, juga memperingatkan agar tidak meremehkan kemampuan prajurit Korea Utara. Meski kekurangan makanan dan pelatihan, mereka mampu menyesuaikan diri dengan cepat dan menjadi ancaman nyata di medan perang.
Saat ini, diperkirakan ada sekitar 11.000 prajurit Korea Utara yang dikerahkan di wilayah Kursk, Rusia. Namun, para ahli memperkirakan jumlah ini bisa meningkat hingga 100.000 di masa depan, meningkatkan efektivitas mereka di medan perang.
Faktor Sosial dan Politik
Tidak seperti negara lain, Korea Utara tidak menghadapi tekanan opini publik atas jumlah korban jiwa. Bagi rezim Pyongyang, nyawa manusia dianggap sebagai sumber daya yang dapat dikorbankan.
Sementara itu, pengawasan ketat oleh Rusia atas komunikasi dan akses pasukan Korea Utara, termasuk melarang penggunaan ponsel di area perkemahan, membuat sulit bagi Ukraina dan Korea Selatan untuk melakukan perang psikologis terhadap mereka.
Dukungan dari Negara Lain
Selain Korea Utara, Rusia juga merekrut tenaga kerja dari Yaman dan Afrika. Dengan bantuan pemerintah lokal dan jaringan perdagangan manusia, Rusia merekrut tenaga kerja untuk mendukung industri militer mereka dan memperkuat pasukan mereka dalam perang melawan Ukraina.
Menurut laporan Financial Times pada November 2024, Rusia bekerja sama dengan kelompok Houthi di Yaman untuk merekrut tentara bayaran. Laporan lain dari Voice of America mengungkapkan bahwa Rusia menggunakan iklan palsu untuk merekrut perempuan Afrika sebagai pekerja di pabrik senjata. (Hui)
Laporan ini disusun dari berbagai sumber, termasuk Central News Agency