Pemilu Jerman di Mata Saya

Oleh : De Yue

Beberapa tahun di awal saya menetap di Jerman, saya tidak merasa kaitan antara pemilu Jerman dengan diri saya.

Pertama kali mendengar orang Jerman bicara soal pemilu, adalah di saat baru hijrah ke Jerman, tapi justru hardikan telak yang saya dapatkan.

Waktu itu ketika saya menyinggung segi fositif sistem demokrasi di depan seorang pengacara yang bekerja di sebuah firma hukum, tak disangka pengacara itu bertanya balik, “Apa baiknya sistem demokrasi kita ini, setiap empat tahun ikut pemilu dan mencoblos, itu saja.”

Teringat pada kejadian pembantaian besar terhadap pelajar yang baru saja terjadi di Tiananmen Bejing waktu itu, saya tertegun, entah bagaimana saya harus menjawab.

Setelah beberapa hari berlalu, pengacara tersebut melanjutkan topik itu dan mengatakan, hal-hal yang terbaik di dunia ini ada di Tiongkok, mengapa kalian lari kemari untuk kuliah?

Dalam hati saya berpikir: HAM dan demokrasi di RRT adalah yang paling parah di dunia, mana ada hal baik di sana?

Pengacara itu sepertinya tahu apa yang ada dalam benak saya, dan ia berkata, “Kalian memiliki pemikiran Konfusius yang sangat baik.”

Sungguh memalukan, saya waktu itu juga tidak tahu apa kebaikan Konfusius, dan menjawab asal-asalan: “Tidak bisa, itu sudah terlalu kuno.” Sebenarnya saya tidak mengerti apa maksud sebenarnya pengacara tersebut, karena saya tidak tahu menahu tentang pemikiran Konfusius.

Kemudian setelah kediaman saya pindah ke kota kecil ini, di rumah mertua tetangga saya yang bernama Werner ada sepuluh orang anak, satu hal yang diceritakannya cukup menarik. Yakni ayah mertua Werner setiap kali pemilu akan memberikan 20 Euro pada setiap anak yang sudah memiliki hak suara, dan meminta agar anak-anak memilih CDU yang disukainya.

 Saya baru saja berpikir ternyata suara dalam pemilu juga ada harganya, namun Werner tak kuasa menahan tawa dan mengatakan, dari sikap mereka terhadap partai politik, saya tahu pasti ada kecurangan (misalnya duit diterima tapi tidak mencoblos sesuai pesanan, Red.) di dalamnya.

Menurut pengamatan saya, orang Jerman tidak pernah mengatakan kepada orang luar siapa yang mereka pilih, tadinya saya kira kalau di rumah sendiri mungkin lain lagi halnya, sebenarnya tidak juga.

Di rumah mertua dan di rumah sendiri saya sangat jarang mendengar kepada siapa suara diberikan, semuanya diam-diam saja soal partai ini atau itu.

Kemudian saya memperhatikan, bahkan suami saya juga sangat jarang mengutarakan partai apa yang dipilih, terakhir kali saya mendapati ketika mencoblos ia menutupinya dengan tangan kirinya.

Tapi suami saya mengatakan dengan gamblang, saya tidak memilih partai saya sendiri, dan sengaja memilih partai kecil yang paling buruk reputasinya, yang tidak mungkin akan menang pemilu, agar partai kami bisa melihat bahwa posisi mereka sedang terancam bahaya dan harus ekstra perhatian.

Kemudian saya mendapati, orang Jerman juga tidak akan bertanya partai apa yang telah Anda pilih. Karena orang Jerman sangat menghormati privasi orang lain, hak pilih juga merupakan privasi seseorang.

Tapi kedua kalimat berikut ini sangat representatif: kalimat pertama adalah “Saya tidak mau melihat muka itu, sudah cukup lama melihatnya”. Maksudnya adalah orang itu memilih partai oposisi. Kalimat kedua adalah “Hidup saya sekarang cukup baik, jadi tidak perlu menggantinya”. Berarti orang itu memilih partai berkuasa.

Dalam keluarga kami, walaupun semua orang tidak mengatakan siapa yang mereka pilih, tapi dari sikap setiap orang pada kehidupan sehari-hari bisa diketahui.

Suatu kali kami bertamu ke rumah mertua, bertepatan di hari pemilu. Ketika mertua mengantarkan kami ke pintu saat hendak pulang, dari jauh dua orang lewat, ayah mertua saya dengan nada tidak senang berkata, “Datang dua orang kandidat CDU!” Saya pun menengadahkan kepala melihat kedua orang itu berpakaian rapi, mereka baru saja memberikan suara di TPS dan kebetulan melewati rumah mertua saya.

Agar tidak menyapa kedua orang yang berbeda pandangan politik, mertua saya buru-buru berpamitan dengan kami dan segera masuk kembali ke dalam rumah. Dari kejadian itu saya melihat di kota kecil partai mana yang didukung oleh setiap orang sebenarnya sudah menjadi rahasia umum.

Kemudian, saya pun memperoleh hak suara. Sejak saat itu, ibu mertua selalu mengawasi suara yang saya berikan. Walaupun di dalam keluarga kami itu mengatakan membiarkan saya bebas memilih sendiri, tapi ibu mertua tetap saja mengatakan, bahwa saya harus diberitahu apa yang harus saya pilih.

Oleh karena itu ibu mertua sering secara tidak langsung mengatakan, hidup kita ini menjadi membaik sejak seseorang dari Partai SPD menjabat, sebelumnya kehidupan tidak pernah baik.

Suatu kali pemilu sebelum meninggalkan rumah sang ibu mertua menambahkan kata-kata “sudah tahu seharusnya memilih partai apa bukan?!”

Saat saya menulis tanda silang di kertas suara hati saya berontak, awalnya memang cukup berkesan pada partai yang disukai ibu mertua saya, namun beberapa tahun terakhir ini saya mendapati partai ini semakin berubah menjadi paham komunis, dan tidak ingin memberikan suara pada mereka lagi.

Tapi karena khawatir mertua akan bertanya hal ini, apalagi saya tidak boleh berbohong. Kemudian saya pun memberi tanda silang di SPD yang disukai mertua, lalu menyilang juga di CDU yang saya ingin pilih. Setelah pulang, ibu mertua bertanya, sudah benar pilihanmu? Dengan tenang saya menjawab “sudah!”.

Setelah itu ibu mertua pun agak sungkan untuk terus mengawasi saya, beberapa kali saya dibiarkan menentukan pilihan sendiri.

Pemilu sebelumnya saya meminta agar kertas suara dikirim ke rumah, dan saya menyilangnya di dapur.

Walaupun berhak, juga telah memikirkannya cukup lama, tapi pada saat krusial sungguh tidak mudah membuat keputusan. Dua partai besar, yang satu adalah calon yang saya sukai tapi bukan partai yang saya sukai; sedangkan yang lain saya suka pada partainya tapi tidak suka pada calonnya.

Akhirnya saya masih tetap memilih seperti periode sebelumnya, dua hak pilih, masing-masing satu partai besar. Melihat itu saya sendiri merasa kikuk, tapi hati saya lebih tenang.

Beberapa kali mengamati hasil pemilu, saya dapati sebenarnya peran setiap individu dalam pemilu sangatlah kecil, perolehan satu persen saja dibutuhkan begitu banyak suara.

Akhirnya saya pun berpikir: apa gunanya ikut pemilu! Kemudian dua hal pada ibu mertua telah memberikan inspirasi bagi saya.

Hal pertama adalah ibu mertua selalu main Lotto (lotere), walaupun tiap minggu tidak pernah menang undian, tapi setiap minggu dia tetap membeli lotere.

Setiap sabtu, pagi-pagi sekali tangannya sudah memegang pena dan kupon lotere menunggu pengumuman, lalu tiap kali selalu mengatakan “luput lagi” dengan nada kecewa. Saya berusaha menasihatinya agar melupakannya, peluang untuk menang sangatlah minim. Ibu mertua berkata, kalau tidak main selamanya tidak akan pernah dapat.

Suatu riset mengatakan, setiap orang memiliki satu kali kesempatan memenangkan hadiah besar setiap 23 tahun, mertua saya telah bermain 25 tahun. Semoga tidak lama lagi.

Hal kedua adalah sikapnya terhadap pemilu. Sikapnya sangat jelas, jika tidak memberikan suara maka partainya selamanya tidak akan pernah menang, partainya harus dibuat agar tahu bahwa mereka memiliki pemilih dan setidaknya tidak bisa membiarkan partai lawannya menang dengan semudah itu.

Setelah dipikir-pikir perkataan ibu mertua saya juga ada benarnya, walaupun partai yang kita sukai tidak bisa memenangkan pemilu, tapi setidaknya kita telah menyampaikan sikap, agar partai yang menang tidak semena-mena, mungkin inilah daya tarik sesungguhnya dari demokrasi ini.

(Sud/whs/asr)