Komunisme Bukan Jalan Keluar Melainkan Jalan Buntu (9)

Editorial

Lebih dari seratus tahun silam, roh-roh paham komunis muncul di atas langit Eropa. Sejak dikeluarkannya The Communist Manifesto, lalu munculnya Paris Commune, sampai berdirinya rezim Uni Soviet, Partai Komunis Tiongkok dan partai komunis lainnya, tren pemikiran komunis sempat merajalela beberapa saat.

Ideologi manusia telah membentuk dua kubu besar yang saling bertentangan yakni otoritarian komunis dan demokrasi liberal.

Sejarah selama lebih dari seabad menunjukkan, di mana pun tren komunis merah bercokol, pasti selalu disertai peperangan dan kekacauan, kelaparan, pembantaian dan teror.

Gerakan komunisme telah menghancurkan peradaban manusia yang berusia ribuan tahun, dan menyebabkan 100 juta orang mati secara tidak wajar, dan lebih banyak dari jumlah itu yang mengalami penderitaan baik secara fisik maupun mental.

Penipuan tentang “surga dunia” telah menyebabkan milyaran jiwa terjerambab ke “neraka dunia”.

Penindasan terhadap agama/kepercayaan, penghancuran terhadap norma moralitas, pengrusakan terhadap lingkungan dan alam, telah menimbulkan dampak yang buruk dan sangat mendalam.

Di tengah proses keruntuhan paham komunis sekarang ini, masih banyak orang berkhayal, bahkan menyangkal kehancurannya, paham komunis masih terus bermunculan di tengah masyarakat liberal dengan wujud yang berbeda.

Oleh karena itu, mengenali sifat dasar ideologi paham komunis, dan menolak bencana yang akan ditimbulkan oleh pikiran komunis, sangatlah penting bagi setiap orang di semua negara.

baca  Komunisme Bukan Jalan Keluar Melainkan Jalan Buntu Bagian Pertama

baca Komunisme Bukan Jalan Keluar Melainkan Jalan Buntu Bagian Kedua

baca Komunisme Bukan Jalan Keluar Melainkan Jalan Buntu Bagian Ketiga

baca Komunisme Bukan Jalan Keluar Melainkan Jalan Buntu Bagian Keempat

baca Komunisme Bukan Jalan Keluar Melainkan Jalan Buntu Bagian Kelima

baca Komunsime Bukan Jalan keluar Melainkan Jalan Buntu Bagian Keenam

baca Komunisme Bukan Jalan Keluar Melainkan Jalan Buntu Bagian Ketujuh

baca Komunisme Bukan Jalan Keluar Melainkan Jalan Buntu Bagian Kedelapan

(a) Teori ekonomi yang anti-tradisional

Di masyarakat tradisional Tiongkok mengutamakan “ Pria boleh senang akan harta, tapi mengunduhnya harus dengan jalan yang benar”.

Manusia seharusnya rajin bekerja dengan dibekali ketrampilan dan kearifan untuk menghidupi diri sendiri, berdagang juga harus bertransaksi dengan adil dan tidak membohongi siapapun.

Namun, policy ekonomi “Komunisme” pada hakikatnya adalah “Perampokan” dan “Perampokan terselubung”.

Meskipun di dalam masyarakat normal hari ini, siapakah yang rela harta kekayaan legal yang diperolehnya dari hasil jerih payah dirampas begitu saja oleh orang lain?

Orang-orang bertitik-tolak dari kebajikan dan belas kasih, beramal menolong orang lain, ini adalah manifestasi dari sifat kebaikan manusia. Tetapi, jika suatu kekuasaan negara atau siapapun yang merampas harta kekayaan legal orang lain dengan terang-terangan, maka hal ini telah melanggar sifat dasar kemanusiaan dan Hukum Langit.

Hingga saat ini, segala macam pembongkaran paksa, menarik pajak tinggi terhadap perusahaan dalam dan luar negeri, menarik biaya untuk infrastruktur jalan dan jembatan, segala denda yang ngawur, penjarahan terhadap lingkungan alam, “Pembajakan” merk terkenal dunia dan dumping terhadap luar negeri yang dilakukan oleh PKT, adalah kelanjutan dari pemikiran “perampokan”.

Di masyarakat Barat, demi melindungi persaingan bebas yang adil, undang-undang harus menegakkan keadilan, oleh karena itu meskipun harus membuat undang-undang baru, nilai intinya juga harus selaras dengan moralitas tradisional dan hukum dari negara-negara tersebut.

Ini juga menunjukkan bahwa meskipun bentuk sosial dan ekonomi sedang mengalami perubahan, tapi nilai-nilai negara-negara Barat tetap adalah stabil  dan tradisi.

Sebaliknya “Perampokan” partai komunis sama sekali tidak memiliki keadilan, teori ekonomi komunis semacam ini, tidak dapat diterima oleh masyarakat tradisional Tiongkok maupun masyarakat bebas modern.

 (b) Konsepsi moralitas yang ‘anti-kemanusiaan’

Moralitas adalah standar untuk mengukur “benar –  salah,  baik dan jahat”, karena berasal dari perintah Allah atau kitab suci agama, maka juga disebut sebagai “Nilai Universal”.

Aliran Buddha berpendapat bahwa dalam sifat manusia terdapat sifat kebuddhaan dan sekaligus memiliki sifat keiblisan, yakni baik dan jahat eksis bersamaan.

Semua keyakinan ortodoks adalah demi mengekang dan menghilangkan sifat keiblisan, memperkaya dan memperkuat sifat kebuddhaan manusia. Ketika sifat keiblisan disingkirkan tuntas maka manusia baru dapat kembali ke Surga.

Bagian kebajikan dalam sifat manusia adalah bawaan sejak lahir, itu sebabnya orang Tiongkok menyebut pengetahuan intuitif sebagai “nurani Ilahi’.

Sementara itu partai komunis membuat seperangkat sistem moralitas sendiri yang mereka sebut sebagai “Moralitas Komunisme”.

Sebuah bagian penting dari “Moralitas Komunisme” ini adalah menciptakan dan melatih ‘Kebencian’, seperti yang dikatakan oleh Lei Feng “menghadapi musuh harus tanpa belas kasih laiknya musim dingin yang ganas”.

Di tahap perebutan kekuasaan, partai komunis membutuhkan penciptaan kebencian terhadap penguasa pada saat itu; setelah selesai merebut kekuasaan, dibutuhkan penciptaan kebencian diantara rakyat untuk mencegah massa menyatu dan membentuk kekuatan melawan partai komunis.

Oleh karena itu, Mao Zedong telah mengemukakan “teori melanjutkan revolusi di bawah kediktatoran proletariat.”; “perjuangan kelas harus dikatakan setiap hari, setiap bulan dan setiap tahun”; “Revolusi Kebudayaan perlu diulang setiap 7 hingga 8 tahun” dan lain sebagainya.

Penulis Inggris George Orwell pada karangannya yang berjudul “1984” menggambarkan pemandangan seperti ini: Orang-orang di negara komunis setiap hari pukul 11 siang harus berkumpul untuk mengadakan upacara pelatihan kebencian selama dua menit, menghadap musuh partai yang muncul diatas layar, mereka berteriak dan memaki untuk melampiaskan rasa ketakutan dan kemarahan dalam hati.

Adegan yang tampaknya tidak masuk akal ini, selama lebih dari 60 tahun ini, nyatanya selalu muncul dalam bentuk yang lain dalam negara komunis.

Pada saat Revolusi Kebudayaan, massa mengritik dan mengganyang dengan angkara murka, berteriak “hancurkan si kepala anjing xxx”, hingga aksi “penindakan keras” pasca Revolusi Kebudayaan, sampai mendiskreditkan mahasiswa sebagai “pengacau 4 Juni”, juga ada fitnahan yang ditujukan kepada praktisi Falun Gong yang meyakini “Sejati, Baik, Sabar”.

Terkadang ada penambahan pertunjukan nasionalisme, seperti berbagai macam serangan artikel dan ancaman militer yang ditujukan pada Taiwan, Jepang dan Amerika Serikat yang dituduh sebagai “kekuatan anti-Tionghoa” yang memiliki “niat tak pernah padam untuk memusnahkan saya”, semua ini terkait erat dengan “Kebencian” yang dipupuk oleh PKT.

Setiap kampanye partai komunis pasti diawali dengan memicu kebencian, melalui mesin propaganda mendiskreditkan lawan-lawannya sebagai “Golongan kapitalis”, “Rivisionisme”, “Lima jenis golongan Hitam”, “Pengkhianat”, “Aliran sesat” dan lain-lain, mencari dalih demi menindas.

Pada saat yang sama juga melalui cara ini merusak moral manusia secara sistematis, melenyapkan empati dan penilaian waras mengenai manusia.

Tidak hanya itu, juga menggunakan cara ‘setiap orang menentukan sikap’, agar setiap orang ikut ternodai oleh hutang darah penindasan, setidaknya adalah hutang darah secara moril.

Lenin mengatakan: “Kediktatoran kaum proletariat bukanlah akhir dari perjuangan kelas, melainkan adalah kelanjutan dari perjuangan kelas dalam bentuk yang baru.” Hal ini menjelaskan bahwa pelatihan kebencian partai komunis harus terus menerus dilakukan.

Berbagai macam gerakan politik partai komunis selain menciptakan teror juga berusaha menghancurkan moralitas bawaan umat manusia yakni menghancurkan hati nurani.

Di bawah sistem totaliter komunis, bayi yang setelah lahir harus diubah menjadi sosok ‘bukan manusia’ yang sudah kehilangan rasa iba dan penilaian salah dan benar.

Oleh karenanya, “Sifat Kepartaian” diatas segalanya yang dipropagandakan PKT mematikan akal budi manusia, dia adalah “Anti-Kemanusiaan.” (LIN/whs/asr)

Bersambung