Sepanjang Tahun 2017 Sebanyak 41 Jurnalis Tiongkok Dipenjara

oleh Luo Tingting

Epochtimes.id- Committee to Protect Journalists (CPJ) yang berkantor pusat di New York, Amerika Serikat dalam laporan terbarunya menyebutkan bahwa jurnalis yang dipenjara di seluruh dunia mencapai 262 orang, dan Tiongkok menjadi salah satu negara terburuk di dunia karena memenjarakan 41 orang jurnalis mereka.

Komite Perlindungan Jurnalis pada 13 Desember menerbitkan laporan baru yang menyebut Turki, Tiongkok dan Mesir sebagai negara-negara terburuk karena memenjarakan 134 dari total 262 (51 %) orang jurnalis dalam tahun 2017.

Selama dua tahun berturut-turut, Turki memenjarakan paling banyak jurnalis mereka. Dalam tahun 2017, 73 orang jurnalis dipenjara dan belasan lainnya masih menghadapi putusan pengadilan. Tiongkok tahun ini ada 41 orang dan tahun lalu 38 orang.

Laporan menyebutkan bahwa tuduhan terhadap para jurnalis yang paling umum digunakan oleh pengadilan ketiga negara itu adalah subversif.

Sebagaimana telah diketahui bahwa CPJ telah mengadakan survei tahunan sejak era 1990. Daftar ini berdasarkan data para jurnalis yang dipenjara per 1 Desember 2017.

Daftar tersebut hanya mencakup para jurnalis yang telah dipenjara karena telah menjalani tugas mereka tetapi tidak termasuk sejumlah jurnalis yang dipenjara dan dibebaskan tahun ini.

Selama bertahun-tahun Tiongkok dikritik dunia karena menghalangi kebebasan pers di negaranya. PBB telah menetapkan 3 Mei sebagai Hari Kebebasan Pers Dunia. Freedom House di Washington DC pada 28 April merilis ‘Laporan Kebebasan Pers tahun 2017’.

Laporan menunjukkan bahwa Tiongkok dan Rusia pada tahun lalu telah menambah halangan untuk kebebasan pers. Sementara itu, kebebasan pers global telah turun ke level terendah dalam 13 tahun terakhir.

Laporan tersebut mengatakan bahwa tingkat kebebasan Pers Tiongkok menempatkan urutan bawah di dunia, hanya berada di urutan 186 dari total 199 negara dan wilayah di dunia.

Laporan tersebut mengatakan bahwa pemerintah Tiongkok telah memberlakukan tindakan keras yang paling parah terhadap kritikan dan komentar siber.

Zhang Haitao, seorang aktivis hak asasi manusia di Xinjiang, dijatuhi hukuman 19 tahun penjara karena berulang kali mengkritik kebijakan Partai Komunis Tiongkok di media sosial.

Direktur Senior Freedom House Sarah Repucci mengatakan : “Tahun ini kita melihat pemerintah Tiongkok berusaha untuk menindak keras media sosial yang merupakan satu-satunya saluran yang dapat memberikan suara secara independen. Otoritas juga terus melakukan pemeriksaan ketat terhadap media, memberikan tekanan pada para jurnalis dan mengontrol setiap berita yang diberikan kepada media.

Laporan tersebut memperkirakan bahwa pada tahun 2016, setidaknya sekitar 100 orang wartawan, blogger, warga Tibet, Uighur dan praktisi Falun Gong dijatuhi hukuman penjara karena berbagi informasi melalui media sosial atau online.

BBC bahasa Mandarin dalam laporannya mengatakan : Meninjau keseluruhan pengalaman para jurnalis Tiongkok sejak berdirinya pemerintahan PKT, yakni selama 30 tahun sejak 1949 hingga 1980, para jurnalis Tiongkok hanya diijinkan untuk memikul satu tanggungjawab, yaitu menjadi corong suara partai. Jika melaporkan berita negatif berarti yang bersangkutan menghambat perjuangan partai yang digolongkan sebagai tindakan kontra-revolusioner.

Meskipun dalam konstitusi, pemerintah Tiongkok menetapkan berlakunya kebebasan berbicara dan publikasi, tetapi tidak berfungsi karena kurangnya perlindungan hukum.

Sudah banyak tokoh media Tiongkok selama 30 tahun lalu menyerukan agar Undang-undang Pers dibuat dan diberlakukan.

Namun, hingga tahun 1988, otoritas terkait baru melakukan usaha sebatas mulai merancang aturan mainnya, dan sampai sekarang, puluhan tahun sudah lewat, undang-undang tentang pers masih belum juga adad. Kalaupun peraturannya sudah dibuat, apakah bisa terealisasi juga masih perlu dipertanyakan.

Chen Yun, seorang petinggi militer jaman Mao Zedong pernah mengeluarkan ucapan yang mungkin dapat menjelaskan mengapa tidak ada undang-undang pers di Tiongkok.

“Undang-undang pers sudah ada pada era Kuomingtang berkuasa, dan kita orang-orang komunis memanfaatkan celah-celahnya untuk kepentingan dan tujuan kita. Sekarang kita yang berkuasa, saya pikir jangan lagi ada undang-undang itu lagi. Karena jika tidak ada hukum kita yang mengambil inisiatif. apa yang kita inginkan dapat kita lakukan,” katanya. (Sinatra/asr)

Sumber : ntdtv