Politisi Israel Meminta Obama untuk Mengembalikan Hadiah Nobel Perdamaian

Oleh Jasper Fakkert

Epochtimes.id- Seorang politisi terkemuka Israel meminta Presiden AS ke-44 Barack Obama mengembalikan Hadiah Nobel Perdamaian, jika masa pemerintahannya benar adanya menghalangi penyelidikan atas perdagangan narkoba oleh kelompok teroris Hizbullah.

Politico melaporkan pada 15 Desember 2017, pemerintahan Obama menghalangi penyelidikan selama bertahun-tahun oleh Drug Enforcement Agency (DEA) terhadap dugaan perdagangan narkoba dan senjata api, serta pencucian uang dan kegiatan kriminal lainnya oleh Hizbullah.

Berdasarkan laporan tersebut penyelidik DEA telah mengumpulkan bukti bahwa kelompok teror yang didukung Iran telah mengirim “banyak ton kokain” ke Amerika Serikat.

Hizbullah menghasilkan ratusan juta dolar dari operasi tersebut, yang kemudian digunakan untuk membiayai operasi terorisnya.

Hizbullah secara resmi terdaftar sebagai organisasi teroris asing oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.

Hizbullah telah sering melakukan serangan roket terhadap Israel selama dua dekade terakhir.

Menurut laporan Politico, pemerintahan Obama “melemparkan serangkaian penghalang jalan yang semakin tidak dapat diatasi” dalam langkah penyelidikan karena sedang melakukan kesepakatan nuklir dengan Iran pada tahun 2015.

“Ini adalah keputusan kebijakan, ini adalah keputusan sistematis,” kata David Asher, yang membantu menetapkan dan mengawasi penyelidikan tersebut kepada Politico.

“Obama harus mengembalikan Hadiah Nobel Perdamaiannya, jika laporan Politico akurat,” kata Ketua Partai Politik Yesh Atid, Yair Lapid kepada Jerusalem Post.

Obama dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian tahun 2009 setelah memerintah kurang dari sembilan bulan.

“Israel memperingatkan berulang kali bahwa tidak ada hubungan antara kesepakatan nuklir dan aktivitas anti-teror, tentu melawan Hizbullah, Kami juga memperingatkan hal ini secara khusus, karena hubungan yang telah terbukti antara Hizbullah dan Iran,” kata Lapid.

Anggota parlemen Israel dan ketua partai Yesh Atid, Yair Lapid, berbicara dalam sebuah konferensi pers di Yerusalem pada 12 Desember 2016. (THOMAS COEX / AFP / Getty Images)

Israel telah lama mengkritik kesepakatan nuklir Iran, yang secara resmi disebut Rencana Aksi Komprehensif Bersama, yang dicapai antara Amerika Serikat – Iran dan kekuatan dunia lainnya pada tahun 2015.

Kritikus telah menunjukkan bahwa kesepakatan tersebut, pada dasarnya, memastikan bahwa Iran akan dapat mengembangkan senjata nuklir pada tahun 2026.

Pada saat itu, pembatasan utama terhadap pengayaan uranium akan dicabut, memungkinkan rezim Iran untuk menginstal dan mengoperasikan ribuan dari sentrifugal bawah tanah untuk pengayaan uranium yang lebih canggih.

Menurut para ahli, senjata nuklir kemudian bisa dikembangkan dalam waktu enam bulan.

Karena perkembangan teknologi tinggi rudal Iran dan rudal balistik tidak ditutupi oleh kesepakatan nuklir, Iran mampu terus mengembangkan ini.

Pada bulan Oktober, pemerintahan Trump mengatakan akan melakukan negosiasi ulang bagian-bagian kesepakatan nuklir tersebut. Jika itu tidak berhasil, Presiden Donald Trump mengatakan bahwa dia akan menghentikan kesepakatan tersebut dan menegosiasikan keputusan yang berbeda.

“Sampai Pemerintahan Obama, setiap Presiden Amerika melawan terorisme tanpa kompromi,” kata Menteri Kerjasama Regional Tzachi Hanegbi di Facebook.

“Saya yakin bahwa pemerintahan Trump tidak akan berpaling dari tradisi itu, dan bahwa kebijakan keterlaluan dan salah yang diungkapkan minggu ini tidak akan terulang.”

Mantan Duta Besar Israel untuk PBB, Michael Oren, yang saat ini menjabat sebagai Wakil Menteri di kantor Perdana Menteri, mengatakan bahwa pemerintahan Obama bersedia melakukan apapun untuk mencapai kesepakatan dengan Iran.

“Sudah jelas bahwa pemerintah bersedia melakukan apapun untuk mencapai kesepakatan, termasuk mengabaikan teror Iran yang merenggut nyawa ratusan orang Amerika dan Israel dan ratusan ribu orang Syria,” kata Oren kepada Jerusalem Post.

“Paparan ini dan lainnya yang mungkin dipublikasikan di masa depan harus memperkuat tekad kami untuk membatalkan atau setidaknya secara signifikan mengubah kesepakatan berbahaya ini,” tambahnya. (asr)

Sumber : The Epochtimes