Ada Sisi Mengerikan di Balik Investasi Besar Tiongkok dalam Kecerdasan Buatan

EpochTimesId – Pemerintah Tiongkok berinvestasi secara besar-besaran dalam kecerdasan buatan, dari chip hingga algoritma.

Dewan Negara Tiongkok mengeluarkan sebuah kebijakan ambisius berupa cetak biru yang berisi target yang akan dicapai Tiongkok pada tahun 2030, yakni sebagai pusat inovasi kecerdasan buatan terkemuka di dunia.

Namun, sebuah artikel yang diterbitkan majalah Science mengatakan bahwa di balik pengembangan kecerdasan buatan Tiongkok tersembunyi sisi ‘jahat’.

Raj Reddy, presiden pendiri Robotics Research Institute di Carnegie Mellon University dan pemenang Turing Award, mengatakan bahwa Tiongkok menginvestasikan banyak dana dalam teknologi informasi dari komputasi kuantum hingga desain chip. Dan dia mengklaim bahwa bagi Tiongkok, ‘kecerdasan buatan berada di atas segalanya’.

Dalam beberapa bulan terakhir, Pemerintah Pusat dan dunia industri Tiongkok terus meluncurkan program yang berkaitan dengan pengembangan intelijen buatan.

Sebuah langkah terbaru yang diambil pemerintah Tiongkok adalah akan mendirikan di pinggiran barat kota Beijing sebuah taman guna pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kecerdasan buatan. Nilai investasi taman riset itu total sebesar 2,1 miliar dolar AS, lebih besar dari Amerika Serikat.

Pemerintah AS pada tahun 2016 menghabiskan dana total USD 1,2 miliar untuk pengembangan kecerdasan buatan non-rahasia.

Artikel dalam majalah ‘Science’ mengatakan bahwa Tiongkok dalam upayanya untuk mengembangkan kecerdasan buatan menembunyikan sebuah sisi yang mengerikan. Mereka berusaha memanfaatkan kemajuan teknologi kecerdasan buatan untuk melakukan pemantauan dan pemeriksa identitas seseorang, termasuk untuk tujuan militer.

Elsa Kania, seorang peneliti di Washington Center for New American Security mengatakan bahwa pemerintah Tiongkok mendanai pengembangan kemampuan intelijen buatan dalam pembuatan keputusan di medan perang dan senjata otomatis. Dia memperingatkan bahwa di ‘dunia kecerdasan buatan Tiongkok’, batas antara keperluan untuk warga sipil dengan penelitian dan pengembangan untuk militer seringkali sangat samar.

Tiongkok menjadikan kecerdasan buatan sebagai instrumen dalam mempertahankan kekuasaan. Diagram pengembangan kecerdasan yang dibuat oleh Departemen Luar Negeri Tiongkok secara eksplisit mengakui bahwa kecerdasan buatan sangat penting untuk secara signifikan meningkatkan kemampuan dalam menata dan mengelola masyarakat. Teknologi itu akan memainkan peran yang tak tergantikan dalam menjaga stabilitas sosial.

Beberapa orang khawatir bahwa pengembangan kecerdasan buatan dapat semakin mempersempit ruang gerak orang-orang yang tak sepaham dengan pemerintah. Menurut laporan The Citizen Lab, University of Toronto, bahwa peningkatan kemampuan pengenalan gambar telah memberi kemungkinan kepada pihak berwenang untuk melakukan pemantauan online secara real time dan jauh lebih efektif.

Teknologi pengenalan wajah juga menjadi fokus kontroversi. Teknologi ini dibangun di atas algoritma kecerdasan buatan untuk menganalisis secara detail tentang wajah seseorang guna menemukan satu diantaranya yang benar atau cocok dari sekian ribu atau juta data potensial.

Teknologi pengenal wajah sudah digunakan secara rutin di Tiongkok, yakni pada saat berbelanja, dan saat menerima layanan publik. Sebagai contoh, saat pelanggan di KFC bisa melakukan verifikasi pembayaran dengan cara memindai wajah mereka.

Di beberapa gerbang keamanan bandara, sistem pengenal wajah Baidu akan memberikan penegasan tentang identitas para pelancong.

Polisi Tiongkok mulai Tahun Baru Imlek ini berpatroli di stasiun KA atau bus yang dipenuhi warga-warga yang mau mudik dengan menggunakan kacamata hitam yang dilengkapi dengan kamera kecil yang terhubung ke perangkat ponsel cerdas.

Melalui alat tersebut polisi dapat ‘mengunci’ orang-orang yang dicurigai, memotret wajah mereka kemudian dikirim ke data base guna penyimpanan.

Pada saat arus mudik mulai meningkat, seorang polisi berkacamata hitam digital berdiri di depan pintu masuk sebelah timur stasiun KA. Agence France Presse (AFP) dalam laporannya menyebutkan bahwa situasi itu mengingatkan orang pada adegan dalam film TV ‘Black Mirror’.

Sistem ini merupakan bagian dari komitmen Tiongkok yang mengklaim akan mengembangkan sistem pengawasan digital. Mereka menggunakan berbagai teknologi biometrik, termasuk foto, pemindaian iris, sidik jari dan DNA untuk memantau secara ketat dinamika orang-orang di seluruh negeri.

Pemerintah Tiongkok telah menerapkan teknologi pengenalan wajah di Xinjiang. Reporter Wall Street Journal menemukan bahwa di beberapa kota di Xinjiang, kamera pengintai dipasang dengan jarak setiap beberapa ratus meter. Dilaporkan bahwa di SPBU, mal, pintu masuk masjid dan tempat-tempat lain sudah berdiri pos-pos pengenalan wajah.

Majalah ‘Sience’ mengutip ucapan Presiden AAAI, Subbarao Kambhampati mengatakan, “Di sinilah letak kecerdasan buatan yang ditakuti orang Barat.”

Ia mengatakan di Tiongkok orang-orang dipaksa untuk tidak memiliki kekhawatir atau tidak mungkin lagi dapat mendiskusikan hal ini. (Qin Yufei/ET/Sinatra/waa)