Analisa Pakar Situasi ASEAN Pasca Pergantian Politik di Malaysia

Luo Ya & Liang Xin

Suasana di Malaysia telah berubah pasca pemilu, pemimpin koalisi partai oposisi “Pakatan Harapan (PH)” Mahathir Mohamad yang berusia 92 tahun telah mengumumkan dirinya kembali ke pentas politik setelah memenangkan pemilu; terpilih pada usia sepuh seperti ini memang menarik perhatian seluruh dunia; menurut pengamatan opini publik, setelah menjabat, pandangan dan orientasi politik Mahathir terhadap pihak asing akan berbeda dengan partai berkuasa sebelumnya.

Lalu, dampak seperti apakah yang akan terjadi pada Asia Tenggara akibat perubahan besar di Malaysia yang pernah menjadi salah satu dari empat macan Asia itu?

Mahathir mengakhiri pemerintahan koalisi 60 tahun yang pernah dipimpinnya; reaksi opini publik, ini menandai perwujudan peralihan menuju demokrasi untuk kali pertama bagi Malaysia sejak merdeka di tahun 1957, dan kekuasaan diserahkan kepada partai oposisi; Mahathir pun menjadi pemimpin negara tertua di dunia.

Opini publik umumnya beranggapan, satu penyebab utama kekalahan “Barisan Nasional (BN)” kali ini adalah, terbongkarnya skandal korupsi yang mencuat selama pemerintahan Najib Razak.

Saat diambil sumpah jabatannya, Mahathir berjanji akan membangkitkan kembali ekonomi, menstabilkan mata uang, mengurangi hutang negara, dan mendapatkan kembali dana kekayaan negara di perusahaan 1 Malaysia Development Berhad (1MDB) yang telah disalahgunakan sebanyak milyaran dolar AS.

Mahathir yang pernah menjabat sebagai perdana menteri selama 22 tahun sejak tahun 1981 hingga 2003 terkenal dengan gaya politiknya yang keras; lahir sebagai rakyat jelata, ia meninggalkan bidang kedokteran dan terjun ke dunia politik.

Peneliti bernama Profesor Wu Huilin dari Lembaga Riset Ekonomi Tionghoa mengatakan kepada reporter Dajiyuan (Epoch Times), di tahun 1997 saat Asia dilanda krisis moneter terjadi pada saat Mahathir berkuasa, Malaysia waktu itu juga merupakan salah satu negara yang menderita, dan mengalami pelajaran pahit tersebut. Kini ia telah berusia 92 tahun, mungkin ia berpikiran untuk mewariskan sejumlah kebijakan yang lebih baik.

“Karena pada masa Asia Tenggara dilanda krisis moneter, yang disebabkan oleh melemahnya nilai tukar mata uang, saya pikir setelah mendapat pelajaran itu, sekarang ia mungkin akan lebih fokus pada masalah (kebijakan ekonomi) ini, ia berniat mengurangi beban hutang negara, jadi ini adalah fenomena positif.”

Selain itu, penerbit sekaligus editor majalah “Overview China” bernama Chen Kuide berpendapat, wilayah Asia Tenggara akan mengalami perubahan, namun tidak besar. Terutama pasca masalah ketegangan di Laut Tiongkok Selatan, negara di sekitar telah bersiaga terhadap PKT, tapi segan membuat Beijing tersinggung karena kepentingan berbisnis.

“Namun pada dasarnya hati Mahathir lebih berpihak pada Barat dan agak menentang PKT, jadi situasi ini tidak akan banyak berubah, bahkan mungkin akan cenderung berkembang menjadi lebih berpihak ke Barat.”

Faktanya di masa pemerintahan Mahathir sebelumnya ia agak condong ke RRT. Namun di bulan April lalu Mahathir pernah mengatakan pada media, bahwa “masyarakat Malaysia tidak mendapat manfaat apa pun dari investasi (RRT)”, ia meragukan membuka peluang investasi bagi RRT di bidang infrastruktur dan properti akan berakibat buruk bagi kedaulatan negara, bahkan setelah menang pemilu ia akan lebih seksama “memeriksa” investasi dari RRT. Sepertinya Mahathir telah mewaspadai, dengan Srilanka sebagai contoh, Srilanka yang meminjam uang dari Beijing dengan sistem sewa menyewa tanah, karena tidak mampu membayar hutang sehingga Srilanka kehilangan banyak wilayahnya.

Wu menyatakan, sekarang banyak negara telah melihat dengan jelas, sehingga banyak yang menyangkal program “One Belt One Road” dari Beijing. Mahathir juga melihat pengalaman pahit Srilanka, jadi mengambil hikmah dari pelajaran ini, ia tidak akan menjalin hubungan yang terlalu dekat dengan RRT.

“Ia akan bertindak demi kepentingan negaranya. Dan sekarang (ekonomi dan lain-lain) banyak hal di tangan pemimpin (perdana menteri) sebelumnya ditangani dengan sangat tidak baik, jadi sekarang ia ingin secepatnya memulai dari awal lagi.”

Menurut Wu, sekarang Trump tengah memberikan sanksi pada RRT, Mahathir seharusnya juga telah melihat prospek perekonomian RRT ternyata tidak begitu menggembirakan, ia akan lebih mencermati kekuatan Beijing; apalagi sekarang Taiwan juga tengah menerapkan kebijakan baru ke selatan dengan mempererat hubungan kerjasama dengan negara-negara Asia Tenggara. “Saya pikir Malaysia seharusnya juga tidak terkecuali.”

Warga Taiwan sangat optimis dengan kebijakan baru ke selatan, Wu Huilin menandaskan, “Jadi saat ini semua sedang gencar-gencarnya mengarah kesana; dan tidak hanya masalah uang saja, masalah lain selain uang, hubungan dengan berbagai pihak; dan sekarang banyak pengusaha Taiwan telah hengkang dari RRT, semua beralih ke Asia Tenggara, jadi sekarang adalah kesempatan. Malaysia mengalami perubahan, bagi mereka juga merupakan suatu peluang.”

Chen menekankan, setelah masalah di Laut Tiongkok Selatan, diam-diam Malaysia dan RRT saling berseteru, saling cecar, meskipun dengan suara kecil; Mahathir adalah politisi berhaluan keras, ia tidak akan melunak.

“Keluar dari partai politik sebelumnya dan masuk ke partai oposisi, justru partai politik awalnya telah tercerai berai. Ini berarti ia masih berpengaruh di tengah peta politik Malaysia, juga kemungkinan tekad politiknya masih sangat kuat untuk bisa mewujudkan banyak hal, walaupun ia telah berusia 92 tahun,” pungkas Chen Kuide. (SUD/WHS/asr)