Trump Menarik Diri dari Perjanjian Nuklir Iran, Tiongkok Terpukul

Pada 8 Mei, Presiden AS Trump mengumumkan pengunduran dirinya dari perjanjian nuklir Iran, yang menyebabkan dampak besar pada komunitas internasional.

Selain Iran yang paling terpukul adalah Tiongkok komunis.

Jika Amerika Serikat menerapkan sanksi ekonomi tingkat tertinggi sanksi ekonomi, Tiongkok  akan menderita kerugian besar.

oleh Wang He – EpochWeekly

Amerika Serikat menarik diri dari perjanjian nuklir Iran dan mereformasi tatanan internasional

Pada 8 Mei Presiden Trump mengumumkan pengunduran diri AS dari perjanjian nuklir Iran. Ini merupakan peristiwa besar bagi Amerika Serikat yang mulai meninggalkan kebijakan peredaan (Appeasement-ism), dan berkehendak untuk mereformasi tatanan internasional, pergeseran posisi strategis AS ini jelas mengejutkan otoritas Beijing.

Pada Tahun 2015, Inggris, Prancis, Jerman, Amerika Serikat, Rusia, dan Tiongkok mencapai kesepakatan dengan Iran berupa pencabutan sanksi ekonomi yang diberlakukan kepada Iran bila pihak berwenang Teheran bersedia mengekang program nuklir mereka.

Tetapi, “Perjanjian tersebut pada dasarnya cacat” (bahasa Trump), di satu sisi, kesepakatan nuklir ini hanya memberikan kesempatan kepada Iran untuk bernapas, bahkan itu sebagai alasan untuk memberi kelonggaran atau mencabut sanksi ekonomi terhadap mereka. Memberikan kesempatan kepada Iran untuk menata kembali kekuatan ekonominya. Dan sepuluh tahun kemudian, Iran masih akan memulai kembali program nuklirnya.

Di sisi lain, perjanjian nuklir tidak memasukkan program rudal balistik Iran dan dengan cara bagaimana untuk mengekang aktivitas Iran di wilayah tersebut ke dalam perjanjian nuklir, tetapi hanya murni menargetkan kegiatan nuklir Iran, oleh karena itu tidak komprehensif.

Pada saat itu, para pemerintah negara Inggris, Jerman, Prancis, Amerika Serikat bukannya tidak menyadari adanya cacat ini, tetapi semata karena mementingkan kemudah dan kepentingan sesaat, sehingga membiarkan itu tanpa koreksi, menerapkan kebijakan paliatif terhadap Iran.

Dalam hal ini, Otoritas Beijing tidak hanya senang dengan hasil yang dicapai, tetapi juga menggunakan teori yang disimpangkan untuk mendukung, mendorong, dan memperluas ideologi peredaan Barat. Untuk waktu yang lama, rezim Tiongkok komunis sendiri juga mendapat manfaat dari kebijakan kompromi Barat seperti itu.

Trump mengumumkan bahwa sanksi terhadap Iran akan kembali diterapkan

Ideologi peredaan (apeasement-ism) Barat menjadi kedaluwarsa seiring dengan naiknya seorang politikus yang memiliki kemampuan untuk bertindak, memiliki visi strategis, dan berani mengambilan keputusan politik sebagai Presiden Amerika Serikat. Sebuah era baru mulai tumbuh. Tali yang menjerat leher Tiongkok komunis mulai mengencang. Dengan mundurnya AS dari perjanjian nuklir Iran, Tiongkok menyadari kalau dirinya terpukul tetapi tidak berani bertanya / berkomentar.

yang kedua, Trump mengumumkan bahwa AS akan memulai kembali menerapkan sanksi terhadap Iran, pada saat yang sama memberi pukulan terhadap kepentingan Partai Komunis Tiongkok di Iran.

Secara strategis, aliansi kepentingan Tiongkok – Rusia – Iran menimbulkan ancaman besar bagi Amerika Serikat. Trump menggunakan kesempatan keluar dari perjanjian nuklir Iran untuk mempersempit ruang strategis Partai Komunis Tiongkok.

Secara ekonomi, cadangan minyak dan gas alam Iran sangat besar, menurut data pelacakan kapal yang dibuat oleh Thomson Reuters Corporation, pembeli minyak mentah Iran terbesar adalah Tiongkok (impor Tiongkok pada pertengahan tahun 2016 mencapai sekitar 900.000 barel per hari, namun pada tahun 2018 angka ini telah menurun menjadi sekitar 600.000 barel per hari).

Tiongkok juga memiliki banyak kontrak karya yang bernilai sangat besar di Iran (terutama pembangunan infrastruktur, fasilitas petrokimia yang jumlahnya mungkin mencapai miliaran Dolar AS). Periode kontraknya pun panjang, ada yang sampai belasan bahkan puluhan tahun lamanya,

Perusahaan BUMN Tiongkok seperti PetroChina, China Railway masing-masing memiliki kantor kerjanya di Iran. Komoditas Tiongkok yang diekspor ke Iran macamnya cukup banyak termasuk perdagangan senjata.

Saat ini, perang ekonomi dan perdagangan AS – Tiongkok nyaris meletus. ZTE, salah satu perusahaan telekomunikasi terbesar Tiongkok terkena embargo akibat melanggar sanksi AS terhadap Iran.

Departemen Perdagangan AS pada 16 April mengumumkan pelaksanaan embargo teknologi selama  jangka waktu tujuh tahun hingga tahun 2025, melarang perusahaan Amerika menjual perangkat lunak dan teknologi kepada ZTE. Pada 9 Mei, ZTE mengumumkan bahwa kegiatan bisnis utama perusahaan tidak dapat dilanjutkan. Perusahaan raksasa komunikasi Tiongkok lainnya Huawei juga sedang diselidiki oleh Departemen Kehakiman AS menyangkut dugaan melanggar sanksi AS terhadap Iran.

Dapat diperkirakan bahwa jika Amerika Serikat menerapkan sanksi ekonomi tingkat tertinggi  terhadap Iran, maka Tiongkok komunis juga akan menderita kerugian besar.

Pendirian Tiongkok tentang program nuklir Korut terpukul oleh KTT Trump – Kim Jong-un

Ketiga, Amerika Serikat menarik diri dari perjanjian nuklir Iran akan berdampak besar pada KTT Trump – Kim Jong-un yang akan datang, dan memukul pendirian Tiongkok tentang program nuklir Korea Utara.

Di bawah tekanan strategi Trump, Kim Jong-un terpaksa pergi ke meja perundingan. Satu-satunya ‘kartu AS’ yang dapat ia mainkan adalah Tiongkok. Tetapi Tiongkok di satu sisi khawatir akan terdepak dari situasi terbaru di Korea Utara, dan pada saat yang sama, ia ingin menggunakan ‘kartu Korea Utara’ untuk menambah poin dalam perang dagang dengan AS.

Oleh karena itu, adegan dramatis terjadi, Kim Jong-un dan Xi Jinping yang masing-masing menjabat sebagai kepala negara pada 2011 dan 2012 tidak saling bertemu selama bertahun-tahun, tetapi tiba-tiba 2 kali bertemu secara rahasia dalam waktu 40 hari menjelang KTT Trump – Kim.

Setelah Kim Jong-un kembali menemui Xi Jinping di Dalian pada 7 – 8 Mei, media resmi Tiongkok mengatakan bahwa kedua negara sepakat dalam melakukan penghentian program pengembangan nuklir, Korea Utara akan menggunakan metode bertahap dan disinkronkan. Ini jelas berlawanan dengan keinginan Amerika Serikat.

Menurut laporan Wall Street Journal, ketika Mike Pompeo mengunjungi Korea Utara untuk bertemu dengan Kim Jong-un pada 1 April lalu, Kim Jong-un menyiratkan keinginannya untuk melaksanakan denuklirisasi secara bertahap. tetapi Pompeo langsung menolak.

Pompeo juga menegaskan bahwa Korut jangan berharap untuk memperoleh imbalan sebelum pelaksanaan.

Bahkan, Amerika Serikat dan Korea Utara pada 21 Oktober 1994 telah menandatangani ‘Perjanjian Kerangka Kerja Nuklir’ yang isinya berupa Korea Utara dapat menerima bantuan ekonomi dari AS jika membekukan fasilitas senjata nuklirnya, dan melonggarkan sanksi.

Namun, Korea Utara telah menipu Amerika Serikat, ia selain tidak meninggalkan senjata nuklir, malahan menggunakan dukungan ekonomi dari AS untuk mempercepat program pengembangan senjata nuklir.

Mengenai masalah nuklir Korea Utara, sikap pemerintahan Trump sangat jelas : Denuklirisasi dilaksanakan secara lengkap, dapat diverifikasi, dan tidak dapat dipulihkan.

Di hari kedua setelah Trump mengumumkan pengunduran dirinya dari perjanjian nuklir Iran, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo kembali terbang ke Korea Utara. Komentar Trump tentang perjanjian nuklir Iran dapat dianggap sebagai pukulan terhadap Kim Jong-un dan Tiongkok.

Jika KTT Trump – Kim Jong-un berlangsung sesuai jadwal yang ditetapkan sebelumnya, Trump niscaya akan mendesak Kim Jong-un untuk merealisasikan denuklirisasi dalam waktu sesingkat mungkin (menurut jadwal yang ditentukan).

Jika Kim Jong-un menolak membuka kartu dan hanya bisa memilih meninggalkan nuklir. Meskipun Tiongkok ingin hati secara bertahap, tetapi apa daya tangan tak sampai. (Sinatra/asr)