Pengendalian Rokok Menjadi Prioritas Dikarenakan Tingginya Jumlah Anak dan Perempuan Terdampak

Epochtimes.id-  Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggara acara 12th Asia Pacific Conference on Tobacco or Health (APACT12th) di Nusa Dua, Bali. Tema yang diangkat yaitu “Pengendalian Tembakau untuk Pembangunan Berkelanjutan: Memastikan Lahirnya Generasi Sehat.”

Acara ini digelar sebagai bentuk komitmen negara-negara Asia Pasifik dalam upaya pengendalian tembakau yang semakin mengkhawatirkan khususnya di Indonesia.

Menteri Yohana dalam sambutannya mengatakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), telah menetapkan pengendalian rokok sebagai salah satu program prioritas. Hal ini disebabkan tingginya jumlah anak yang terkena dampak bahaya rokok di Indonesia.

Menurut Yohana, sebanyak 2-3 dari 10 anak Indonesia usia 15-19 tahun merupakan perokok aktif (Kemenkes, 2017). Jumlah perokok usia anak (di bawah usia 18 tahun) juga meningkat dari 7,2% pada 2013 menjadi 8,8% pada 2016.

“Fakta yang juga mengkhawatirkan, yaitu 34,71% anak usia 5-17 tahun diketahui menghisap lebih dari 70 batang rokok perminggu (SUSENAS, 2016),” ungkapnya dengan tema ‘Peluang dalam Menerapkan Kebijakan Pengendalian Tembakau untuk Pembangunan Berkelanjutan, Melindungi Generasi Muda dan Memberdayakan Perempuan.’

Menteri Yohana juga menambahkan, bahwa sekitar 33% siswa laki-laki dan 17% dari seluruh jumlah siswa di Indonesia, merokok untuk pertama kali pada usia di bawah 13 tahun, umumnya di bangku sekolah dasar (Kemenkes, 2016).

Selain itu, sekitar 49% atau 43 juta dari total 87 juta anak di Indonesia telah terpapar asap rokok (perokok pasif). Sekitar 11,4 juta atau 27% diantaranya, merupakan anak berusia di bawah 5 tahun atau balita (Kemenkes, 2016).

Menteri asal Papua ini menuturkan tembakau maupun rokok merupakan zat berbahaya, yang berdampak buruk bagi kesehatan anak di masa depan, bahkan dapat menyebabkan kematian. Dampak penggunaan rokok akan dirasakan 15-20 tahun mendatang, saat anak menginjak usia produktif.

Sebanyak 225.700 orang meninggal dunia setiap tahun akibat rokok di Indonesia, dan 7% nya, atau sekitar 15.844 orang adalah perempuan (Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia, 2018).

Hal ini membuktikan bahwa tidak hanya anak, perempuan juga termasuk kelompok rentan, yang menjadi second-hand smoke (perokok pasif) dan berisiko sama bahayanya dengan first-hand smoke (perokok aktif).

“Untuk itu, perlindungan terhadap dampak tembakau tidak hanya ditargetkan kepada anak, tetapi juga kepada perempuan,” ujar Menteri Yohana.

Kemen PPPA terus mendorong pemenuhan hak dan perlindungan khusus anak serta meningkatkan peran perempuan dalam pembangunan berkelanjutan melalui pengarusutamaan gender dan pengarusutamaan hak anak.

Mengingat perempuan merupakan kunci dalam mencetak generasi emas yang sehat dan berdaya saing di masa mendatang, perempuan harus berdaya dan mampu melindungi diri maupun anak dan keluarganya dari bahaya rokok.

Terkait pengendalian rokok, Kemen PPPA telah melakukan Kampanye “Anak Indonesia Hebat Tanpa Rokok” sejak tahun 2017, yang diikuti ribuan anak usia 13-17 tahun.

Sejak 2006, Kemen PPPA telah membuat kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) dan pada tahun 2010 direvitalisasi. Saat ini sedang disusun Peraturan Presiden (Perpres) mengenai KLA.

Melalui kebijakan ini, pemerintah daerah didorong untuk meningkatkan pembangunan berbasis Hak Anak. Ada 24 Indikator untuk mewujudkan KLA, salah satunya adalah pengendalian tembakau melalui kawasan tanpa rokok (KTR), serta pelarangan iklan, promosi, dan sponsor rokok. Hal ini akan mendorong setiap daerah di Indonesia untuk membatasi rokok.

Hingga saat ini, 389 kabupaten/kota di seluruh Indonesia telah menginisiasi menuju KLA dan hampir separuhnya telah memiliki regulasi terkait pengaturan rokok.

Terdapat lima target strategi kebijakan KLA, terkait pengendalian rokok, yaitu langsung ke anak, dengan melatih Forum Anak (FA) menjadi Pelopor dan Pelapor (2P), melalui keluarga dengan dibangunnya Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA), melalui Sekolah, dengan kebijakan Sekolah Ramah Anak (SRA); melalui lingkungan dimana ruang2 publik juga merupakan KTR, serta melalui Daerah dengan mendorong terwujudnya KLA.

Porgram KLA ini diharapkan dapat mewujudkan pembangunan berkelanjutan (SDG’s) dan Indonesia Layak Anak di pada 2030 mendatang. (asr)