Mengapa Kim Jong-Un Berputar Haluan?

Tang Hao

Sebagaimana diketahui Kim Jong-un pernah mengatakan, kepercayaannya kepada Presiden AS Trump tidak pernah goyah. Bahkan ia ingin mewujudkan denuklirisasi Korea dalam masa jabatan kepresidenan Trump yang pertama. Ada apa yang terjadi dengan Kim?

Pertama, masyarakat internasional telah memberlakukan sanksi ekonomi yang paling berat sepanjang sejarah bagi Korut, masih berlaku sampai sekarang. Pemerintahan Kim Jong-Un merasakan tekanan yang amat besar; walaupun Rusia dan RRT diam-diam menyelundupkan sumber daya alam untuk memberikan bantuan, tapi masih tidak cukup memenuhi kebutuhannya.

Selama ini suara tentangan rakyat semakin meninggi, mungkin bisa berakibatkan berkobarnya perlawanan di dalam negeri Korut. Apalagi baru-baru ini di DK PBB, Rusia juga diungkap oleh AS telah melanggar kesepakatan PBB dengan diam-diam membantu Korut dan dikritik keras.

Kedua, Xi Jinping tidak menghadiri peringatan 70 tahun berdirinya Korea Utara, melainkan mengutus Li Zhanshu menghadirinya agar tidak menyinggung pihak AS, menunjukkan pihak PKT sudah mulai gentar terhadap serangan beruntun oleh Trump, dan Korut memperhatikan hal ini.

Ketiga, meriam perang dagang AS-RRT kian hari kian sengit, walaupun di mulut PKT menyatakan akan “gigih bertahan sampai akhir”, “RRT pasti menang”, namun kondisi sesungguhnya di masyarakat justru merefleksikan kondisi perang yang sebaliknya.

Banyak perusahaan ramai-ramai “beri suara dengan kaki” yakni, meninggalkan RRT atau mengalihkan produksinya, menunjukkan masa depan RRT sangat tidak menjanjikan; ditambah lagi Eropa dan Amerika tengah aktif terhubung mengepung Beijing. Selama ini PKT tidak hanya sulit bertahan, apalagi harus melindungi adik kecilnya Korea Utara.

Keempat, sejak Trump menjabat, kekuatan ekonomi maupun militer AS telah kembali menguat, pihak AS baru-baru ini semakin mengeras terhadap sikap RRT. Namun Beijing justru melepaskan sinyal bermusuhan lewat media massa ofisialnya, mencerca dan menantang, tidak hanya tidak membantu meredakan hubungan AS-RRT, bahkan semakin mengundang AS membalas dengan lebih banyak sanksi.

Oleh sebab itu, Korut mungkin ingin menjaga jarak dengan RRT, agar terhindar dari kobaran api perang yang akan berdampak buruk padanya.

Kelima, sejak pertemuan Trump-Kim bulan Juni lalu, Kim Jong-Un masih belum juga mewujudkan janji denuklirisasinya, walaupun AS tidak senang. Namun Trump masih menjaga niat baik kepada Kim Jong-Un, dan belum melontarkan kritik terhadap pribadinya. Ini mungkin membuat Kim Jong-Un merasakan bedanya Trump dengan politikus lain, yang memang berniat membantu Korut memperbaiki ekonominya.

Manfaatkan Korut Sebagai Pendongkrak, Kim Jong-Un Tawar Trump

Lalu apakah Kim Jong-Un memutuskan akan mengikuti langkah Trump tanpa syarat? Tidak juga. Ia masih menggunakan beberapa kartu diplomatiknya, diam-diam adu tawar dengan AS.

Meninjau interaksi AS-Korut baru-baru ini, Korut hampir selalu bernegosiasi dengan Korsel sebagai media, dan tidak secara langsung berhubungan dengan AS.

Korut tahu kemampuan negara dan modalnya terbatas, oleh sebab itu mencari Korsel berunding dengan AS, agar AS mau tidak mau mempertimbangkan sikap dan kepentingan Korsel selaku sekutunya, sehingga tidak terlalu keras terhadap Korut saat berunding.

Yang lebih layak diperhatikan adalah, pada pertemuan Trump-Kim, salah satu konten yang disepakati oleh Trump dan Kim Jong-Un adalah Korut “berjanji akan berupaya melakukan denuklirisasi total di Semenanjung Korea.”

Pemerintah Trump pun langsung menanggapi, hanya jika Korut telah mewujudkan “denuklirisasi secara menyeluruh, terbukti, dan tidak terulang kembali (CVID)”, maka segala sanksi ekonomi terhadap Korut baru akan dicabut.

Tapi Kim Jong-Un justru memanfaatkan Pertemuan Moon-Kim ini untuk menyatakan hanya jika pihak AS mengambil tindakan dan mengalah secara bersahabat, Korut baru akan selamanya membongkar instalasi nuklirnya.

Jelas di sini Kim Jong-Un secara “cerdik” menggunakan cara negosiasi pihak ketiga, dari jauh tawar menawar dengan AS, diam-diam ingin mengubah isi kesepakatan yang sejak awal telah disepakati kedua pihak.

Kim Jong-Un ingin pihak AS “mengalah”, mengapa? Ada dua hal: meredakan atau mencabut sanksi ekonomi terhadap Korut, dan juga menandatangani “Kesepakatan Akhir Perang Korea”.

Hal pertama adalah agar ekonomi Korut bisa bernafas lega sedikit, dan hal kedua adalah agar Korut mendapat janji AS “tidak melakukan aksi militer”, untuk dijadikan “kartu bebas mati” bagi Korut.

Apakah Trump akan menerima tawaran Kim Jong-Un, saat ini belum diketahui.

Trump Ciduk Dalang Perompak, Goyahkan Konspirasi Ganda RRT-Korut

Kala rezim keluarga Kim kerap ingkar janji dan kebohongan rezim komunis yang telah menjadi kebiasaan, kali ini Kim Jong-Un kembali menjanjikan denuklirisasi, apakah pada akhirnya akan terwujud, atau hanya memanfaatkan “denuklirisasi” untuk menipu dicabutnya sanksi dan janji menghentikan perang, segala kemungkinan masih bisa terjadi, masih perlu terus diamati.

Akan tetapi, kartu militer dan kekuatan ekonomi Trump kali ini yang kuat, dibantu dengan teknik negosiasinya yang sulit diprediksi dan perang psikologi, memang telah mendatangkan tekanan luar biasa besar bagi RRT maupun Korut, bisa dikatakan ini adalah sebuah “shock therapy” bagi keduanya.

Selain itu, Trump tidak hanya mulai membongkar “konspirasi ganda RRT-Korut”, juga langsung menohok titik kelemahannya dengan memfokuskan pada ekonomi, dagang dan diplomatik untuk ‘membombardir’ PKT, menangkap perompak harus menciduk dedengkotnya lebih awal.

Lalu memberikan ancaman sekaligus juga tekanan bagi Korut secara bersamaan, memancing dengan niat baik, akhirnya berhasil membongkar struktur konspirasi komunis yang selama bertahun-tahun telah membodohi masyarakat internasional.

Kemudian, janji denuklirisasi Korut apakah benar-benar akan diwujudkan, bagaimana mewujudkannya, Trump dan Kim apakah akan bertemu kembali, apakah struktur konspirasi RRT-Korut akan dibongkar tuntas, ini tergantung bagaimana pemerintahan Trump mengeluarkan jurus-jurusnya. (SUD/WHS/asr)