Kolombia Menangung Beban Berat Akibat Krisis Eksodus Venezuela

EpochTimesId — Norelia Perozo tidak pernah berharap berada di jalanan untuk menjual lolipop. Pekerjaan yang terpaksa dia lakukan agar dapat memberi makan bayinya yang baru berusia 1 tahun.

Namun, 50.000 peso Kolombia (17 dolar AS) yang bisa dia hasilkan pada satu hari yang baik, jauh lebih banyak daripada upah minimum di negara asalnya, Venezuela.

Seperti ribuan orang Venezuela lainnya yang menyeberangi perbatasan setiap hari, Perozo, 32, melarikan diri dari negaranya yang diperintah oleh rezim sosialis. Pemerintah yang telah menghasilkan hiperinflasi, kekurangan makanan, dan kejahatan yang melonjak, untuk mencari kehidupan yang lebih baik di negara tetangga, Kolombia.

“Saya tidak pernah membayangkan bahwa saya akan berada di jalan setiap hari,” kata ibu empat anak, yang tiga anaknya yang lain masih berada di Venezuela, mengatakan kepada The Epoch Times. “Mungkin karena keluarga saya perlu makan. Jadi saya di sini setiap hari, Senin hingga Minggu.”

Perozo dan putrinya Arantza adalah sekeping bagian dari tragedi, yang tepatnya, tidak ada habisnya, yaitu Venezuela. Badan pengungsi PBB mengatakan bahwa lebih dari 1,6 juta orang Venezuela telah meninggalkan negara mereka sejak 2015.

Sekitar 90 persen dari mereka pergi ke negara lain di Amerika Selatan. Sisanya pergi ke Amerika Serikat.

Seorang pria migran Venezuela dan seorang gadis di kamp improvisasi dekat terminal bus di Bogota, Kolombia, pada 11 September 2018. (Raul Arboleda/AFP/Getty Images)

Dan sejauh ini adalah pilihan termudah adalah menetap di negara tetangga, Kolombia. Mereka kemudian mencari pekerjaan di salah satu kota besar.

“Mereka (orang Kolombia) sangat membantu dan ramah,” kata Perozo, yang sebelumnya memiliki usaha menjual pakaian di kotanya, Valencia, ketika ditemui di sebuah kafe di Medellín, kota terbesar kedua di Kolombia.

“Hampir setiap hari seseorang akan membelikan saya makan siang dan memberikan makanan kepada putri saya.”

Namun, Kolombia kini sedang berjuang mengatasi imbas krisis eksodus Venezuela tersebut.

Pada hari Jumat, 28 September 2018, Presiden Kolombia yang baru terpilih, Iván Duque, mengatakan bahwa krisis migrasi merugikan negaranya sekitar 0,5 persen dari produk domestik bruto tahunan, per tahun, atau sekitar 1,5 miliar dolar AS.

Pada bulan Juni, pemerintah Kolombia mengatakan bahwa lebih dari 1 juta orang Venezuela telah memasuki negara itu selama 14 bulan. Diperkirakan ada 4.000 orang membanjiri perbatasan Venezuela-Kolombia setiap hari.

Para migran Venezuela melihat lowongan kerja yang dipasang di papan selama bursa kerja di Medellin, Kolombia, pada 27 September 2018. (Joaquin Sarmiento/AFP/Getty Images/The Epoch Times)

Banyak yang tiba di Kolombia tanpa membawa dokumen dan melintasi perbatasan secara ilegal. Perozo adalah salah satunya. Setelah tiba di kota perbatasan Cúcuta yang berdebu, dia menghadapi perjalanan tiga hari yang melelahkan ke kota Medellín, di mana dia kini tinggal selama tiga bulan terakhir.

Tiga anak Perozo lainnya tinggal bersama ibunya di Valencia, kota terbesar ketiga di Venezuela. Dan sekarang dia mengirim uang setiap minggu agar mereka bisa makan.

“Saya ingin bekerja untuk membantu keluarga saya. Anda tidak dapat menghasilkan uang di sana [di Venezuela]. Jika saya bekerja di sini, saya dapat mengirim uang ke rumah,” kata Perozo.

“Sangat sulit untuk sampai di sini, perjalanannya sulit dengan Arantza. Tapi sekarang kita bisa makan, dan begitu juga keluarga kami di rumah.”

Perozo mengklaim bahwa uang yang dapat dia hasilkan dalam sehari di Kolombia dapat memberi makan keluarganya selama hampir dua minggu di Venezuela.

Untungnya, dia bukan salah satu dari banyak orang Venezuela yang dipaksa bekerja di ‘industri-seks’, untuk melewati situasi yang biasa dihadapi oleh sesama warga negaranya.

 

Venezuela yang dilanda krisis, sebelumnya salah satu negara terkaya di Amerika Latin. Pemerintahan sosialis di bawah diktator Hugo Chávez, dan penggantinya Nicolas Maduro, telah menghadapi keruntuhan ekonomi.

Negara ini sekarang memiliki inflasi tertinggi di dunia, dengan sekantong bahan makanan seharga lebih dari upah minimum bulanan. Banyak yang kehilangan berat badan, termasuk Perozo, dan orang-orang menjadi sakit karena kekurangan obat.

Kejahatan telah meroket juga, dan Caracas sekarang adalah ibu kota paling kejam di dunia. Kondisi ini telah memaksa orang-orang Venezuela melarikan diri dari negara itu, untuk mencari kehidupan yang lebih baik di tempat lain.

“Jika dia (Maduro) dan pemerintahannya tetap berkuasa, itu (ekonomi negara) hanya akan menjadi lebih buruk,” kata Perozo.

Dukungan AS

Presiden Nicolas Maduro, seringkali tetap tidak peduli dengan krisis. Dia menyalahkan perang ekonomi yang dilancarkan oleh Amerika Serikat sebagai ‘kambing hitam’.

Pada akhir September, Maduro melakukan kunjungan mendadak ke PBB. Dia menyampaikan pidato di Majelis Umum, dan mengklaim krisis negara itu telah dibesar-besarkan oleh media untuk menggulingkan pemerintahan sosialisnya.

Pemimpin PBB, Antonio Guterres dan pemimpin Kolombia sudah setuju untuk membentuk badan penggalangan dana multilateral guna membantu Kolombia dan negara-negara tetangga lainnya dalam menangani pengungsi Venezuela yang terlantar.

Presiden AS, Donald Trump juga bertemu dengan pemimpin Kolombia di New York pada pertemuan PBB. Mereka mendiskusikan situasi krisis pengungsi Venezuela.

Trump mengatakan kepada wartawan bahwa apa yang terjadi di Venezuela adalah ‘aib. Dia mengatakan akan ‘mengurus’ negara itu.

Kolombia memutuskan hubungan diplomatik dengan tetangganya itu, bertahun-tahun lalu. Ketegangan memuncak ketika pasukan Venezuela melintasi perbatasan beberapa kali, dan Maduro menuduh Duque Kolombia merencanakan penggulingan dirinyanya.

Namun pertikaian diplomatik semacam itu tidak terlalu diminati oleh warga biasa seperti Perozo, atau sejumlah warga Venezuela lainnya. Mereka lebih tertarik untuk menjual lolipop, kembang gula, atau bahkan koleksi uang bolivar mereka yang tidak bernilai, sebagai souvenir di jalanan Medellín.

“Kami hanya ingin hal-hal menjadi stabil lagi,” katanya.

Perozo mengatakan dia tidak memiliki paspor, dan menyadari kemungkinan untuk tidak bisa kembali ke Venezuela selama dua atau tiga tahun. Dia hanya dapat tetap berhubungan dengan keluarganya di Venezuela dengan menggunakan WhtasApp.

“Memang sulit, tapi apa lagi yang bisa kami lakukan?” (Mathew Di Salvo/The Epoch Times/waa)