Keamanan Andalkan AS, Uang Andalkan Tiongkok, Jepang Tak Bisa Miliki Keduanya

Zhao Bin

Tanggal 27 Oktober pasca perundingan pemimpin Jepang dan RRT, dalam konferensi pers kedua belah pihak menyatakan hubungan kedua negara akan melangkah menuju “tahapan baru”, media massa corong PKT juga yang sebelumnya selalu mempropagandakan anti Jepang, kini banting setir menyebutkan RRT dan Jepang “saling menghormati dan eksis bersamaan”, namun media massa Jepang berpendapat “tahapan baru” RRT-Jepang ini adalah “mimpi berbeda di ranjang yang sama”.

Pakar mengatakan “Perang Dingin RRT-AS” telah dimulai, AS memanfaatkan perang dagang sebagai momentum untuk mengepung RRT, bagi Jepang dan Korea Selatan, era dimana “keamanan mengandalkan AS, tapi mencari uang pergi ke RRT” akan segera berakhir, Jepang harus menyatakan sikap di antara konflik RRT-AS.

Jepang harus merelakan kepentingan ekonomi dengan Beijing, mengingat hikmah PD-II akibat salah memilih teman sekutu.

Strategi Terhadap RRT, Jepang & AS Tidak Sejalan

Selama 4 bulan setelah dimulainya Perang Dagang AS-RRT, seputar masalah strategi dalam berurusan dengan RRT, baik Jepang maupun AS telah melakukan penyesuaian besar.

Amerika “dari bekerjasama beralih menjadi konfrontasi”, sedangkan dalam kunjungan ke RRT kali ini Abe menjelaskan kebijakan terhadap RRT beralih “dari berkompetisi berubah menjadi bekerjasama”, kedua negara sekutu tidak berjalan di jalur yang sama.

Karena terdesak tekanan dari kalangan industri Jepang yang berupaya memperluas investasi di pasar Tiongkok, Shinzo Abe menempuh strategi “politik dan ekonomi terpisah”, yakni dalam hal keamanan berlawanan dengan RRT, tapi tidak demikian dalam hal ekonomi.

Akan tetapi surat kabar Jiji Press Jepang memberitakan, dalam perang dagang AS-RRT, PKT sangat membutuhkan negara ekonomi ketiga terbesar dunia yakni dalam hal “teknologi dan modal dari Jepang”.

Walaupun kedua negara berusaha menciptakan suasana saling berkunjung pemimpin kedua negara tahun depan, namun keduanya sepertinya telah menghindari masalah konfrontasi di Kepulauan Senkaku (Diao Yu), Laut Timur dan konflik sejarah, tahapan baru antara RRT-Jepang hanyalah “mimpi yang berbeda di ranjang yang sama”.

Komentator militer sekaligus penasihat AL Amerika merangkap penasehat strategi keamanan bernama Jun Kitamura mengatakan, tanggal 4 Oktober lalu Wapres AS Pence dalam pidatonya mengumumkan terjadinya perubahan besar strategi terhadap RRT, dan menunjukkan sikap bertikai dengan pemerintah Beijing dalam hal ekonomi, militer dan berbagai aspek lainnya, dengan demikian ‘Perang Dingin AS-RRT’ telah dimulai. “

Di internal AL Amerika merasa khawatir akan perubahan sikap ‘negara sekutu’ Jepang,” Ujar Kitamura.

Kitamura menyatakan, di masa “Perang Dingin AS-Soviet”, garis depan perang dingin adalah Benua Eropa, sedangkan Jepang berada di “sisi tepi” atau “samping” perang dingin; sementara konfrontasi militer “perang dingin RRT-AS” terpusat di perairan Laut Tiongkok Selatan, Laut Taiwan dan sekitarnya, dalam hal ini Jepang berada di “garis depan”.

Aliansi Jepang, Filipina dan lain-lain akan menjadi wilayah penopang utama yang terjamin bagi AL Amerika Serikat. Kitamura berkata, “Terhadap perubahan sikap rezim Abe dalam hal kebijakan pada RRT‘ dari bersaing berubah menjadi bekerjasama’, Amerika pasti akan memiliki kebijakan tak terduga yang akan dapat membuat kedua negara melangkah bersama lagi.” Pungkas Kitamura.

Jepang Seharusnya Mengingat Pelajaran Salah Memilih Teman Sekutu PD-II

Menurut Jun Sakurada, pakar politik yang juga dosen dari Toyo Gakuen University, sebagai sekutu Amerika, Jepang dan Korsel seharusnya telah menyadari, AS telah melontarkan sinyal: era di mana “keamanan mengandalkan AS, mencari uang pergi ke RRT” sudah berakhir, hanya bisa memilih salah satu. Sakurada mengatakan, di masa perang dingin AS-Soviet, Jepang sebagai sekutu Amerika dengan sendirinya berpihak di sisi AS.

Dan, sekarang ‘perang dingin kedua’ telah dimulai, Jepang harus memutus kepentingan ekonomi dengan Beijing. Dalam pidatonya Pence mengungkit soal zona India-Pasifik yang akan menjadi zona pengembangan kerjasama baru di wilayah Asia Pasifik.”

Karena awalnya “strategi India-Pasifik yang bebas terbuka” adalah usulan Shinzo Abe untuk melawan meluasnya “One Belt One Road” yang diusung oleh PKT, sekarang Amerika berusaha keras meluaskannya, tidak diragukan merupakan sinyal kekompakan terhadap Abe.

“Jepang menghadapi pilihan antara RRT atau Amerika, sekarang adalah waktunya untuk menentukan ‘poros’ diplomatik Jepang,” tegas Jun Sakurada.

Tanggal 10 Oktober lalu, pakar strategi merangkap konsultan pertahanan AS yakni Edward Nicolae Luttwak saat berkunjung ke Jepang, lebih lanjut mengisyaratkan tren jangka panjang ‘Perang Dingin RRT-AS’.

Saat diwawancara surat kabar New York “Daily News” ia mengindikasikan tanda berakhirnya perang dagang RRT-AS, “Perang dagang ini akan berlangsung sampai rezim PKT runtuh, jika tidak AS tidak akan berhenti.”

Atas pernyataan Edward tersebut, komentator politik ekonomi Yoshinori Kitano menyatakan, “Perang Dagang RRT-AS sedang sengit-sengitnya, Jepang tidak mungkin hanya berpangku tangan saja, Jepang tidak bisa menghindari harus menyatakan sikap. Jepang seharusnya mengingat pelajaran pada perang dunia kedua, salah memilih Jerman sebagai teman sekutu.”

PKT Tengah Ikuti Jejak Kehancuran Uni Soviet

Menurut analisa Kitano, Perang Dagang RRT-AS tengah mengarahkan PKT menapaki jalan keruntuhan Uni Soviet dulu. Ia berkata, pasca PD-II, Uni Soviet menyusupi Eropa Timur dengan sistem kediktatoran komunismenya, dan mengancam sistem kebebasan demokrasi di Eropa dan Amerika.

Waktu itu pertumbuhan ekonomi Uni Soviet setiap tahun mirip dengan RRT sekarang ini, sekitar 6% per tahun, dan dalam bidang militer mampu bersaing dengan Amerika. Di era tahun 80an abad lalu, Presiden AS Ronald Reagan menyebutnya “kekaisaran sesat”, dan memulai aksi meruntuhkan Uni Soviet dengan cara ekonomi.

Waktu itu AS bekerjasama dengan Saudi Arabia yang meningkatkan produksi minyak buminya dan mengakibatkan harga minyak anjlok, sehingga mengguncang perekonomian Uni Soviet yang mengandalkan ekspor minyak bumi.

Di saat yang sama Uni Soviet juga diseret ke dalam persaingan persenjataan, yang menjatuhkan Uni Soviet secara ekonomi dan pada akhirnya mengarah pada keruntuhan Uni Soviet.

Kitano menyatakan, melihat nasib yang menimpa kakak tertua kubu komunis Uni Soviet, pelajaran yang bisa dikutip PKT dari keruntuhan Uni Soviet adalah: pengendalian erat bidang ekonomi dan pengawasan ketat opini publik.

Namun hakikat dari ekonomi RRT merupakan ekonomi terencana, bertahun-tahun BUMN dibiarkan berhutang besar, hingga akhir tahun 2017, hutang BUMN telah mencapai 159%, hutang rumah tangga juga meningkat sampai 107.2% dari pendapatan.

Selain itu, kebijakan prioritas militer telah mengakibatkan anggaran militer membengkak; di sisi lain, diplomasi tebar uang di Afrika dan kredit macet dari proyek “One Belt One Road” yang kurang transparan.

Kitano berkata, “Saat ini, Perang Dagang AS-RRT menyebabkan ekonomi RRT memburuk, masalah ekonomi yang terakumulasi bertahun-tahun akan meledak, situasi ini sangat menyerupai Uni Soviet yang saat itu ekonominya mengalami Waterloo yang pada akhirnya menyebabkan runtuhnya Uni Soviet, kini PKT sedang menapak jalan kehancuran Uni Soviet kala  itu.” (SUD/WHS/asr)

Artikel Ini Diterbitkan di EpochWeekly