Betulkah Kemerosotan di Tiongkok Akibat Moralitas Kaum Perempuannya?

Yuan Bin

“Sekarang seluruh negeri Tiongkok merosot akibat kaum wanitanya merosot”. Begitulah yang disampaikan oleh CEO New Oriental Education & Tech. Group Inc. di Beijing yakni Yu Minhong dalam pidato di forum “2018 Learning Conference” tanggal 18 November lalu, yang begitu dipublikasikan di akun Wechat tidak hanya disebar-luaskan, juga memicu gelombang opini mengecam dan dituding diskriminasi terhadap wanita.

Walaupun dikatakan kemerosotan seluruh negeri Tiongkok dituding akibat kemerosotan kaum hawa adalah konyol, namun kenyataan bahwa seluruh negeri Tiongkok sekarang ini telah merosot seperti yang dikatakan Yu Minhong memang tidak salah juga.

Sejak zaman dulu kala bangsa Tionghoa dikenal sebagai bangsa dengan berbudi luhur dan mengutamakan moralitas. Akan tetapi sejak reformasi keterbukaan 40 tahun terakhir, perekonomian berkembang pesat, namun moralitas justru merosot tajam.

Saat kinerja ekonomi telah melonjak hingga posisi kedua terbesar dunia, kriteria moral warga Tiongkok justru telah merosot ke titik terendah sepanjang sejarah.

Meninjau seluruh daratan Tiongkok saat ini, norma tradisi dan etika seperti: menghormati manula – mencintai anak-anak, jujur – bisa dipercaya, senang menolong sesama, berani membela keadilan, suka menolong dan patriotis, tidak hanya kian lama kian hilang tak berbekas, bahkan hal negatif dan sesat seperti: memuja uang, mengumbar nafsu, mengejar keuntungan semata, maksiat, sewenang-wenang, penipuan, kehilangan integritas, hoax betebaran, KKN, tanpa nurani, tak tahu malu, etika yang terbalik dan lain-lain telah semakin memenuhi setiap rongga kehidupan masyarakat.

Kemerosotan moral seperti ini tidak hanya merusak satu atau beberapa kelompok masyarakat saja, melainkan telah merasuk ke seluruh bangsa.

Ada yang bahkan segala kejahatan dilakukannya, begitu buruknya sampai-sampai tidak layak lagi disebut sebagai manusia. Persis seperti yang dikeluhkan banyak orang saat ini: “Bangsa Tiongkok tengah menghadapi krisis moral yang belum pernah ada sebelumnya!”

Lalu apa sebenarnya yang menyebabkan kemerosotan moral ini? Apakah benar karena kemerosotan kaum wanita? Sama sekali bukan!

Pertama, di zaman sekarang ini memang banyak akhlak kaum wanita di Tiongkok yang telah merosot, tapi apakah itu berarti kaum prianya tidak? Sama saja.

Kedua, baik kemerosotan kaum pria maupun kemerosotan wanita bukanlah fenomena terisolasi, bukan terjadi tanpa sebab, melainkan karena seluruh masyarakat Tiongkok yang menjadi pemicunya, lebih tepat lagi dikatakan, adalah partai tunggal diktator komunis yang menyebabkannya.

Setelah PKT (Partai Komunis Tiongkok) berkuasa, theisme dan agama telah dicap sebagai takhyul, komunisme yang memusuhi Tuhan dan ajaranNya pun dijadikan ideologi yang wajib dipuja oleh semua lapisan masyarakat, atheisme disebarluaskan. Begitu pula propaganda tidak ada Tuhan, tidak ada Buddha dan Taoisme, tidak ada karma dan tumimbal lahir, seluruh akar pondasi moralitas dan norma bangsa Tionghoa dipenggal.

Di atas pondasi ini, PKT menggantikan perikemanusiaan dengan sifat partainya, dibangunlah amoral berdasarkan seperangkat ideologi “moral ala komunisme”, yang tidak hanya telah menginjak dan merusak sifat manusia yang baik, tapi juga memanfaatkan sisi lemah pada manusia untuk memperbesar keburukan sifat manusia.

Walhasil, moralitas tidak hanya merosot di zaman Mao Zedong, tapi juga menanamkan akar pemicu kemerosotan moral pasca Revolusi Kebudayaan.

Setelah reformasi keterbukaan, untuk menyelamatkan krisis kekuasaannya sendiri, PKT beralih membangkitkan “ekonomi pasar berbasis sosialisme”. Yang dimaksud ekonomi pasar berbasis paham sosialis, sebenarnya adalah ekonomi pasar berbasis kekuasaan, dengan kata lain seperti yang kerap dikatakan masyarakat sebagai kapitalisme kaum penguasa, atau kapitalisme birokrat.

Walaupun selalu dilabel dengan ekonomi pasar, namun pada dasarnya sangat berbeda dengan ekonomi pasar dalam arti sesungguhnya yang diterapkan di negara maju.

Dalam hal pandangan nilai masyarakat, ekonomi pasar yang sesungguhnya adalah berprinsip pada pedoman etika untuk diri sendiri dan menguntungkan orang lain. Konsep ini penuh dengan rasionalisme dan kepentingan materi pribadi, di saat yang sama juga menuntut seseorang agar tidak merugikan orang lain dan masyarakat hanya demi mengejar keuntungan, dan pengejaran keuntungan ini harus selalu berada dalam batasan moral dan hukum.

Sedangkan ekonomi pasar berbasis kapitalisme kekuasaan di RRT ini walaupun tampaknya tidak mengesampingkan moral dan etika bahkan kerap menyerukan moralitas tinggi.

Namun sesungguhnya pada praktiknya selalu mengacu pada uang semata, selalu demi memuaskan keinginan pribadi, bisa menghalalkan segala cara, kepentingan masyarakat dan orang lain seluruhnya dikesampingkan, bahkan moral dan hukum pun tidak dipedulikan lagi.

Bisa disimpulkan, ekonomi pasar yang sebenarnya dilakukan sesuai dengan kepentingan pribadi yang rasional, sedangkan ekonomi pasar berbasis kekuasaan dilakukan berdasarkan kepentingan pribadi yang ekstrim.

Masyarakat Tiongkok sekarang ini, ketika ditanya ‘apa agama/kepercayaan Anda?’, banyak orang akan menjawab, “Saya tidak percaya apa pun, tidak percaya Tuhan juga tidak percaya surga dan neraka, juga tidak percaya komunisme, saya hanya percaya diri sendiri, percaya pada uang.”

Coba bayangkan, seorang yang tidak percaya apa pun, hanya percaya diri sendiri dan uang, sebuah negara dan bangsa yang memuja paham kepentingan pribadi ekstrim sebagai pedoman hidupnya, bagaimana mungkin moralitasnya tidak merosot sedemikian tajam?!

Kembali ke topik pembicaraan Yu Minhong tadi, saat mengemukakan teorinya yang mengatakan “Sekarang seluruh negeri Tiongkok merosot akibat kaum wanita yang merosot” itu juga dia jabarkan sebuah contoh, “Jika saat mencari pasangan hidup pria, setiap wanita mengajukan kriteria seorang pria harus mumpuni dalam ilmu sastra Dinasti Tang dan Dinasti Song, maka semua pria di seluruh dataran Tiongkok akan bisa menghafalkan sajak dan puisi zaman Dinasti Tang dan Dinasti Song di luar kepala.

Jika setiap wanita menuntut seorang pria harus bisa menghasilkan uang banyak tanpa peduli hati nuraninya, maka semua pria di seluruh dataran Tiongkok akan mencari banyak uang tapi tidak memiliki hati nurani. Inilah kriteria wanita Tiongkok dalam hal mencari pasangan hidup pria.”

Memang benar, banyak kaum wanita zaman sekarang saat memilih pasangan lebih menitikberatkan kemampuan ekonomi seorang pria, tidak lagi peduli akan kepribadian, atau hati nuraninya.

Namun kaum wanita di Tiongkok sebelumnya tidak seperti itu, dan kini menjadi seperti itu, bukankah karena PKT yang telah menghancurkan kebudayaan tradisional dan moralitas rakyat Tiongkok, sebagai akibat telah membudayakan segala sesuatu dinilai secara materi dan memuja kepentingan pribadi ekstrim?

Jadi, yang mengakibatkan “seluruh negara merosot” adalah diakibatkan oleh PKT, dan bukan karena kaum wanita di Tiongkok. Dalam hal ini, pernyataan Yu Minhong jelas telah mendiskreditkan kaum wanita, namun yang lebih salah lagi adalah karena telah membela PKT secara tidak langsung, walaupun ia mungkin saja tidak berniat seperti itu.(SUD/WHS/asr)

Artikel ini terbit di Epochtimes versi Bahasa Indonesia