Ketika Politik Ekonomi Komunis Tiongkok Memaksa Negara-negara Melawan HAM

Epochtimes.id. Sejumlah pelarian etnis Uighur yang sempat sementara bernafas lega dari keberutalan rezim komunis di Tiongkok akhirnya berhasil menyelamatkan diri ke luar negeri. Namun demikian, keberadaan mereka justru menjadi celaka. Mereka  dikirim kembali oleh negara tempat kedatangan mereka gara-gara politik ekonomi.

“Jadi, pengaruh politik ekonomi, dengan pemerintahan China saat ini sangat besar,” kata Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid dalam diskusi “Mengungkap Fakta Pelanggaran HAM Terhadap Etnis Uighur” di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (20/12/2018).

“Ditambah dengan dalih dalam mempersekusi orang-orang Uighur yang mana isunya sebagaimana negara barat ketika perang melawan terorisme menjadi dalih menyembunyikan praktek-praktek pelanggaran HAM oleh otoritas di Uighur sana,” tambahnya.

BACA JUGA : Kesaksian Etnis Uighur yang Lolos dari “Kamp Pendidikan Ulang” di Xinjiang

Usman mencontohkan insiden beberapa tahun silam seperti kejadian di Thailand. Ketika itu, kata dia, sebagaian etnis Uighur dikembalikan lagi ke Tiongkok. Bahkan, semua dituduh melakukan tindakan terorisme. Walaupun faktanya, 109 orang yang dituduh hanya 13 orang terbukti. Hingga akhirnya hanya terungkap terkait kasus pelanggaran hukum biasa.

Tak hanya Thailand, bahkan Vietnam beberapa tahun lalu turut mengembalikan 24 warga Uighur ke Tiongkok begitu juga terhadap Kamboja dan Laos.  Sebagaimana contohnya kamboja, bahkan mengembalikan 20 orang etnis Uighur, sebaliknya Rezim Hun Sen mendapatkan bantuaan 1,2 milyar dollar AS termasuk Vietnam ketika pernah diguyur bantuan pembelian kapal selam.

Usman menjelaskan, sejumlah negara-negara tersebut sebenarnya bisa menolak mengembalikan orang-orang Uighur ke negara permintaan. Apalagi, sudah dibenarkan jika berdasarkan hukum pengungsi internasional. Hal demikian dikarenakan, jika dikembalikan ke negara tujuan akan terancam penyiksaan atau hukuman mati.

“Kita punya hak menolaknya. Nah, ini terjadi kepada negara-negara Asia Tenggara mereka mengembalikan dengan begitu saja,” imbuhnya.

Sama halnya, kasus di Indonesia beberapa waktu lalu. Ketika itu, ingin dikembalikan ke Turki tapi ada dugaan terorisme hingga disidang di pengadilan Jakarta Utara. Walaupun saat di persidangan terungkap hanya berdasarkan bukti-bukti yang lemah.

Menurut Usman, ketika di Pengadilan Jakarta Utara, jelas tak terlihat semacam bukti kuat yang menyakinkan bahwa Uighur itu terhubung dengan teroris jaringan global sebagaimana dituduhkan rezim komunis Tiongkok.

Tak hanya itu,  saat persidangan etnis Uighur yang tertangkap di poso,  pemerintah Indonesia mengizinkan tiga orang dari aparat keamanan Komunis Tiongkok turut menghadiri persidangan terhadap empat orang Uighur tersebut.

“Kasus ini banyak terhadap warga Uighur terutama di Asia Tenggara, itu tantangan,” ujarnya.

Akan tetapi, kata Usman, Indonesia kini menjadi satunya-satunya harapan di antara negara-negara di Asia Tenggara. Hal demikian dikarenakan keberadaan Indonesia soal HAM masih cenderung lebih baik dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya.

Selain itu, Usman menuturkan pihaknya telah setuju menyurati Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi ketika terjadi penangkapan sewenang-wenang terhadap warga muslim Uighur di Xinjiang, Tiongkok.

BACA JUGA : Horor Kecanggihan Teknologi yang Mengubah Komunis Tiongkok Menjadi Kediktatoran Distopia Digital

Dia menegaskan pihaknya meminta pemerintahan Indonesia untuk mendesak pemerintah komunis Tiongkok mengambil langkah-langkah untuk melindungi warga Uighur. Bahkan, Amnesty International telah memberikan laporan-laporan tentang pelanggaran HAM Muslim Uighur.

Kebiasaan Komunis Tiongkok Menolak mentah-mentah

Bukan suatu hal yang baru ketika rezim Komunis Tiongkok atau Kedutaan Besar mereka  menolak secara mentah-mentah segala macam bentuk pelanggaran HAM yang dibuktikan faktanya kepada mereka.

Fakta yang terjadi, ungkap Usman, berulang kali selalu terjadi penolakan oleh Komunis Tiongkok seperti di pertemuan Badan-Badan HAM PBB. Parahnya, justru diserang Komunis Tiongkok dengan tuduhan-tuduhan politis ketika hasil investigasi dari profesor-profesor ini yang sebenarnya tak memiliki muatan politik sama sekali.

“Jadi saya tak terkejut sikap yang menyangkal dan memang selalu begitu, tak ada yang mereka lakukan kecuali menyangkal, kecuali mereka mau mengundang pelapor khusus PBB,” ujarnya.

Menurut Usman, bersamaan adanya pemerintahan yang selalu menyangkal soal kterlibatan mereka soal pelanggaran HAM, semestinya Indonesia tak bisa hanya berpuas diri dengan menganut prinsip tak ikut campur tentang persoalan negara lain.

Jika kemudian ternyata pemerintah Indonesia masih memegang erat prinsip ‘tak ingin mencampuri persoalan di negara orang lain’ maka langkah-langkah selanjutnya masih terlalu berat.

Usman mendorong Indonesia bisa lebih maju ke depan dalam diplomasi dan pemajuan terhadap HAM. Ditambah lagi, adanya sejumlah negara-negara yang masih tertutup di dunia pada saat ini.

Sebagaimana contohnya, soal pelanggaran HAM di Myanmar. Indonesia, kata Usman, pada kondisi ini hanya bicara tentang krisis HAM seperti pengungsian dan bantuan medis terhadap mereka.

Padahal, masih banyak krisis HAM yang perlu dimintai pertanggungjawaban terhadap pembunuhan, penyerangan, membumihanguskan etnis Rohingya. Oleh karena itu, sudah semestinya Indonesia ikut andil terlibat.

“Jadi, sekali lagi bukan hal yang mengejutkan kalau pemerintah China menyangkal pelanggaran HAM, sama seperti (pelanggaran) komunitas Falun Gong itu juga disangkal,” pungkas Usman. (asr)

Video Rekomendasi :