Tahun 2018, Mengapa Tiongkok Kehilangan AS? (2)

He Qinglian

Bagi yang memahami hubungan RRT-AS selama tiga dekade terakhir akan mengetahui bahwa kelompok pemeluk panda (pro Komunsi Tiongkok) adalah kekuatan politik di dalam negeri AS yang selama ini memprakarsai hubungan RRT-AS. Realita dimana para pemeluk panda ini begitu peduli pada Tiongkok, selalu bersikap bersahabat pada Beijing, apakah motivasinya hanya semata karena mereka memiliki kesan baik terhadap Tiongkok? Tentu saja tidak.

Dalam Jangka Waktu Panjang Pemeluk Panda Mendorong Hubungan Baik AS-Tiongkok

Di Amerika, setidaknya ada empat kekuatan yang memengaruhi kebijakan Gedung Putih terhadap RRT:

Yang pertama adalah Departemen Keuangan dan Departemen Perdagangan terkait dua pertimbangan utama negara yakni hubungan ekonomi dan perdagangan (pendukungnya adalah kalangan moneter dan pengusaha perusahaan multi-nasional), yang mewakili kebutuhan akan kepentingan AS yang berada di depan mata.

Kedua, diwakili oleh Kemenlu AS, sejak diplomatik HAM di masa pemerintahan Clinton, yang selalu berharap lewat cara ‘interaksi, kerjasama, lobi, pengaruh’ dapat mengarahkan Republik Rakyat Tiongkok memasuki tatatan masyarakat Barat.

Kedua kekuatan di atas setelah tokoh utamanya lengser dari jabatan kenegaraan, tidak sedikit di antara mereka yang kemudian masuk ke berbagai wadah pemikir dan ‘tim pelobi K-Street’ — ini yang membentuk kekuatan ketiga.

Kissinger Associates, Inc. yang sangat dikenal masyarakat Tiongkok, didirikan oleh mantan Menlu AS Henry Alfred Kissinger, orang yang direkrutnya tidak sedikit adalah pejabat diplomatik yang telah pensiun, di antaranya termasuk mantan Dubes AS untuk RRT yakni J. Stapleton Roy, penasihat keamanan nasional Presiden Bush senior yakni Brent Scowcroft (yang kemudian mendirikan perusahaan konsultannya sendiri), mantan Menlu AS Lawrence Sidney Eagleburger dan lain sebagainya. Fenomena seperti ini di Amerika disebut sebagai ‘pintu putar’ (revolving door, Red.).

BACA JUGA :  Tahun 2018, Mengapa Tiongkok Kehilangan AS?

Kondisi di atas agak membaik setelah Trump menjadi presiden: tahun 2014, 16% dari senator yang telah pensiun memilih menjadi pelobi, sebanyak 13% menetap di Washington DC, dan 2% kembali ke domisilinya untuk menjadi pelobi. Karena di masa kampanye Trump telah berjanji akan “mengeringkan rawa Washington”, 5 tahun setelah pensiun, mantan pejabat AS tidak diperbolehkan bekerja sebagai pelobi (aturan sebelumnya 2 tahun), dan seumur hidup dilarang menjadi pelobi bagi pemerintah asing.

Senator yang pensiun di tahun 2016 yang memilih tetap tinggal di Washington DC hanya 5%, dan yang memilih pelobi turun hingga 8%, sementara yang kembali ke daerah asal menjadi pelobi hanya 3% — ini hanya sedikit mengusik keju dari kalangan pendiri dari kedua partai maupun pejabat pemerintahan, namun sempat memicu reaksi keras, inilah alasan kelompok elit dari kedua partai serempak berniat ‘menggulingkan’ Trump di tahun 2020 mendatang.

Demikian halnya pejabat tinggi pemerintahan, dari pemerintahan Presiden Bush junior, ada Menlu Condoleeza Rice, penasehat keamanan nasional Stephen Hadley dan juga Menhan Robert Gates segera mendirikan perusahaan setelah pensiun.

Seperti mantan ketua Komisi Alokasi Anggaran di DPR juga ketua Komisi Nasional Partai Republik setelah mundur dari jabatan mendaftarkan perusahaan pelobinya sendiri, lalu beralih melakukan pekerjaan melobi dengan mantan rekan kerja lama ataupun mantan bawahan mereka sendiri.

Ketiga kekuatan ini ditambah dengan tokoh kalangan bisnis yang berinisiatif bersinggungan dengan kebijakan, dan para “juluran tangan RRT” (China Hands, Red.) — China Hands termasuk pakar dari kalangan akademisi, pers, riset kebijakan dan pakar masalah Tiongkok dari institusi konsultan, mereka berinisiatif meningkatkan interaksi dengan Beijing untuk memengaruhi RRT, menerapkan ‘perubahan yang damai’, membuat ideologi RRT dan nilai universal. Termasuk sistem sosialnya menjadi mendekati Amerika Serikat, sehingga dapat mengurangi kemungkinan RRT akan memusuhi AS setelah menjadi kuat.

Kalangan ini dulunya dijuluki sebagai ‘kaum penghubung’ di masa pemerintahan Bush senior, lalu di masa pemerintahan Clinton dan Bush junior karena kelompok ini cenderung bersahabat dengn Beijing, sehingga dinamai ‘kalangan pemeluk panda’. Di masa jaya kelompok ini, bagi siapa yang mengkritik mereka, dipastikan akan menuai serangan gencar.

Tahun 2007, di forum “Far Eastern Economic Review” seorang ekonom sekaligus dosen ilmu sosial dari Hong Kong Science and Technology University bernama Carsten A. Holz pernah mempublikasikan artikel berjudul “Apakah Akademisi Yang Meneliti Tiongkok Telah Disuap?”, artikel itu menyebutkan, “Para akademisi yang melakukan riset terhadap Tiongkok, termasuk penulis sendiri, telah terbiasa mengambil hati PKT, terkadang secara disadari dengan jelas, terkadang tanpa disadari.

Motivasi melakukan ini adalah menyesuaikan dengan lingkungan tempat kita eksis ini, kita melakukan berbagai cara berikut ini untuk mengambil hati PKT: Seperti memberikan sejumlah topik riset atau tidak melakukan topik riset tertentu, melaporkan sejumlah fakta namun mengabaikan sejumlah fakta lainnya, bahasa yang kita gunakan, apa yang kita ajarkan, dan bagaimana kita mengajarkannya.”

Artikel ini telah menyinggung syaraf yang menyakitkan di kalangan peneliti Tiongkok global, saya pernah menyaksikan sendiri penulis tersebut dikecam dan dicemooh di forum diskusi China Scholar.

Trump Masuk Gedung Putih, Klan Pembunuh Naga Bermunculan

Kekuatan keempat adalah ‘blok pemboikot’ Beijing yang bertentangan dengan ‘kelompok penghubung’ tadi, kekuatan utama ini adalah paham konservatif baru yang bangkit di akhir tahun 1990an abad lalu yang menamai diri ‘foreign policy community’, awalnya hanya pertemuan sebatas 7-8 orang teman yang sepaham saja yang membahas masalah negara, kemudian berkembang menjadi ‘kelompok elit’ yang terdiri dari 40 orang.

Mereka tidak memiliki wadah organisasi yang resmi, karena tidak ada aturan dan keanggotaan yang resmi, juga tidak ada institusi dan pemimpin, namun justru memiliki wacana dan pengaruh yang jelas.

Wacananya sangat jelas, yakni berniat ‘mengembalikan ke jalan yang benar’ diplomatik luar negeri AS yang telah ‘kehilangan arahnya’ sejak berakhirnya Perang Dingin, khususnya dengan fokus ‘memperbaiki’ kebijakan Amerika Serikat terhadap RRT.

Kalangan ini kemudian dikenal sebagai ‘klan pembunuh naga’. Dan hingga masa pemerintahan kedua Presiden Bush junior, ada yang yang merasa melambangkan Tiongkok dengan naga terkesan terlalu sadis, sehingga diubah menjadi sebutan ‘kelompok penghardik panda’.

Selama Bush junior berkuasa, sekelompok tokoh kalangan ‘Hawkish (garis keras)’ masuk ke pemerintahan dan menjadi pejabat senior.  Namun karena adanya ‘kelompok penghubung’ dan arus utama selama bertahun-tahun dikuasai oleh kaum ‘pelobi RRT’ yang telah berurat akar sekian lama di kalangan berkuasa maupun kalangan oposisi, ditambah lagi adanya National Committee on US-China Relationships yang dibentuk sejak tahun 1966 yang mayoritas anggotanya adalah kaum pemeluk panda, maka Presiden Bush junior hanya bisa menempuh kebijakan tidak berpihak ‘melindungi panda’.

Selama 40 hari setelah pilpres tahun 2016, bertempat di kantor pusat PBB di New York, Komite Nasional Hubungan AS-RRT mengadakan perayaan susulan atas 50 tahun berdirinya komisi tersebut.

Disebut ‘susulan’ karena komisi itu dibentuk Juni 1966, kegiatan perayaan seharusnya diadakan di bulan Juni. Tapi diundur hingga 15 Desember baru dirayakan secara susulan, tentunya berniat unjuk kekuasaan politiknya di hadapan Presiden Trump.

Media massa RRT pun bergembar-gembor soal kegiatan ini, situasi perayaan pun dideskripsikan gegap gempita dan kaya corak warna: saat Ketua umum Komnas Hubungan AS-RRT yakni Stephen A. Orlins berpidato di hadapan 500 orang tamu undangan, dengan Bahasa Mandarin yang baku ia membacakan kutipan kata-kata Mao Zedong: “Saat kamerad kita dikala kesulitan harus melihat prestasi, harus melihat cahaya dan harus meningkatkan keberanian kita.”

Media massa AS mengatakan, tepuk tangan tamu undangan menunjukkan mereka telah memahami makna terselubung dari pidato ketua komnas, juga merefleksikan tekanan yang dihadapi dalam hubungan AS-RRT, dan berulang kali memberitakan pernyataan Kissinger “satu Tiongkok” dari berbagai sudut pandang berbeda.

Jaringan media resmi RRT Global Network di tahun 2018 kembali mengungkit peristiwa lama ini, yang tentunya sangat berharap para pemeluk panda dapat kembali ke pentas politik mengembalikan persahabatan RRT-AS.

Sejak Trump masuk ke Gedung Putih, klan pembunuh naga pun mulai unjuk taring, Navarro yang kini menjabat sebagai ajudan presiden merangkap penasehat perdagangan disebut sebagai ‘Hawkish di antara para Hawkish’, penasehat keamanan nasional John R. Bolton adalah seorang tipikal patriot Amerika, yang tak hanya memandang Partai Komunis Tiongkok (PKT) sebagai ancaman besar yang lebih berbahaya daripada Rusia, tapi juga kerap mengkritik PBB.

Tokoh seperti ini setelah bergabung dengan tim Gedung Putih, telah memberikan sinyal yang sangat jelas bagi seluruh wadah pemikir di Washington DC, klan pembunuh naga telah bermunculan.

Setelah lebih setahun persiapannya, baru ada belasan laporan yang menyerang RRT bertubi-tubi, mulai dari anti-spionase sampai anti-penyusupan, tidak ada yang luput, kelompok pemeluk panda menghadapi kesulitan yang tidak pernah terjadi sebelumnya, dan dipaksa bungkam.

Totalitarian PKT Yang Nyata Membuat Pemeluk Panda Kehilangan Alasan

Kesulitan para pemeluk panda ini jika ditelusuri adalah disebabkan oleh Komunis Tiongkok sendiri. Selama jangka waktu panjang pemeluk panda telah bersahabat dengan RRT bahkan “Laporan Cox” yang anti-spionase ekonomi di tahun 1998 berhasil mereka peti-eskan, dan memenangkan waktu 20 tahun bagi RRT untuk mengadakan “Thousand Talents Program” dan mencuri kekayaan intelektual AS, karena alasannya hanya satu: yakni dengan mendorong pertumbuhan ekonomi RRT, membawa RRT memasuki tatanan dunia internasional, mewujudkan demokrasi, dan menjadi negara besar yang bertanggungjawab.

Alasan ini sejak awal di masa pemerintahan Hu Jintao telah disangkal (oleh Hu) dengan ‘anti-Revolusi Warna’ dan ‘Lima Penolakan’, namun Obama dan para pemeluk panda menutup sebelah mata atas hal ini.

Di masa kekuasaannya Xi Jinping menerapkan menjunjung Mao dan menekan Deng, memperkuat kediktatoran di berbagai sektor, membuat para pemeluk panda pun kehilangan alasan untuk membela RRT yang semakin merah itu.

Dalam program “First 100 Days” Trump secara jelas mengemukakan akan “mengeringkan rawa Washington”, berbagai laporan satu persatu dipublikasikan, pekerjaan anti-spionase dengan menumpas para perwakilan negara asing telah masuk dalam agenda kerja pemerintah AS, dalam waktu hampir satu setengah tahun, kalangan berkuasa maupun oposisi di Amerika Serikat akhirnya sepakat dalam hal permasalahan Tiongkok:

Pertama, seluruh kalangan AS telah meninjau kebijakan terhadap RRT selama ini dan mengakui selama beberapa dekade kebijakan AS terhadap RRT telah gagal total;

Kedua, mengakui RRT sebagai lawan yang paling kuat dan paling menakutkan sepanjang sejarah modern Amerika yang tengah dihadapi saat ini. Senator Rubio memandang RRT sebagai lawan paling besar bagi AS semenjak berdirinya Amerika Serikat, inilah pernyataan yang merepresentasikan pandangan ini. Oleh sebab itu AS harus mengambil tindakan, jika tidak akan kalah melawan kompetisi strategis dari RRT.

Dan ketiga, AS tidak tidak perlu melepaskan kebijakan berinteraksi dengan RRT.  Namun harus menggunakan cara-cara boikot, menghukum bahkan membalas, agar dapat membentuk perilaku RRT dan memaksa RRT untuk berubah. (SUD/WHS/asr)

Video Rekomendasi : 

https://www.youtube.com/watch?v=8upq6ZW3sYQ