Reputasi dan Pengaruh Jepang dalam Investasi Infrastruktur di Asia Tenggara Lebih Tinggi daripada Tiongkok

oleh Wu Ying

Sebelum komunis Tiongkok mulai berinvestasi dalam infrastruktur di Asia Tenggara melalui Inisiatif Satu Sabuk Satu Jalan (OBOR), Jepang adalah sumber pembiayaan terbesar di kawasan tersebut.

Para ahli mengatakan bahwa meskipun jumlah dana investasi infrastruktur Beijing di negara-negara Asia Tenggara melebihi Jepang, tetapi reputasi dan pengaruh Tokyo dalam ekonomi dan perdagangan di kawasan itu masih lebih tinggi daripada komunis Tiongkok.

CNBC melaporkan bahwa investasi perusahaan multinasional milik negara Jepang pada negara-negara berkembang di Asia sudah dimulai pada akhir tahun 1970-an. Namun pemerintah Tokyo baru mulai mempromosikan cetak biru infrastruktur luar negerinya pada awal tahun 1990-an. G7 dan OECD memujian Jepang sebagai perwakilan khas dari pembangunan infrastruktur berkualitas.

Jepang membantu orang Asia Tenggara keluar dari kemiskinan melalui proyek infrastruktur

Selain meningkatkan aliran logistik ke seluruhan negara-negara berkembang, cetak biru infrastruktur yang dipromosikan oleh pemerintah Jepang juga memenuhi standar keamanan tinggi, ramah lingkungan, andal, dan inklusif. Misalnya, dana pinjaman infrastruktur dari Japan Bank for International Cooperation ke Vietnam telah meningkatkan kualitas pembangunan jalan dan pelabuhan negara itu, meningkatkan pendapatan keluarga pedesaan, membantu rakyat negara itu keluar dari kemiskinan, dan meningkatkan efisiensi kerja.

Sebaliknya, komunis Tiongkok justru banyak mendapat kritikan masyarakat internasional karena mereka memanfaatkan alternatif OBOR sebagai platform untuk mewujudkan ambisi ekspansi globalnya.

Jonathan Hillman, seorang peneliti senior dan direktur Reconnecting Asia Project dari Centre for Strategic and International Studies menulis dalam sebuah laporan pada tahun 2018 bahwa, Proyek-proyek infrastruktur komunis Tiongkok yang diusulkan melalui program OBOR mereka hampir tidak ada yang menciptakan dampak positif pada masyarakat lokal.

Dalam tulisannya, Jonathan Hillman mengajukan serangkaian pertanyaan yang memancing pemikiran kita semua tentang proyek OBOR : Apakah pengeluaran untuk penyertaan pada proyek OBOR itu bermanfaat bagi orang-orang yang paling membutuhkan bantuan ? Apakah proyek itu layak atau bakal menjadi bencana besar ? Dan Apakah proyek-proyek itu akan menambah atau merusak nilai yang sudah ada ?

Jepang menekankan adanya partisipasi lokal, transparansi, dan pemberantasan korupsi

Sejumlah ahli mengatakan bahwa pembangunan infrastruktur seperti kereta api, jaringan komunikasi, dan pengembangan pertanian yang dikerjakan di luar negeri oleh perusahaan Jepang dan lembaga terkait dari pemerintah Tokyo. Mereka akan memberikan pelatihan teknis dan pendidikan selain untuk memaksimalkan penerima manfaat bagi masyarakat lokal, juga diharapkan dapat membantu mempromosikan persahabatan antara Tokyo dengan pemerintah daerah.

Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe pada Nopember lalu mengatakan bahwa Jepang akan membantu negara-negara Asia Tenggara dengan melatih 80.000 orang ahli industri digital dalam lima tahun mendatang. Langkah demikian sebagai bagian dari rencana negara untuk mempromosikan pembangunan kota pintar di wilayah tersebut.

Dibandingkan dengan proyek OBOR komunis Tiongkok, negara Asia Tenggara yang telah berpartisipasi malahan sering mengeluh karena proyek mereka dinilai tidak memiliki hubungan dengan daerah setempat. Kritikan menyasar terhadap banyak proyek konstruksi yang dipimpin oleh komunis Tiongkok. Pasalnya, proyek OBOR mengimpor bahan-bahan dan tenaga kerja dalam jumlah besar dari daratan Tiongkok, tetapi tidak bekerja sama dengan perusahaan lokal, memanfaatkan sumber daya dan tenaga kerja lokal.

Selain itu, proyek OBOR juga merangsang tumbuhnya korupsi. Wall Street Journal mengutip sumber yang akrab dengan masalah ini memberitakan bahwa pejabat komunis Tiongkok setuju untuk meng-upgrade biaya proyek infrastruktur yang dikerjakan di Malaysia.

Jonathan Hillman dalam sebuah laporan yang dikeluarkan dalam pekan ini menyebutkan, untuk menghindari munculnya korupsi dalam proyek OBOR, Beijing seharusnya belajar ke Tokyo.

Ketika mantan Presiden Filipina Ferdinand Marcos terpaksa mengasingkan diri ke Hawaii pada tahun 1986, media lokal mengekspos skandal korupsi yang melibatkan puluhan perusahaan Jepang yang kemudian membuat pemerintah Tokyo merasa malu dan bertekad untuk mempromosikan reformasi dan memperkenalkan transparansi yang lebih besar. Sistem persaingan yang lebih terbuka akhirnya mengarah pada piagam pertolongan pertama Jepang. Demikian tulis dalam laporan itu.

Jepang menyediakan pembiayaan berkelanjutan

Pembiayaan proyek luar negeri Tokyo secara luas dianggap sebagai pinjaman yang lebih andal.

Institute of Developing Economies, anak perusahaan dari Organisasi Perdagangan Eksternal Jepang menerbitkan laporan pada tahun 2018 yang menyatakan bahwa proyek-proyek Jepang lebih fleksibel jika dibandingkan dengan proyek-proyek infrastruktur yang didukung oleh komunis Tiongkok karena memiliki banyak sumber pendukung dana.

Menurut laporan tersebut, banyak proyek infrastruktur Jepang didukung oleh Mitsubishi, Toyota, Nintendo dan Sumitomo Mitsui Financial Group yang mempromosikan integrasi ekonomi di Asia Tenggara dan memahami pentingnya arti memperkuat hubungan sipil dari wilayah tersebut.

Sebaliknya, dalam menanggapi sumber dana untuk proyek OBOR dari komunis Tiongkok, Hillman mengatakan, beberapa bank besar Tiongkok biasanya membuka proyek infrastruktur yang akan dilaksanakan setelah perusahaan kontraktor itu telah terpilih. Tetapi, jarang menerbitkan persyaratan pinjaman dan umumnya implementasinya lambat. Praktik-praktik ini tidak membantu dalam mendapatkan kepercayaan terhadap proyek OBOR dari negara-negara lokal.

Dalam beberapa bulan terakhir, beberapa negara telah membatalkan keikutsertaan pihaknya dalam proyek OBOR atau menuntut diadakan kembali negosiasi.

Media lokal Pakistan Dawn pada bulan Januari ini melaporkan bahwa Imran Khan, perdana menteri Pakistan yang baru terpilih bulan Agustus lalu, telah secara resmi menyampaikan kepada Beijing bahwa negaranya tidak tertarik untuk membangun pembangkit listrik Rahim Yar Khan dan meminta agar proyek pembangkit listrik tersebut dihapus dari Koridor Ekonomi Tiongkok-Pakistan (CPEC).

OBOR adalah diplomasi hutang dari komunis Tiongkok

Beberapa negara Barat menuduh komunis Tiongkok membiarkan negara lain jatuh ke dalam perangkap utang melalui proyek OBOR, membuat negara-negara debitur terpaksa menyerahkan ekuitas infrastruktur mereka kepada kreditur untuk membayar kembali utangnya. Dengan demikian komunis Tiongkok dapat memperoleh kendali atas infrastruktur terkait.

Sebagai contoh, pemerintah Sri Lanka tidak dapat membayar hutang besar kepada komunis Tiongkok yang diakibatkan oleh pembangunan Pelabuhan Hambantota, sehingga terpaksa menyewakan pelabuhan itu kepada perusahaan Tiongkok selama 99 tahun dengan hasil operasional yang 80% adalah milik pihak Tiongkok dan hanya 20% yang menjadi milik Sri Lanka.

Menurut sebuah laporan yang dirilis tahun lalu oleh Center for Global Development, think tank yang berbasis di Washington DC, bahwa proyek OBOR telah membawa setidaknya 8 negara  tetangga India ke dalam jebakan hutang dengan niat politik di baliknya.

Foreign Policy Research Institute (Lembaga Penelitian Kebijakan Luar Negeri) menyebutkan dalam sebuah laporan tahun 2018 bahwa Beijing mungkin pandai membuat janji-janji besar, berbeda dengan Tokyo yang lebih mementingkan perwujudan sesuai komitmennya, dan hal ini telah memberikan pengaruh yang tidak kecil. (Sin/asr)

Video Rekomendasi : 

https://www.youtube.com/watch?v=XYskDBnCmf4