Walikota Beijing Kembali Berencana untuk Mengusir Penduduk Kelas Bawah

oleh Li Xinru

Selama Dwi Konferensi Partai Komunis Tiongkok (PKT) berlangsung, isu penduduk pendatang atau musiman yang digolongkan sebagai “penduduk kelas bawah” di Beijing terus dijadikan persoalan.

Walikota Beijing, Chen Jining mengklaim bahwa total populasi Beijing telah mengalami penurunan sebanyak 165.000 jiwa pada tahun 2018. Dia mengisyaratkan bahwa pihaknya akan terus menerapkan kebijakan untuk mengurangi penduduk kelas bawah. Hal ini jelas menimbulkan kontroversi masyarakat.

Media Hongkong ‘Ming Pao’ melaporkan bahwa dalam Kongres Rakyat Tiongkok di Beijing, Chen Jining menjelaskan pendekatan manajemen ‘3 Garis 2 Kontrol’ yang ia terapkan dalam mengatur ibukota. ‘3 Garis’ yang dimaksud adalah garis merah populasi, garis kontrol ekologis dan garis batas pembangunan kota. Sedangkan ‘2 Kontrol’ yang dimaksud adalah kontrol jumlah populasi dan kontrol tanah untuk kepentingan pembangunan kota.

Chen Jining mengatakan bahwa total populasi Beijing telah berkurang sebanyak 165.000 jiwa tahun lalu dan yang berasal dari pusat kota telah berkurang lebih dari 400.000 jiwa (Red. kebanyakan adalah penduduk musiman).

Pengajuan izin industri dan komersial yang ditangguhkan sebanyak 21.000 kasus, dan lebih dari 2.600 perusahaan manufaktur umum ditutup, terutama pada pasar yang dibubarkan dan pusat logistik lebih dari 680 unit.

Menurut data statistik bulan Januari dari Biro Statistik Beijing dan Biro Statistik Nasional bahwa penduduk permanen kota Beijing pada akhir tahun 2018 adalah 21.542.000 jiwa, menurun 0,8 % dari akhir tahun 2017, atau penurunan sebanyak 165.000 jiwa. Angka  ini adalah penurunan kedua bagi penduduk musiman di Beijing sejak tahun 1997. Pada akhir 2017, jumlah penduduk tetap kota Beijing adalah 21,71 juta jiwa, turun sebanyak 22.000 jiwa dari akhir tahun 2016.

Menurut data tersebut, karena sebelumnya telah ada kebijakan yang menetapan jumlah populasi Beijing sampai tahun 2020 dapat terkendali pada garis merah (maksimum) yang 23 juta jiwa. Maka pihak berwenang terpaksa melakukan “pembersihan” dalam beberapa tahun terakhir, terutama penduduk pendatang termasuk ratusan pasar grosir dan pusat logistik yang berada dalam wilayah ibukota. Memang industri ini banyak didominasi oleh para penduduk pendatang/musiman yang tergolong kelas ekonomi bawah dan menengah.

Pemerintah mengendalikan penduduk Beijing secara ketat

Pada November 2017, setelah terjadi kebakaran besar di Distrik Daxing yang menyebabkan 19 orang tewas, pihak berwenang melakukan pembongkaran dan penggusuran rumah berskala besar. Mereka hanya memberi penduduk “beberapa menit” untuk berkemas dan menyuruh pergi, karena itu puluhan ribu pekerja migran terpaksa meninggalkan Beijing.

Para pengunjuk rasa percaya bahwa pihak berwenang menggunakan kebakaran itu sebagai alasan untuk mempercepat rencana “pembersihan” penduduk kelas bawah dengan membongkar perumahan sewa murah.

Terkait ini, Zhao Guojun, kepala biro pengamatan pengacara Tiongkok mengatakan : “Pada saat Beijing sedang dibangun, slogan pemerintah berbunyi ‘Beijing menyambut Anda’, dan sekarang setelah Beijing sudah berkembang, slogan mereka telah berubah menjadi ‘Beijing mengusir Anda.”

Pengusaha Beijing, Wang Ying mengatakan : “Jika Beijing tidak memiliki banyak penduduk pendatang, memiliki penduduk pendatang dalam jumlah tertentu, penduduk Beijing yang tergolong tingkat berada juga tidak dapat hidup secara normal. Ini adalah pengetahuan umum.”

‘Penduduk kelas atas’ yang terpengaruh juga ikut sedih

The New York Times melaporkan bahwa puluhan ribu lulusan perguruan tinggi muda yang penuh harapan datang ke Beijing untuk mencari pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik.

Banyak orang hidup di pinggiran Beijing karena biaya sewa yang lebih rendah di sana. Pengusiran para migran Beijing telah mempengaruhi kehidupan orang-orang ini.

Ambil contoh seorang pemuda bernama Shi Ruomu, ia adalah praktisi IT muda lulusan New Zealand yang fasih berbahasa Inggris, dengan keahliannya itu ia mengira bahwa ‘cari makan’ di Beijing tidak bermasalah, tetapi karena ia tidak ber-KTP Beijing, ia dianggap sebagai warga kelas dua.

Polisi datang ke gedung apartemen tempat dia tinggal dan memerintahkan Shi beserta ratusan penyewa lainnya untuk keluar dari apartemen dalam waktu 48 jam. Kejadian itu membuatnya berpikir apakah orang seperti dirinya masih dapat bertahan hidup di Beijing.

Wu Fan, pemimpin redaksi majalah online berbahasa Mandarin ‘China Affairs’ memberikan komentarnya : “Pembentukan sebuah kota memiliki alasan historis, dan ada banyak aspek dari berbagai kepentingan yang dibentuk oleh kombinasi alami. Anda sekarang mengusir penduduk kelas bawah, ekonomi pasti akan terpengaruh. Warga tingkat menengah juga terpengaruh, dan bahkan yang tingkat tinggi sekalipun susah untuk mendapatkan baby sitter. Untuk dapat makan makanan cepat saji pun sulit. Seluruh ekonomi terpengaruh olehnya.”

Konsekuensi buruk dari urbanisasi Tiongkok yang tidak teratur

Beberapa dekade sejak Partai Komunis Tiongkok (PKT) mengambil alih kekuasaan dari Pemerintahan Nasionalis Kuomingtang dan mendorong program urbanisasi.  PKT secara membabi buta mengejar laju urbanisasi, mengabaikan sumber daya dan lingkungan, para pejabat mengejar skala populasi dan jumlah kota demi pencapaian tujuan politik.

Mereka mengabaikan kesenjangan antara perkotaan dengan pedesaan, “mendirikan kota” secara membabi buta. Ekspansi yang tidak teratur, urbanisasi berbiaya mahal, termasuk menyebabkan ketimpangan sosial, polusi, dan perusakan pada sumber daya alam dan lingkungan …

The New York Times melaporkan bahwa implementasi dari program urbanisasi oleh otoritas Tiongkok tidak teratur dan mengabaikan toleransi sumber daya dan lingkungan, jadi biayanya sangat besar.

Sebelum pengusiran, penduduk musiman di Beijing berjumlah sekitar 8 juta jiwa. Namun, mereka sulit diintegrasikan ke dalam kehidupan perkotaan dan menghadapi banyak batasan seperti tidak bisa membuat Kartu Keluarga, tidak dapat memperoleh tunjangan untuk kesejahteraan sosial, mendaftarkan anaknya untuk sekolah di Beijing, dan larangan untuk menghuni. Nasib penduduk musiman ini mencerminkan krisis perencanaan kota di Tiongkok.

Sebelum para pejabat Tiongkok benar-benar sadar, konsekuensi buruknya telah terbentuk.  Ketika pejabat tidak memiliki cara untuk mengatasinya, maka cara yang paling mudah adalah mengarahkan tombak kepada kaum lemah yang paling tidak mampu melawan. Beberapa tahun terakhir, otoritas komunis telah memperkenalkan berbagai kebijakan diskriminatif dan mulai melakukan pembersihan terhadap penduduk kelas bawah.

Mengurangi jumlah populasi (kelas ekonomi bawah) selalu dibanggakan oleh media resmi PKT sebagai obat penangkal “penyakit kota besar”. Penyakit kota besar mengacu pada kepadatan penduduk dan polusi serius di kota-kota.

Song Yan, direktur China Urban Project di University of North Carolina mengatakan : “Populasi bukan akar penyebab penyakit perkotaan. Penyakit kota besar disebabkan oleh manajemen perkotaan yang buruk, struktur perkotaan yang buruk sehingga  memunculkan banyak hal yang tidak perlu, perjalanan yang semrawut, kemacetan lalu lintas dan terlampau penuh sesak.”

“Saya ingin mengatakan, jika ada masalah kepadatan atau kekurangan layanan, mengapa Anda tidak memperluas layanan publik? Memberikan lebih banyak pendidikan, peluang, perawatan medis, rumah sakit — itulah yang dapat dilakukan pemerintah, daripada berusaha untuk menyingkirkan para pekerja migran itu.” (Sin/asr)