Huawei: ‘Masalah Urgen yang Menuntut Pekerjaan Serius’

Oleh Eva Fu

Pakar keamanan nasional Amerika Serikat memperingatkan bahwa membiarkan raksasa telekomunikasi Tiongkok, Huawei, mendominasi pasar global 5G akan menimbulkan ancaman keamanan yang besar. Harapannya, mengungkap fakta sebenarnya akan berfungsi sebagai peringatan global.

Huawei berada di garis depan dalam mengembangkan teknologi 5G — generasi berikutnya dari komunikasi nirkabel dengan kecepatan kilat.

Huawei secara agresif memperluas bisnis 5G-nya, yang dengan bangga telah membuat kontrak dengan 30 negara pada akhir Februari 2019. Huawei mengklaim sebagai satu-satunya vendor industri yang mampu memberikan solusi 5G hulu ke hilir — yang mencakup perangkat, jaringan, dan pusat data.

Ada perusahaan telekomunikasi lain yang menawarkan 5G — seperti Nokia Finlandia dan Samsung Korea Selatan — tetapi Huawei telah melakukan segala cara yang membuat penawarannya sulit ditolak, termasuk menawarkan harga murah, pembiayaan yang fleksibel yang didukung oleh negara Tiongkok, dan one-stop shopping bagi negara-negara untuk meningkat ke jaringan 5G.

“Huawei benar-benar memiliki paket jaringan 5G,” kata Klon Kitchen, seorang peneliti riset keamanan nasional di Heritage Foundation, saat panel “Tiongkok, Huawei dan Tantangan 5G” di Washington pada 21 Maret 2019.

Selain itu, Huawei telah menghabiskan banyak uang untuk kampanye hubungan masyarakat, pemasaran, dan pengembangan merek.

‘Bagian dari Kemasan’

Tetapi paket menarik Huawei tidaklah murah.

Menurut hukum Komunis Tiongkok, semua organisasi di Tiongkok harus “mendukung, membantu, dan bekerja sama dengan upaya intelijen nasional Tiongkok,” dan “harus melindungi rahasia kerja intelijen nasional Komunis Tiongkok yang mereka ketahui.”

“Pemerintah Tiongkok mendatangi anda [sebuah perusahaan Tiongkok] dan meminta informasi anda, meminta data anda, meminta akses ke saluran dan jaringan anda, satu-satunya pilihan yang anda miliki adalah mematuhinya,” kata Klon Kitchen.

Sebelum mendirikan Huawei, Ren Zhengfei adalah mantan perwira di Kementerian Keamanan Komunis Tiongkok dan direktur di Akademi Teknik Informasi milik tentara Tiongkok, yang bertanggung jawab untuk penelitian telekomunikasi.

Amerika Serikat telah melarang menggunakan peralatan Huawei di Pentagon, badan pemerintahan, dan pangkalan militer, dan memperingatkan sekutunya untuk melakukan hal yang sama.

“Tampaknya Huawei sangat pandai menjadi alat negara Tiongkok, yang artinya adalah bagian dari kemasan Tiongkok,” kata John Hemmings, direktur Pusat Studi Asia di Henry Jackson Center.

Misalnya, pada 16 Januari 2019, dewan juri di Seattle mendakwa Huawei karena telah mencuri rahasia dagang dari operator telepon T-Mobile. Dokumen pengadilan menunjukkan bahwa Huawei menerapkan program hadiah di seluruh perusahaan yang mendorong karyawan untuk mencuri informasi intelijen dari perusahaan Amerika Serikat yang menjadi pesaingnya.

“Di bawah kebijakan itu, [Huawei] menetapkan jadwal formal untuk memberi penghargaan kepada karyawan karena telah mencuri informasi dari pesaing berdasarkan nilai rahasia dari informasi yang diperoleh,” isi surat dakwaan.

Dari tahun 2012 hingga tahun 2017, server Huawei di markas Uni Afrika di Addis Ababa, Ethiopia, ditemukan untuk mentransfer data ke Shanghai setiap malam dari sekitar jam 12 tengah malam hingga jam 2 pagi. Fakta ini menurut penyelidikan yang diterbitkan pada Januari 2018 oleh surat kabar Prancis Le Monde.

Negara-negara yang telah mengeluarkan sanksi terhadap Huawei termasuk Australia, Selandia Baru, dan Jepang; sementara Republik Ceko mengeluarkan peringatan yang menunjuk Huawei sebagai ancaman terhadap infrastruktur nasional.

“Tidak masalah apakah mereka ditangkap atau tidak — apakah mereka akan tetap melakukannya karena konteksnya?,” kata John Hemmings.

Peran Big Data

Menurut Rogers, keuntungan yang dimiliki Tiongkok secara bermakna dalam perlombaan 5G adalah kebebasannya yang tanpa batas untuk mengumpulkan data dari populasi yang besar.

Di Provinsi Xinjiang, tempat Muslim Uighur dianiaya oleh rezim Tiongkok, pihak berwenang dapat memantau jutaan penduduk secara langsung dan menandai setiap perilaku mencurigakan, berkat teknologi pengawasan yang dikembangkan Huawei.

Foto: Sebuah kamera pengintai di sebelah tanda Huawei di luar pusat perbelanjaan di Beijing pada tanggal 29 Januari 2019. (Jason Lee / Reuters)

Teknologi yang sama tersebut telah diterapkan di lebih dari 500 kota di Tiongkok, yang melacak wajah dan suara penduduk, kebiasaan belanja, percakapan, dan setiap gerakan di depan umum.

Huawei juga merupakan pemain kunci dalam menciptakan Sistem Kredit Sosial, basis data teknologi tinggi yang memungkinkan Partai Komunis Tiongkok mengawasi perilaku sosial warganegaranya dengan memberlakukan penghargaan dan penalti sesuai dengan peringkat mereka. Platform pengawasan Huawei, yang berjudul inisiatif Kota Cerdas, telah diekspor setidaknya ke 18 negara.

Pada Juni 2018, Duisburg, Jerman mengumumkan kerja sama dengan Huawei dalam program kota cerdas. “Produk dan solusi kami, akan membantu menyederhanakan kehidupan sehari-hari warga dan pengunjung di Duisburg, dan untuk meningkatkan keamanan,” kata Wang Yonggang, CFO dari Huawei Business Enterprise Group.

Menyebarkan teknologi Huawei juga dapat menyebabkan suatu negara menjadi tergantung pada infrastruktur asing. CEO AT&T Randall Stephenson baru-baru ini mengkritik Huawei karena menghambat negara-negara untuk pindah ke operator lain, yang pada dasarnya mengunci negara-negara yang sudah menggunakan sistem 4G Huawei.

“Ini sungguh mengenai tingkat toleransi apa yang akan kita izinkan data kita berada di tangan pemerintah yang terbukti berulang-ulang untuk menggunakan data itu terhadap warganegaranya sendiri untuk pencurian kekayaan intelektual internasional, untuk kegiatan gangguan,” kata Rogers.
Peringatan, Daripada Pencegahan

Terlepas dari peringatan Amerika Serikat mengenai  masalah keamanan di sekitar Huawei, banyak sekutu Eropa akan maju bersama Huawei.

Jerman dan Prancis sama-sama mempertimbangkan untuk memberlakukan aturan kepatuhan keamanan yang lebih keras, tetapi masih memungkinkan Huawei untuk menjalankan jaringan 5G-nya. Thailand, Rusia, Turki, Afrika Selatan, dan setidaknya 18 negara Eropa lainnya telah menandatangani kontrak dengan Huawei.

Pertanyaan yang diajukan oleh para ahli keamanan adalah apakah penelitian secara cermat dan pengawasan sudah cukup.

Dalam laporan tahunan yang dikeluarkan pada bulan Maret 2019, Pusat Keamanan Dunia Maya Nasional Inggris (setara dengan NSA di Inggris) mencatat kerentanan produk Huawei, mengutip perbedaan potensial antara kode sumber yang dikirimkan oleh Huawei untuk pengujian dengan kode yang sebenarnya digunakan dalam jaringan telekomunikasi Inggris. Dewan pengawas menyimpulkan bahwa hal itu dapat memberikan “hanya jaminan terbatas” untuk mengurangi risiko keamanan nasional dalam jangka panjang.

“Satu-satunya tujuan adalah berusaha mencegah Huawei mengaktifkan spionase dari sistem mereka. Oke, saya tahu satu cara yang lebih baik: Pertama-tama jangan memilikinya,” kata Rogers.

Mengutip seorang kenalan dari intelijen Jerman, Rogers mengatakan perlu waktu hingga 24 bulan untuk memperbaiki kerentanan yang diidentifikasi dalam sistem yang memaparkan informasi intelijen kritis ke layanan asing seperti Tiongkok dalam pandangan biasa.

“Ancaman kontra-intelijen Tiongkok lebih dalam, beragam, lebih menantang, lebih komprehensif, dan lebih memprihatinkan daripada hanya sekedar ancaman intelijen,” kata John Hemmings.

John Hemmings juga mengingatkan bahwa spionase Tiongkok jauh lebih banyak daripada yang kasat mata, karena banyak bukti tidak dipublikasikan untuk masalah keamanan.

“Saya akan mendesak supaya kita untuk tidak terbuai dalam kepasifan hanya karena kita dibanjiri dengan pembicaraan inovasi sepanjang waktu, tetapi untuk memahami bahwa tindakan ini sebenarnya merupakan masalah mendesak yang menuntut kerja serius,” kata Klon Kitchen. (Vv/asr)