Warganet Jepang Puja Zhang Heng, Berasal dari Naskah Klasik Manakah Nama Zaman Baru Itu?

Gao Tianyun

Beberapa hari ini, ilmuwan Tiongkok kuno dari masa Dinasti Han Timur yakni Zhang Heng (78 – 139) menjadi tersohor di internet, bahkan sempat menjadi pencarian paling trending di Twitter Jepang. Menurut media massa, banyak warganet Jepang mulai memuja ilmuwan Zhang Heng. Ada apa gerangan?

Tepat pada tanggal 1 April 2019, pemerintah Jepang mengumumkan zaman baru Jepang yakni “zaman Reiwa”. Menurut penjelasan pihak Jepang, kata ‘Reiwa’ (dalam aksara Kanji: 令和, Ling He, Red.) ini berasal dari kumpulan sastra Jepang kuno yakni “Manyoshu”.

Kali ini, sebutan untuk zaman baru ini dipilih dari kitab Jepang kuno, yang berarti mendobrak kebiasaan lama sebelumnya yang selalu mengambil sebutan zaman dari kitab Tiongkok kuno.

Akan tetapi, para warganet Jepang segera mendapati, di dalam buku “Serial Sastra Kuno Jepang – Manyoshu (Jilid 1)” yang diterbitkan oleh Iwanami Shoten Publishing, terdapat keterangan tambahan atas kalimat “初春の令月にして、气淑く风和ぎ” (asal muasal kata ‘令和’ ) sesungguhnya berasal dari puisi Dinasti Han Timur karya Zhang Heng yang berjudul “Gui Tian Fu” (Return to the Field, Red.). Kemudian, warganet Jepang menelusuri “Dai Kan-Wa Jiten” karya Tetsuji Morohashi, di dalamnya terdapat asal usul kata ‘令月’, juga disebutkan berasal dari “Gui Tian Fu”.

Selain itu, ada juga akademisi menyebutkan, sastrawan Xue Yuanchao dari masa Dinasti Tang dalam puisinya “Jian Fan Guan Zhang Neishe Shengshu” juga menggunakan gaya Bahasa「時惟令月,景淑風和. Oleh sebab itu, kata「令和 (dalam bahasa Jepang dibaca: Reiwa)」dan kitab sumbernya “Manyoshu” sebenarnya berdampak dari kitab Tiongkok klasik.

Seorang warganet berkata, “Karya tulis Zhang Heng begitu indah, tapi kita tidak pernah melihatnya, kitab Tiongkok klasik memiliki begitu banyak tulisan dan artikel indah, selain di masa sekolah dulu kita sangat jarang mendalaminya, tapi orang Jepang justru lebih mengerti, suatu ironi yang patut direnungkan.”

Hal ini memang patut direnungkan.

Renungan pertama, siapakah tokoh Zhang Heng itu? Zhang Heng yang hidup sekitar 1.900 tahun silam kembali menarik perhatian masyarakat luas. Prestasinya yang gemilang sungguh mengejutkan!

Zhang Heng adalah seorang ahli astronomi, ahli geografi, ahli matematika, seorang penemu, sastrawan, dan juga memberikan kontribusi sangat besar bagi kebudayaan Tiongkok maupun peradaban dunia.

Ia pernah menciptakan ‘armillary sphere’ yang digerakkan dengan tenaga air, menciptakan Seismograph yang dapat mendeteksi sumber gempa, juga menemukan kompas (yang dipasang pada kereta), menemukan penyebab gerhana matahari dan bulan, menggambar peta bintang yang mencatat 2.500 buah benda astral, menghitung nilai konstanta lingkaran Pi (π) sampai angka desimal terakhir, menjelaskan dan mendefinisikan teori kosmologi.

Ia juga salah seorang dari empat sastrawan agung Dinasti Han, menciptakan puisi tujuh kata dengan karya sastra indah memperkaya syair Dinasti Han. Kini, sebutan zaman yang akan digunakan negara Jepang, terkoresponden dengan karya sastra Zhang Heng. Mengenai sumbangsihnya, berapa orang rakyat Tiongkok yang mengetahui, dan seberapa dalam pemahaman mereka terhadapnya?

Renungan kedua, sejak masa Reformasi Taika di Jepang, negeri itu telah mempelajari cara penggunaan sistem penamaan zaman dari Tiongkok, ini adalah salah satu simbol penting dari “Tang-isasi” sejak masa Dinasti Tang. Kini, Komunis Tiongkok sudah lama berhenti menggunakan sebutan zaman itu, sedangkan Jepang masih menggunakan sistem penyebutan zaman ini. Selama ini selalu menetapkan sebutan zaman berdasarkan kitab-kitab Tiongkok kuno.

Proses “Tang-isasi” berlangsung lebih dari 300 tahun. Di masa Dinasti Sui dan Dinasti Tang, negeri Jepang telah mengirimkan 15 hingga 20 kali “Kentoshi” (duta bagi Dinasti Tang) yang mana jumlah sebenarnya tidak diketahui).

Para utusan tersebut menempuh risiko keselamatan menyeberangi lautan sampai ke negeri Tang, untuk mempelajari sistem pemerintahan, tradisi tatakrama dan seni musik, tata ruang kota, arsitektur, busana, kuliner, bahasa, sastra dan lain sebagainya, membawa kebudayaan Tiongkok yang lebih maju kembali ke Jepang.

Kini, bangunan-bangunan bergaya arsitektur Dinasti Tang bisa terlihat di kawasan Kansai seperti di Kyoto, Nara, dan Osaka, sementara bangunan Tiongkok kuno klasik yang sesungguhnya, justru telah punah dan binasa di negeri sendiri di bawah kekuasan komunis Tiongkok.

Renungan ketiga, kembali membahas「令和. Seorang sejarawan AS mengatakan, untuk pertama kalinya Jepang memilih memakai kitab klasik negerinya sendiri untuk menetapkan sebutan zaman, ini adalah penegasan akan nilai tradisional Jepang, ini adalah suatu keputusan penting.

Lalu, sebutan zaman baru pada kaitannya dengan puisi “Gui Tian Fu” atau “Lan Ting Xu Ji”, apakah akan menjadi temuan yang akan menimbulkan perasaan kikuk (bagi bangsa Jepang)?

Ketika pejabat Jepang mengangkat huruf kaligrafi「令和 dan memperlihatkannya pada dunia, yang terlihat adalah tulisan Kanji yang indah dan sakral, adalah makna mendalam yang terpancar dari balik tulisan aksara tersebut. Tulisan ini terdapat penghormatan suatu bangsa terhadap tradisi serta doa dan restu di dalamnya.

“Gui Tian Fu” dan Zhang Heng belum dihapus dari dalam kitab sastra Jepang. Sementara keindahan dari sumber aksara「令和」justru telah diinjak-injak, dibinasakan, dan didistorsikan di tanah leluhurnya.

Para leluhur dan pendahulu negeri Tiongkok yang telah menciptakan peradaban yang cemerlang, telah disematkan dengan predikat “takhyul” dan “naif” oleh komunis. Sejarah telah didistorsi, menjadi cacat dan tidak lagi sempurna, telah berubah wujud. Karya sastra, karya seni, agama, media sosial, semuanya telah terkungkung menjadi produk propaganda bagi partai komunis, tradisi moralitas dan nilai universal, telah dicabik-cabik, telah disangkal dan digantikan.

Sehingga kini, berkah「月」dari「景淑風 telah meninggalkan kita semakin jauh. Ada warganet Tiongkok mengatakan, “Bacalah buku.” Kita harus segera mengejar ketinggalan, membaca sejarah yang sebenarnya, menjaga tradisi yang berharga, kembali ke nilai-nilai universal kita. (WHS)