Mengapa Komunis Tiongkok Tebar Uang dan Undang Wartawan Asing ke Tiongkok?

Wu Xin

Beberapa tahun terakhir ini, Komunis Tiongkok menghabiskan milyaran dolar AS untuk memperkuat penyusupannya ke luar negeri. Salah satunya penyusupan di media massa.

Tidak sebatas mengeluarkan dana besar untuk ekspansi media resminya di luar negeri, Komunis Tiongkok juga menempuh berbagai cara menebar uang.

Cara ini dilakukan sebagai upaya mempengaruhi media massa dunia. Langkah ini bertujuan untuk mencegah mereka mengkritik Komunis Tiongkok. Tentunya sangat merugikan terhadap kebebasan pers global.

Salah satu caranya penyusupan terhadap media massa luar negeri adalah memberikan pelatihan bagi para wartawan asing itu agar “menceritakan hal yang baik-baik saja tentang Tiongkok”.

Namun para praktisi media yang telah menerima konsep media Barat tetap menceritakan fakta yang sesungguhnya tentang apa yang terjadi di Tiongkok.

Pada 25 Maret 2019 lalu, organisasi nirlaba Reporters Without Borders merilis laporan terbaru setebal 52 halaman yang berjudul “China’s Pursuit of a New World Media Order”.

Laporan ini mengungkap Komunis Tiongkok tengah menggunakan berbagai kebijakan, termasuk memperkuat komunikasi internasional dengan media resminya. Komunis Tiongkok memperluas ekspansi propaganda dengan iklan yang luas.

Laporan juga menyebutkan komunis Tiongkok menyusupi media massa luar negeri untuk menyebarkan pandangan dunianya.

Laporan secara garis besar memaparkan upaya Beijing memberikan pengaruh politik terhadap media massa internasional. Tak lain agar mencegah pemberitaan yang negatif dan bersifat kritis terhadap Komunis Tiongkok.

Sebelumnya majalah AS “Columbia Journalism Review” menerbitkan artikel yang ditulis oleh Andrew McCormick.  

Laporan ini mewawancarai beberapa praktisi media massa asing yang pernah menghadiri program pelatihan wartawan tersebut. Laporan meminta mereka menceritakan pengalaman dan apa yang mereka rasakan selama pelatihan.

Artikel itu menyebutkan, beberapa tahun terakhir ini, Komunis Tiongkok telah mengerahkan berbagai upaya untuk menyusupi media massa asing yakni : sasaran kantor berita Xinhua, media corong milik Komunis Tiongkok adalah mendirikan sebanyak 200 kantor cabang di tahun 2020.

Upaya lainnya adalah Perusahaan dari Tiongkok telah mendapatkan saham sejumlah perusahaan media di luar negeri. Langkah lainnya, pejabat diplomatik Komunis Tiongkok menulis di kolom surat kabar luar negeri.

Laporan menyebutkan, surat kabar “China Daily” membuat halaman sisipan di berbagai surat kabar asing. 

Upaya-upaya ini dilakukan di tengah kesepakatan bilateral antara Tiongkok dengan negara lain. Terkait hal ini, media massa acap kali dijadikan sebagai bidang kerjasama dan pertukaran yang krusial. 

Komunis Tiongkok juga mengeluarkan dana mengundang para pelaku media massa luar negeri untuk datang ke Tiongkok dalam rangka “belajar”.

Andrew McCormick mengungkapkan, Komunis Tiongkok menyelenggarakan Pusat Berita Tiongkok – Afrika dan Pusat Berita Tiongkok – Asia Pasifik dan berbagai aktivitas lainnya. Modusnya, menawarkan pelajaran tahunan, mengundang para wartawan luar negeri berkunjung ke Tiongkok.

Menurut pemberitaan Reportes Without Borders, setidaknya sebanyak lebih dari 3.400 orang pekerja media massa dari 146 negara telah mendapatkan pelatihan yang diberikan oleh Komunis Tiongkok dalam berbagai metode.

 Wakil Direktur Hongkong-China Media Project bernama David Bandurski berpendapat, sasaran Komunis Tiongkok tidak hanya sebatas memperindah citranya di luar negeri. Menurut David Bandurski : “Ini bertujuan untuk melindungi legalitas rezim, dan mengendalikan segala pemberitaan terhadapnya.”

Pendapatan Tinggi, Akomodasi Mewah, Ditambah Hiburan dan Uang Makan

McCormick menjelaskan, Februari lalu di sebuah auditorium di Beijing, sebanyak 50 orang wartawan mewakili 49 negara Asia Afrika menghadiri upacara pembukaan Pusat Berita Tiongkok – Afrika dan Pusat Berita Tiongkok – Asia Pasifik tahun 2019.

Dalam 10 bulan setelahnya, para wartawan tersebut akan mengikuti serangkaian mata pelajaran, termasuk Bahasa Mandarin, politik, ekonomi dan lain-lain.

Mereka akan mewawancarai langsung para pejabat pemerintah dan perusahaan, memberitakan aktivitas tersebut secara besar-besaran. Wartawan-wartawan ini juga mengikuti program magang berita di media massa yang terpilih.

Dana untuk program tersebut sangat besar, jarang ada biaya yang dihemat. Para wartawan ditempatkan di sebuah apartemen di pusat kota Beijing. Setiap bulan mendapat uang makan dan tunjangan hiburan. Mereka diajak berkunjung ke berbagai kota dan tempat wisata yang terkenal di seluruh dataran Tiongkok.

Yvonnie Akonda Sundu adalah seorang editor suatu perusahaan penerbit negara Malawi National Publishing Co. Ltd, dia telah mengikuti program itu di tahun 2017. Saat diwawancarai dia berkata, “Saya sudah tiga kali pergi ke Tiongkok. Dua kali sebelumnya dalam rangka seminar berita. Ketiga kalinya, kami pergi ke berbagai kota dan provinsi, seperti Shanghai, Shenzhen, Guangzhou, Xiamen, dan banyak tempat lainnya.”

Leticia Pogoriles adalah seorang wartawan budaya dan internasional merangkap editor dari Kantor Berita Nasional Argentina, Télam. Dari Mei hingga November 2017, melalui Pusat Berita Tiongkok-Amerika Latin dan Karibia, dia pergi ke Tiongkok untuk mendapatkan pelatihan.

Dia berkata, “Tempat tinggal kami di Beijing adalah di distrik yang sangat elit, kami hidup seperti orang kaya. Lalu suatu hari saya bertanya, ‘Baiklah, dimana orang-orang miskin tinggal?’ Mereka pun mengatur perjalanan kami ke sebuah desa pertanian di provinsi Sichuan. Di sana, saya berbincang-bincang dengan seorang nenek tua dengan nafas terengah-engah. Nenek itu mengatakan pada saya, jika pemerintah tidak memberinya bantuan medis dan obat-obatan, dirinya mungkin telah mati.”

Dia menyatakan, kemungkinan si nenek tua itu telah mendapatkan pelatihan, tahu apa yang harus dikatakan kepada orang asing.

Alpha Daffae Senkpeni berasal dari Monrovia, Liberia, ia adalah seorang wartawan dan editor dari surat kabar Liberia yakni “Front Page Africa”. Ia telah pergi ke Tiongkok sejak Februari 2017. Ia berkata, “Saya telah bekerja selama 6 minggu di divisi National Desk pada surat kabar ‘China Daily’, saya digaji sangat baik, lebih tinggi daripada gaji saya di Liberia.”

Mantan wartawan dari surat kabar “India Today” koresponden Tiongkok bernama Ananth Krishnan pada 24 November 2018 lalu menulis artikel di situs media India “The Print” yang menyebutkan, sejak 2016 lalu Kemenlu Tiongkok telah membuka program beasiswa media massa yang berdurasi 10 bulan setiap tahunnya.

Ananth Krishnan mengungkapkan, program tersebut khususnya ditujukan bagi wartawan asing yang berasal dari India, Pakistan, Bangladesh, serta negara Asia Tenggara dan juga negara Afrika.

Para wartawan asing akan mendapatkan perlakuan karpet merah selama berada di Tiongkok. Mereka tinggal di apartemen diplomatik mewah yang terletak di bilangan Jianguomen Beijing. Setiap bulan mendapat tunjangan setara 10,2 juta Rupiah.

Bahkan, setiap bulan dua kali wisata gratis ke berbagai provinsi di seluruh Tiongkok. mereka juga belajar kursus Bahasa Mandarin. Setelah program ini berakhir mereka akan mendapatkan gelar dalam hubungan internasional dari perguruan tinggi tertentu di Tiongkok.

Liputan Berita Tiongkok, Tak Terdengar Suara Kritik Terhadap Pemerintah

Artikel di “Columbia Journalism Review” menyebutkan, bagi pelaku media dari berbagai negara lain, ada semacam perasaan yang sama terhadap liputan berita Tiongkok, yakni tidak pernah mendengar suara kritikan terhadap pemerintah.

Bonface Otieno dari Kenya adalah seorang wartawan surat kabar “Business Daily”. Surat kabar tersebut adalah media cetak dari Nation Media Group yang merupakan perusahaan berita independent terbesar di Afrika Timur. Otieno ikut serta dalam kegiatan pelatihan tersebut di Tiongkok sejak bulan September 2017.

Otieno berkata, “Masalah pada orang-orang itu adalah, ketika Anda bertanya pada mereka sesuatu yang sensitif mereka akan merasa tersinggung. Kami ingin memahami mengapa media massa di Tiongkok tidak pernah mengkritik pemerintahnya. Kami bertanya, ‘Prinsip berita macam apa ini?’ Tapi saya merasa jawaban mereka simpang siur, dan tidak memuaskan.”

Otieno membeberkan : “Seorang rekan wartawan lain dari surat kabar sister company “Business Daily” di Kenya bersikeras melontarkan pertanyaan yang sifatnya mengkritik, lalu mereka mulai mengurangi waktu bicaranya dalam sesi diskusi. Tentu saja, kami tahu mereka tengah berusaha mengubah pandangan kami, tapi mereka tidak seharusnya begitu terang-terangan seperti ini.”

Senkpeni mengatakan, “Di Liberia, demokrasi adalah nyata, sebagai wartawan kami bisa melakukan hal yang kami sukai. Di Tiongkok, negara  mengendalikan apa yang diutarakan oleh media massa, tidak ada ruang untuk menyampaikan ketidak-puasan terhadap kebijakan pemerintah.”

Menulis Artikel Yang Lebih Nyata dan Tidak Ceritakan Hal Baik Tentang Komunis Tiongkok

Menurut Otieno, perjalanan ke Tiongkok telah membuatnya mengenal sejumlah orang Tiongkok, memahami hal yang tidak pernah dipahaminya sebelumnya.

Namun bagaimana pun juga, ia akan mempertahankan sikapnya menulis cerita yang sebenarnya tentang Tiongkok bagi para pembacanya. Ia tak melakukan dengan mengatakan cerita yang baik-baik saja tentang Tiongkok.

Senkpeni menyatakan, “Tujuan dirancangnya perjalanan wisata ini adalah menjual suatu citra baik tentang Tiongkok, memang benar, tapi saya tak berniat mengkhianati prinsip saya untuk digantikan dengan pandangan sejumlah orang di Tiongkok terhadap industri berita.”

Menurut Senkpeni : “Jika Tiongkok ingin mencapai suatu kesepakatan baik dengan Liberia, saya akan mendukung; tapi jika tidak sesuai dengan kepentingan kami, saya pun tidak akan mendukungnya. Baru-baru ini saya telah menulis artikel yang mengkritik Komunis Tiongkok secara keras, mereka berniat menguasai sumber daya alam kami, saya katakan, ‘Tidak, ini bukan transaksi yang baik.” Akhirnya transaksi itu pun batal.

Pogoriles mendapati, media massa di Tiongkok tidak bebas, para akademisi muda di Tiongkok sangat tak berdaya, dia berharap dapat melihat Tiongkok dengan lebih jelas.

Dia berkata, “Saya telah berbincang dengan banyak akademisi dan kaum muda di Tiongkok. Mereka tahu dimana mereka hidup sekarang, mereka juga tahu bagaimana dunia ini bekerja di Tiongkok, saya hanya merasakan perasaan ini bahwa disini tengah terjadi sesuatu.”

Komunis Tiongkok Sejak Dulu Telah Menyuap Wartawan Asing

Radio Free Asia (RFA) memberitakan, CEO wilayah Asia Timur dari Reportes Without Borders,  Cédric Alviani sebelumnya berpendapat, faktanya sejak 2016 Tiongkok telah memulai praktik menyuap para wartawan luar negeri.

Sejak 2011, Komunis Tiongkok telah mempublikasikan kebijakan mereka yang bertujuan mengatur dan mengendalikan tatanan media massa dunia.

Pada saat Komunis Tiongkok melakukan propaganda pada perusahaan di dalam negeri, Komunis Tiongkok juga menyebarkan suara pemerintah Komunis Tiongkok ke seluruh dunia dengan berbagai cara. 

Menurut Cédric Alviani, Komunis Tiongkok terus berupaya mempengaruhi penjelasan para wartawan tentang Komunis tiongkok. Cara mengundang wartawan asing ke Tiongkok dan memperlakukan mereka dengan istimewa seperti ini, tentunya merupakan salah satu cara pemerintah Tiongkok menjalin persahabatan atau membina pendukungnya. Tapi ini bukanlah cara satu-satunya. Dalam setahun terakhir, pemerintahan Komunis Tiongkok dan perusahaan Tiongkok terus secara aktif membeli saham media massa luar negeri.

Profesor ilmu politik dari Columbia University AS yakni Andrew Nathan menyebutkan, Komunis Tiongkok juga menempuh cara memberikan berita tanpa biaya ke berbagai media massa untuk memperbesar pengaruhnya di luar negeri. (SUD/WHS/asr)

FOTO : Pesawat Malaysia Airlines bersiap mendarat di Bandara Internasional Kuala Lumpur di Sepang, di luar Kuala Lumpur pada 21 Juli 2014. (MOHD RASFAN / AFP / Getty Images)