Musuh Amerika Serikat Adalah Komunis Tiongkok Bukan Tiongkok

Xie Tian

Seratusan pejabat oposisi politik, ekonomi, militer, diplomatik, juga para akademisi dan pakar, melayangkan surat bersama yang dimuat di surat kabar “Washington Post”.  Surat itu dikirim tepat pada hari kemerdekaan Amerika Serikat tahun ini, 4 Juli 2019.

Judul surat itu adalah “China is not an enemy”. Para penulis itu berpendapat, kebijakan Trump terhadap Tiongkok sekarang ini sangat “tidak sesuai” dengan kepentingan  Amerika Serikat.

Surat itu ditujukan pada presiden dan kongres  Amerika Serikat. Beberapa penulis antara lain adalah dosen ilmu politik dari MIT yakni M. Taylor Fravel, mantan Dubes AS untuk Tiongkok, J. Stapleton Roy, peneliti dari Carnegie Foundation, Michael D. Swaine, dosen kehormatan Harvard University, Ezra Vogel, mantan asisten Menlu untuk Asia Pasifik, Susan A. Thornton dan lain-lain. 

Dalam surat itu disebutkan: “Kami sangat khawatir akan semakin memburuknya hubungan Amerika Serikat dengan Tiongkok. Ini tidak sesuai dengan kepentingan Amerika Serikat atau seluruh dunia. Walaupun perilaku Beijing belakangan ini membuat kami was-was, dan memang perlu ditanggapi secara tegas. Namun kami berpendapat, sejumlah tindakan Amerika sekarang ini, adalah penyebab langsung memburuknya hubungan kedua negara secara drastis.”

Penulis surat dan orang yang ikut menandatanganinya mayoritas pernah menjabat posisi tinggi, atau memiliki pengalaman sangat mapan. Mereka adalah sekelompok orang yang terhormat. 

Mereka mengaku tidak berniat memanfaatkan gelar dan status mereka sebelumnya sebagai alat untuk membujuk. Pencantuman instansi tempat mereka bekerja hanya untuk membuktikan status diri saja. Dengan demikian masyarakat tidak perlu mempedulikan latar belakang dan hanya fokus menilai opini mereka, apakah sesuai dengan logika dan pengetahuan atau tidak. 

Setelah membaca surat ini, tanpa mengurangi rasa hormat, dan berbicara secara bergurau, seperti kata pepatah, sang kaisar saja tidak cemas tapi kasimnya lebih cemas! 

Pemerintahan Trump juga tidak mengatakan bahwa Tiongkok adalah musuh bagi  Amerika Serikat, tapi mengapa mereka berkata demikian? 

Di saat seluruh dunia telah membedakan antara negeri Tiongkok dengan Komunis TIongkok dan pemerintahannya secara jelas, mengapa para pakar itu justru masih dengan sengaja mencampur-adukkan keduanya?

Pemerintah Trump tidak hanya tidak pernah mengatakan bahwa Tiongkok adalah musuh Amerika Serikat. Sebaliknya justru secara terbuka telah berkali-kali mengatakan: Perang dagang tidak ditujukan terhadap rakyat Tiongkok, melainkan ditujukan pada “rezim” di Tiongkok saat ini.

Dengan kata lain sasarannya adalah: Komunis TIongkok. Para penulis surat itu tidak sedikit yang merupakan tokoh kalangan akademisi. Hal yang pertama dipertimbangkan adalah definisi yang jelas terhadap suatu konsep, yakni dapat membedakan antara Tiongkok, rakyat Tiongkok, dan rezim di Tiongkok sekarang. Jika tidak mampu membedakan hal ini, berarti tidak teliti dalam hal akademis. Namun mencampur-adukkan konsep antara “Tiongkok” dengan “Komunis TIongkok”. Hal itu menyebabkan masyarakat luas salah memahaminya.

Di masa Perang Dunia kedua, Amerika hanya menganggap pasukan SS Hitler dan militerisme Jepang sebagai musuhnya. Tidak menjadikan keluarga kerajaan Jepang yang merupakan simbol negara Jepang, sebagai musuhnya. Tidak pernah menganggap rakyat Jerman dan rakyat Jepang sebagai musuh. Musuh di masa Perang Dingin adalah rezim Uni Soviet, dan bukan rakyat Uni Soviet.

Yang harus digarisbawahi adalah, pandangan pada surat itu mewakili pandangan kalangan politik dan akademisi Amerika Serikat juga sebagian kalangan opini publik. Tapi bukan pandangan arus utama pemerintah, rakyat dan kongres Amerika. 

Jelas pandangan itu juga sangat tidak sejalan dengan arus utama politik Amerika saat ini. Karena kebijakan Trump terhadap  Tiongkok mendapat dukungan luas dari masyarakat Amerika. Di kalangan massa Partai Republik mendapat dukungan lebih tinggi lagi. 

Demikian juga pemimpin Partai Demokrat, termasuk 25 capres dari Partai Demokrat yang akan bersaing di pilpres 2020 mendatang juga tidak ada yang menentangnya. Bahkan secara nyata ikut mendukung kebijakan Trump. Banyak anggota Partai Demokrat yang berpendapat itu masih belum cukup, masih harus diperkuat lagi.

Surat terbuka memaparkan 7 teori, juga mengakui banyak cara-cara tidak terpuji Komunis TIongkok. 

Tapi para penulis tidak merasa bahwa rezim Beijing adalah musuh ekonomi Amerika, atau membahayakan keamanan Amerika. 

Rezim Beijing lewat cara perdagangan dan mencuri telah mendapatkan teknologi tinggi Amerika Serikat. Sebaliknya uang yang didapat dan tindakan militer mereka yang digunakan lewat perwakilan internasional, justru telah menciptakan ancaman besar terhadap lapangan kerja, struktur industri, dan keamanan negara Amerika.

Surat terbuka itu membuat prediksi pada kebijakan Amerika Serikat terhadap Tiongkok dan pengaruhnya bagi Amerika, yang isinya sangat tidak tepat. 

Perang dagang sampai hari ini, telah menohok perekonomian Tiongkok dan rezim Komunis Tiongkok, telah memaksa pihak Beijing tunduk, dan kembali ke meja perundingan.

Sementara terhadap perekonomian Amerika Serikat, justru berkembang menjadi semakin kuat. Perang dagang telah membuat Amerika  semakin kuat. Ekspansi Komunis Tiongkok terhambat, program Made in China 2025 dan One Belt One Road hampir gugur sebelum sempat dilahirkan. 

Berbalikan dengan pandangan pada surat terbuka itu, Amerika Serikat tidak berniat menghalangi perkembangan Tiongkok. Pemerintah Amerika telah berkali-kali menyatakan, ingin melihat pertumbuhan normal perekonomian Tiongkok. Namun mudah terlihat, hal itu baru akan benar-benar terwujud pada Tiongkok pasca Amerika Serikat.

Surat terbuka menyebutkan bahwa Amerika takut Tiongkok akan menggantikan Amerika Serikat menjadi pemimpin dunia.  Surat terbuka menganggap Trump melakukan satu kesalahan, yakni “menyerang negara sekutu di segala penjuru”. Itu juga salah. Beberapa presiden Amerika Serikat  sebelumnya membiarkannya merajalela, menyebabkan banyak negara memanfaatkan Amerika  dalam hal bea masuk dan perdagangan. 

Walaupun pemanfaatan negara lain terbilang sangat kecil jika dibandingkan pemanfaatan oleh Komunis Tiongkok, tapi jika Trump tidak “menyerang ke segala penjuru” maka tidak akan ada pijakan supremasi hukum internasional dan prinsip keadilan. 

Oleh karena Amerika Serikat tidak mungkin hanya memilih pelanggar tertentu, hal itu dapat membuat Komunis Tiongkok yang paling merugikan Amerika, memiliki dalih sehingga Amerika tidak akan bisa secara tegas menciduk dan menghancurkan pondasi ekonomi Komunis Tiongkok. 

Amerika Serikat “tidak pandang bulu” terhadap semua negara sekutu yang memanfaatkan kesempatan terhadap Amerika, Akibatnya semua negara itu dengan cepat segera mencapai kesepakatan baru dengan Amerika. Misalnya saja seperti Kesepakatan Amerika Serikat dengan Meksiko yang baru, memaksa Komunis TIongkok tidak mendapat dukungan internasional dari mana pun saat dipojokkan oleh Amerika. Meskipun pejabat diplomatik Tiongkok juga menggalang dukungan ke segala penjuru, seperti meminta dukungan Meksiko, Kanada, dan Uni Eropa, tetap gagal. 

Surat terbuka menganggap kebijakan Trump tersebut telah “menjadikan Komunis Tiongkok sebagai musuh.” Itu juga suatu kesalahan besar. Justru itu merupakan sisi yang paling bijak dari kebijakan Trump terhadap Tiongkok. 

Lewat perang dagang yang mungkin akan diikuti dengan perang finansial, perang ekonomi, perang teknologi, perang HAM, Trump tidak “menjadikan Komunis Tiongkok  sebagai musuh”, melainkan memisahkan “Komunis Tiongkok ” dari negeri Tiongkok. Mengucilkan Komunis Tiongkok dari tengah rakyat Tiongkok. 

Saat ini pemisahan itu relatif berhasil, telah “menjadikan Komunis Tiongkok sebagai musuh”. Cara seperti itu, membuat Komunis Tiongkok tidak akan bisa menyeret rakyat Tiongkok untuk menjadi tamengnya dan tidak akan bisa menyeret rakyat Tiongkok masuk ke liang kubur bersama Komunis Tiongkok.

Itu  akan membuat Amerika Serikat dan masyarakat keadilan internasional dapat membidik Komunis Tiongkok secara lebih akurat. (SUD/whs/rp/asr) 

Frank Tian Xie, Ph.D Adalah profesor di John M. Olin Palmetto di University of South Carolina Aiken, di Aiken, South Carolina, Amerika Serikat.