Apakah Demonstrasi Hong Kong Dapat Diartikan Berakhirnya Partai Komunis Tiongkok?

Steven W. Mosher

Demonstrasi terbesar dalam sejarah Tiongkok terjadi di Hong Kong padal tanggal 16 Juni. Diperkirakan 2 juta orang, atau lebih dari seperempat populasi kota Hong Kong yang berjumlah 7,3 juta, turun ke jalan.

Skala pembangkangan Hong Kong adalah sangat menakjubkan. Sebagai perbandingan, demonstrasi yang sebanding di Amerika Serikat akan memiliki sekitar 100 juta demonstran.

Pemicu langsung protes itu adalah undang-undang ekstradisi yang, jika disahkan, akan membuat semua orang di Hong Kong — bahkan penumpang transit di terminal maskapai internasional — berisiko dideportasi ke Tiongkok untuk diadili dalam sistem pengadilan yang dikendalikan komunis di sana.

Agar  jangan salah menilai, target sebenarnya dari kemarahan Hong Kong adalah Komunis Tiongkok. Ini dikarenakan selama bertahun-tahun Komunis tiongkok telah memperketat kendali di salah satu kota paling kosmopolitan – dan bebas – di dunia. Dan semua orang di Tiongkok tahu akan hal itu.

Ketika rezim Komunis Tiongkok secara sepihak mengubah sistem pemilihan kota Hong Kong pada tahun 2014 untuk menyaring calon pemimpin Hong Kong, warga Hong Kong turun ke jalan dalam protes besar-besaran yang disebut Revolusi Payung. Namun, perubahan tetap terjadi, dan calon favorit Beijing, Carrie Lam, menang.

Komunis Tiongkok menaikkan taruhan lebih lanjut pada tahun 2017 dengan menolak Perjanjian Sino-Inggris. 

Perjanjian Sino-Inggris yang asli “menjamin” bahwa kota Hong Kong akan menikmati pemerintahan sendiri di bawah prinsip “satu negara, dua sistem” hingga tahun 2047. 

Tetapi ketika warga Hongkong mengeluhkan adanya gangguan politik lokal yang berkelanjutan oleh Komunis Tiongkok, mengutip Perjanjian Sino-Inggris, pejabat senior komunis Tiongkok menolak keluhan warga Hongkong dengan mengatakan bahwa Perjanjian Sino-Inggris hanya memiliki “nilai historis.”

Tindakan yang lebih melanggar hukum terjadi tidak lama setelah itu. Lima penjual buku Hong Kong direnggut dari jalanan Hong Kong dan Canton oleh agen-agen Komunis Tiongkok. 

Apakah kejahatan yang dilakukan para penjual buku tersebut? Mereka menjual — di Hong Kong — buku-buku yang telah dilarang di Tiongkok karena menempatkan Xi Jinping dan Komunis Tiongkok dalam kondisi buruk.

Tetapi strategi lama Komunis Tiongkok “membunuh satu untuk memperingatkan seratus” tidak berhasil dengan baik pada warga Hong Kong yang bebas. 

Penculikan warga Hongkong dari jalanan kota mereka sendiri malah memperkuat tekad mereka untuk menentang perambahan lebih lanjut atas kebebasan yang dijanjikan. Perjanjian ekstradisi yang diusulkan akan ditentang oleh mereka.

2 Juta demonstran yang turun ke jalan berasal dari berbagai kalangan, tetapi memiliki satu kesamaan. 

Mereka hampir semuanya adalah keturunan dari jutaan orang Tiongkok Daratan yang melarikan diri dari pemerintahan komunis sejak tahun 1940-an, demi keamanan relatif pemerintahan kolonial Inggris. 

Mereka berkembang pesat di pasar bebas Hong Kong. Mereka sedikit diperintah oleh pegawai negeri yang berpegang pada aturan hukum, sangat kontras dengan sisi lain dari perbatasan dengan Tiongkok. Yang dulu dan sekarang diperintah oleh oligarki komunis yang korup, dan peradilan yang sama korupnya.

Jika tindakan yang diambil oleh warga Hongkong adalah jelas – mereka menyadari mereka harus menentang perambahan lebih lanjut oleh Komunis Tiongkok pada hak-hak dasar mereka – adalah jauh dari jelas bagaimana Xi Jinping akan merespons – tetapi Xi Jinping harus menanggapi.

Menyusul kepergian Inggris pada tahun 1997, Beijing memindahkan pasukannya ke Hong Kong. 

Tetapi selama 20 tahun terakhir, pasukan ini telah kembali ke barak mereka. Tidak pernah sekali pun dipanggil untuk berurusan dengan episode berkala keresahan publik terhadap tindakan sombong Tiongkok.

Hong Kong pada tahun 2019 bukanlah Beijing pada tahun 1989. Bukannya sebuah kontingen kecil wartawan asing yang dapat ditakuti dan dikumpulkan di satu hotel. Ada ratusan wartawan yang tinggal di salah satu kota paling kosmopolitan di planet ini. Ada puluhan, jika bukan ratusan, dari ribuan warga Hong Kong yang tidak ragu untuk memposting di internet setiap kekejaman yang dilakukan oleh Komunis Tiongkok.

Pembantaian di depan mata seluruh dunia akan menjadi kegagalan dari mana Komunis Tiongkok, maupun Hong Kong, akan pulih.

Penerapan langsung kekuatan sebagian besar dikesampingkan oleh faktor lain juga. Hampir semua elit komunis yang korup telah memarkir sebagian pundi-pundi hasil korupsi mereka di Hong Kong, berinvestasi di real estat atau pasar saham di sana. Bagi mereka, dan bagi Tiongkok secara keseluruhan, Hong Kong adalah angsa yang bertelur emas.

Mengakhiri status terpisah Hong Kong — baik melalui aksi militer secara langsung atau melalui pencekikan yang lambat dan berkelanjutan —pada dasarnya, akan membunuh “si angsa bertelur emas.” 

Peran kota Hong Kong sebagai pusat keuangan regional akan berakhir dengan tiba-tiba, saham lokal dan real estat pasar akan ambruk, dan Xi Jinping akan membuat banyak anggota aristokrasi komunis semakin tidak puas dengan pemerintahannya yang berat daripada pendahulunya.

Tangan Xi Jinping bagaikan diikat di wajah pembangkangan ini, yang menyebabkan ia terus kehilangan muka setiap hari. 

Jika ia memerintahkan badan legislatif Hong Kong untuk mengeluarkan undang-undang ekstradisi, maka Hong Kong akan kembali membara. Jika ia memberitahu Carrie Lam dan antek-anteknya yang lain untuk menarik hukum tersebut, ia akan terlihat lemah.

Bila dibiarkan tanpa pilihan yang baik, Xi Jinping dengan tak berdaya melihat jutaan rakyatnya memilih di jalan tidak hanya untuk menentang kebijakannya, tetapi juga menentang pemerintahannya yang berkelanjutan.

Masalah Xi Jinping saat ini di Hong Kong sangat diperparah oleh kebuntuan perang dagang saat ini dengan Amerika Serikat. Di sini, juga, Xi Jinping menghadapi pilihan Hobson, yaitu pilihan bebas yang hanya ada satu opsi yang dipilih.

Jika Xi Jinping sejalan dengan tuntutan Amerika Serikat untuk perdagangan yang adil — yang berarti menghormati hak properti, supremasi hukum, dan membentuk peradilan yang tidak memihak — maka ia melemahkan kendali Komunis Tiongkok atas masyarakat.

Jika, di sisi lain, Xi Jinping menolak reformasi besar-besaran seperti itu, tanpa diragukan lagi Presiden Amerika Serikat Donald Trump akan mengancam menaikkan tarif pada semua barang buatan Tiongkok. 

Jika ini terjadi, maka seluruh sektor ekspor ekonomi Tiongkok — satu-satunya sektor yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip pasar dan benar-benar menghasilkan untung — akan berkurang, karena perusahaan memindahkan pabriknya ke negara lain untuk menghindari tarif.

Akibat yang akan ditanggung bila menolak mengendurkan cengkeraman Komunis Tiongkok pada kekuasaan, akan mengakibatkan ekonomi Tiongkok semakin melemah, yang kini sudah menunjukkan tanda-tanda ketegangan serius.

Apa pun keputusan yang diambil Xi Jinping di Hong Kong atau dalam pembicaraan perdagangan dengan Donald Trump, ia akan menciptakan permusuhan pada saat ia hampir tidak mampu melakukannya. 

Akankah warga di kota-kota lain di Tiongkok mengambil jalan kebebasan? Mungkin saja. 

Tetapi yang lebih mungkin adalah upaya bersama oleh faksi lain di internal Partai Komunis Tiongkok untuk mengambil keuntungan dari kelemahan Xi Jinping saat ini untuk mengurangi pengaruhnya, jika tidak mencopotnya dari jabatan.

Meskipun tergoda untuk duduk dan menonton permainan ini secara real time, Amerika Serikat harus tetap waspada terhadap kemungkinan lain: Bahwa Komunis Tiongkok, untuk mengalihkan perhatian dari masalah domestiknya, dapat memutuskan untuk menghajar Amerika Serikat. 

Ini mungkin mengambil bentuk yang mendorong Little Rocket Man untuk melakukan yang terbaik, yaitu, menembakkan satu atau dua rudal balistik. Atau mungkin menenggelamkan beberapa kapal penangkap ikan Filipina di Laut Tiongkok Selatan, akibatnya memanggil Amerika Serikat datang untuk membantu mitra sekutunya. 

Atau bahkan, untuk membungkam pengkritiknya, melancarkan invasi, atau setidaknya pura-pura menggertak Taiwan.

Apa pun tindakan yang diputuskan Komunis Tiongkok untuk diambil, tidak akan ada pertanyaan mengenai satu hal: Tidak ada rezim komunis yang mampu membiarkan pertunjukan pembangkangan publik sebesar dan mengesankan seperti yang dilakukan oleh warga Hongkong untuk tidak direspon. Terutama tidak ketika itu terjadi pada saat kepemimpinan Partai Komunis Tiongkok di bidang lain dipertanyakan.

Apakah Komunis Tiongkok bermaksud atau tidak menghancurkan Hong Kong sebagai pusat komersial yang bergelora, dan sebagian besar bebas? badai sempurna yang kini berputar di atas  Komunis Tiongkok dapat berarti kehancuran politik Partai Komunis Tiongkok itu sendiri.

Steven W. Mosher adalah President of the Population Research Institute dan penulis buku  “Bully of Asia: Why China’s Dream is the New Threat to World Order”