“Goliat Merah”, Sebuah Bayangan Hitam Dampak Globalisasi Ekonomi

Cheng Xiaonong

Telah muncul bayang-bayang raksasa dari globalisasi ekonomi. Setelah bergabung dalam globalisasi ekonomi, Komunis Tiongkok menjadikan globalisasi ekonomi sebagai alatnya untuk menguasai dunia. Namun demikian masih banyak terdapat akademisi Barat yang salah meyakini bahwa globalisasi ekonomi akan mengarahkan Komunis Tiongkok ke jalan demokratisasi.

Saat ini kesepakatan perdagangan Amerika Serikat yang baru telah mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan akibat globalisasi ekonomi terhadap Amerika, di saat yang sama mengantisipasi ambisi strategis Komunis Tiongkok.

Berikut ini beberapa topik yang berkaitan dengan globalisasi ekonomi.

Pertama. Salahkah Globalisasi Ekonomi?

Selama ini, globalisasi ekonomi dipandang sebagai simbol kemajuan dan pencapaian tertinggi umat manusia. Di mata kaum sayap kiri, globalisasi ekonomi bahkan telah dikenakan dengan mahkota “pembenaran politik”, seolah siapa pun yang mengkritik globalisasi ekonomi, berarti telah melakukan tindakan “tidak benar”.

Sejak terjadinya pergesekan dan konflik dagang Amerika dengan Tiongkok, berdalih untuk melindungi globalisasi ekonomi, hampir serentak timbul kecenderungan itu. Mulai dari para ekonom Barat sampai media massa Amerika penentang Trump, dari pemerintahan berbagai negara di Eropa dan Asia sampai mayoritas perusahaan di kalangan bisnis Amerika Serikat, walaupun penyampaiannya berbeda, tapi pada dasarnya bernada sama. Mereka berharap agar globalisasi ekonomi dapat kembali ke kondisi semula, jangan memberlakukan tarif masuk pada  Tiongkok, karena akan berdampak pada stabilitas ekonomi dunia.

Surat kabar “New York Times” pada 16 Mei 2019 lalu dalam artikel berjudul “Meningkatnya Perang Dagang Ancam Ekonomi Global”, adalah contoh tipikal pandangan seperti itu. Dengan begitu banyak suara senada, apakah berarti mereka mewakili suatu penilaian yang benar? Justru sebaliknya, suara mereka sebenarnya mewakili pandangan keliru yang terbentuk selama bertahun-tahun.

Akar dari pandangan yang salah itu  adalah pemahaman yang keliru terhadap kelemahan alami pada globalisasi ekonomi dan orientasi sistem Komunis Tiongkok. Pandangan yang salah itu sengaja mengabaikan akibat buruk yang ditimbulkan oleh masuknya suatu tubuh ekonomi super besar yang didominasi oleh pemerintahan otoriter ke dalam globalisasi. Juga mengabaikan dampak negatif terhadap negara asal oleh perusahaan multinasional yang membangun pabrik di luar negeri.

Setelah Perang Dunia Kedua, negara dunia ketiga berbondong-bondong memerdekakan diri, sebagian di antaranya, khususnya negara Asia, satu persatu melaju di jalur pertumbuhan ekonomi yang pesat. Globalisasi ekonomi pun perlahan terbentuk dari proses seperti itu.

Dalam tingkatan budaya, arus utamanya adalah pengaruh peradaban Barat dan budaya bisnisnya terhadap negara berkembang. Tapi jika melihat investasi dan perdagangan internasional, adalah investasi dan teknologi negara maju beralih ke negara yang cocok untuk investasi, dan produk murah dari negara berkembang membanjiri negara maju.

Negara berkembang mana yang berhasil melompat naik ke gerbong globalisasi ekonomi, maka perekenomian negara itu akan makmur. Jika demikian, bukankah itu berarti globalisasi ekonomi merupakan peta perekonomian internasional dimana negara berkembang dan negara maju sama-sama menang?

Dalam masyarakat internasional hingga saat ini, globalisasi ekonomi tidak berubah, juga tidak mungkin batas negara dihapuskan. Batas negara menandakan pemerintah suatu negara harus melindungi kesejahteraan rakyatnya, dan bukannya mengutamakan kebutuhan warga negara lain di luar batas negaranya.

Di sisi lain, warga pemilih memberikan suara dalam pemilu di negara demokrasi untuk memilih pemerintahan negaranya sendiri, dan bukan pemerintahan seluruh dunia. Kriteria utama mereka memilih pemerintahan negaranya adalah partai berkuasa apakah mampu melindungi kesejahteraan rakyatnya, dan bukan mengorbankan kesejahteraan rakyat negerinya sendiri untuk mewujudkan sasaran global yang hendak dicapai oleh pemerintah.

Persis dalam hal ini, pemahaman para ekonom Barat mengalami kebutaan. Mereka hanya mengenali globalisasi ekonomi dari sudut pandang ekonomi mikro, hanya melihat kelebihan dari globalisasi ekonomi ini dari sudut pandang bisnis, dan melupakan masalah kepentingan warga pemilih di setiap negara.

Kesalahan itu  tertuang dalam dua sisi:

Pertama, para ekonom Barat mempercayai bahwa dalam perdagangan bebas global dan investasi global, perusahaan akan mengejar keuntungan terbesar, dan memberikan energi terbesar bagi ekonomi dunia. Tetapi, jika yang terjun di dalam globalisasi ekonomi bukan hanya perusahaan Barat, melainkan juga ada pemerintah otoriter seperti   Tiongkok, maka perusahaan Barat di Tiongkok yang telah terbelenggu oleh pemerintah Komunis Tiongkok, bagaimana bisa menang melawan pemerintah Tiongkok?

Kedua, dengan berinvestasi dan mengalihkan produksinya di negara berkembang, perusahaan dari negara maju memang dapat menurunkan biaya produksi dan meningkatkan keuntungan. Akan tapi tindakan berbarengan banyak perusahaan sekaligus itu kemungkinan akan dapat menyebabkan lapangan kerja di negara asalnya menyusut drastis.

Perusahaan-perusahaan itu setelah mendapat keuntungan dari globalisasi, belum tentu akan membayar pajak yang sesuai pada negara asalnya. Ketika mereka memanfaatkan pusat finansial lepas pantai – offshore financial center untuk menggelapkan pajak, perusahaan tentunya mendapat keuntungan. Akan tapi para wajib pajak di negara asalnya dirugikan, karena pendapatan keuangan pemerintah negara asalnya tidak mencukupi, hanya bisa mengandalkan hutang, yang harus dilunasi oleh wajib pajak di kemudian hari.

Kedua. Tubuh Ekonomi Super Besar Pemerintah Otoriter Akan Kendalikan Globalisasi Ekonomi

Para ahli ekonomi Barat sama sekali tidak pernah mempertimbangkan tidak stabilnya ekonomi di tingkat makro antar negara ke dalam dampak negatif dari globalisasi ekonomi. Itu  adalah kesalahan lain yang mereka lakukan. Akan tetapi, hingga saat ini proses globalisasi ekonomi di tahap awal telah memperlihatkan kemungkinan akibat dari dikendalikannya globalisasi ekonomi oleh tubuh ekonomi super besar pada pemerintahan otoriter semacam ini.

Jika sebuah tubuh ekonomi super besar dengan tenaga kerja sebesar 1/6 dari seluruh dunia bergabung ke dalam globalisasi ekonomi, maka tubuh ekononomi super besar ini dapat membentuk mata rantai industri yang sempurna lewat menarik investasi dan teknologi dari berbagai negara. Lalu menggunakan produk harga murah menjatuhkan perusahaan produsen negara maju dan menguasai pasar global, pada akhirnya menciptakan ketergantungan ekonomi seluruh dunia terhadap ekonomi negara tersebut.

Walaupun dilihat dari sudut pandang perdagangan internasional yang sederhana, situasi semacam itu akan sulit dilanjutkan, karena akan mengakibatkan industri produksi banyak negara menyusut dan defisit perdagangan yang serius. Pada akhirnya menyebabkan kesulitan bayar internasional.

Pada saat itu, tubuh ekonomi super besar itu pun tidak akan bisa mendapatkan keuntungan. Di sisi lain, negara-negara yang jangka panjang tergantung pada produk dari Tiongkok, industri produksi di negaranya akan lenyap, impor produk dari  Tiongkok dan kekurangan devisa asing.

Selain secara politik memohon bantuan dari Komunis Tiongkok, dikendalikan oleh   Tiongkok, tidak ada pilihan lain. Dilihat secara jangka panjang, situasi seperti itu apakah merupakan peta politik ekonomi internasional dimana kedua pihak sama-sama menang, atau hanya satu pihak saja yang menang? Jawabannya mudah ditebak.

Dilihat selangkah lebih maju, jika pemerintahan yang mengendalikan tubuh ekonomi super besar itu  adalah pemerintahan otoriter merah atau komunis, maka pemerintahan seperti itu memiliki sasaran strategis ideologi, yakni “sosialisme pada akhirnya mengalahkan kapitalisme”. Diterapkan hingga tingkat pelaksanaan, pemerintahan yang mendominasi tubuh ekonomi super besar itu memiliki sasaran strategis global, akan menyasar negara demokrasi terbesar dan utama di dunia. Berusaha melemahkannya dari segala aspek, menyerangnya, dan sasaran itu tidak lain adalah Amerika Serikat.

Cara untuk melemahkan dan menyerang Amerika Serikat adalah memanfaatkan pasar dalam negeri yang dikuasai oleh pemerintahan otoriter yang mengendalikan tubuh ekonomi super besar itu dan mengancam Amerika  dengan kapasitas produksi yang terakumulasi dalam proses globalisasi ekonomi.

Perang dagang Amerika dengan Tiongkok kali ini adalah satu kali latihan perang nyata. Pemerintah Beijing tidak hanya berupaya membuat perusahaan Amerika yang mengimpor produk dari   Tiongkok untuk melakukan lobi, dan secara langsung berhenti atau mengembalikan impor produk pertanian Amerika, untuk secara tak langsung mengendalikan pilpres Amerika Serikat.

Saat ini kedua pihak menghadapi semacam situasi internasional yang belum pernah ada sepanjang sejarah, yakni, walaupun Amerika menghadapi berbagai invasi Komunis Tiongkok, tapi tidak bisa seperti dalam menghadapi Uni Soviet tempo hari. Dengan menggunakan taktik perang dingin yang relatif lebih sederhana menghadapinya, karena Komunis Tiongkok sudah sangat lama bergabung di dalam globalisasi ekonomi.

Ekonomi Tiongkok dengan ekonomi Amerika  telah membentuk situasi saling terkait. Pergesekan kedua pihak begitu memuncak, maka masing-masing pihak dapat mengalami guncangan.

Ketiga.  WTO vs. Komunis Tiongkok: Siapa Mengekang Siapa?

Negara Barat pernah mengira, setelah Komunis Tiongkok bergabung dalam World Trade Organization – WTO, maka dengan sendirinya akan menepati janjinya di awal. Itu  adalah suatu ilusi yang dialami oleh pemerintah berbagai negara WTO, bahkan, mereka secara konyol memercayai, setelah bergabung dengan WTO, Komunis Tiongkok akan memilih jalan demokratisasi.

Sekarang ini lebih tepat jika dikatakan, Komunis Tiongkok dengan aksi nyatanya telah menciptakan preseden sukses mempermainkan WTO. Mayoritas negara anggota WTO yang mendahulukan kepentingan jangka pendeknya, tidak ingin berurusan dengan Komunis Tiongkok. Akibatnya WTO terus menerus mengalah terhadap Beijing yang melanggar peraturan.

Dilihat dari makna ini, WTO telah kehilangan kemampuan kekangnya terhadap terjadinya pelanggaran, nilai eksistensinya pun lantas patut diragukan.

Sebelum Komunis Tiongkok mendorong marketisasi ekonomi, ekonomi pasar, globalisasi ekonomi sudah dimulai sejak lama, tapi belum mengalami tantangan berat. Penyebabnya tidak hanya karena negara yang menjadi pesertanya pada dasarnya adalah masyarakat bebas, juga karena bukan negara besar, selain tidak berambisi menantang peraturan internasional, juga tidak mampu menantang peraturan internasional.

Ketika globalisasi ekonomi menjadikan Tiongkok sebagai negara rekan kerjasamanya yang penting, maka terjadilah perubahan yang besar di sini. Globalisasi ekonomi tadinya adalah wadah kerjasama perusahaan multinasional antar negara liberal. WTO sebagai wadah kerjasama ekonomi menyediakan peraturan yang menjaminnya. Hal yang perlu ditekankan secara khusus adalah, globalisasi ekonomi bukan kerjasama ekonomi antar pemerintah, melainkan kerjasama antar para perusahaan dari negara yang berbeda.

Hal itu menjadi sangat penting, karena negara yang terlibat dalam globalisasi ekonomi adalah negara liberal. Yang dimaksud negara liberal atau negara bebas adalah, selain menerapkan ekonomi pasar, pemerintahannya tidak akan secara langsung mengendalikan kegiatan ekonominya, juga tidak akan memanfaatkan kekuasaan pemerintah mengendalikannya untuk mencapai tujuan global pemerintah. Dengan kata lain, negara liberal ikut ambil bagian dalam globalisasi ekonomi. Pada dasarnya tidak akan menjadikan globalisasi ekonomi sebagai alat bagi pemerintahan tersebut untuk menguasai dunia.

Oleh karena itu, peraturan yang ditetapkan oleh WTO tidak pernah terpikirkan, bagaimana mencegah salah satu negara anggotanya yang dilindunginya dalam globalisasi ekonomi menjadi ancaman ketertiban politik ekonomi dunia. Di balik masa depan indah globalisasi ekonomi seperti ini, masih terpendam sebuah impian kaum sayap kiri terhadap seluruh dunia, yakni menyatukan dunia.

Sangat disayangkan, karena keluguan dan kenaifan para negara utama demokrasi di dunia, globalisasi ekonomi telah menanamkan “ranjau darat” bagi dirinya sendiri yang pasti akan meledak sewaktu-waktu.

Yang dimaksud dengan lugu dan naif, mencakup dua sisi.

Pertama, mengira semua negara yang mendorong marketisasi ekonomi adalah negara yang beraliran demokrasi liberal.

Kedua, mengira setelah perang dingin berakhir di dunia ini tidak akan ada kemungkinan realita muncul lagi negara besar yang akan menjadi ancaman bagi ketertiban politik ekonomi dunia.

Memang benar, Uni Soviet di masa perang dingin selalu mengancam perdamaian dan ketertiban dunia, tapi Uni Soviet menolak ekonomi pasar. Oleh sebab itu negara anggota Uni Soviet, baik besar maupun kecil, tak akan menjalin kerjasama ekonomi menyeluruh jangka panjang dengan perusahaan antar negara liberal.

Setelah Uni Soviet runtuh, banyak tokoh Barat yang naif beramai-ramai mengangkat tangan merayakan, mengira sejak saat itu di dunia tidak akan ada lagi negara otoriter besar yang dapat mengancam perdamaian dan ketertiban dunia. Di mata mereka, karena telah mendorong ekonomi pasar,   Tiongkok cepat atau lambat akan bergabung dalam dunia bebas. Itu dalih pembelaan diri “kaum pemeluk panda” dari Amerika Serikat dan Eropa.

Kesalahan terbesar mereka terletak pada, sebelum Komunis Tiongkok memutuskan bergabung dengan WTO mereka tidak bisa melihat, Komunis Tiongkok dengan cara marketisasi ekonomi  telah membentuk kerangka sistem mendasar bagi “kapitalisme partai komunis” yang unik.

Keempat. Makna Strategis Konflik Dagang Amerika Serikat dengan Tiongkok

Begitu menjabat, Trump mulai membersihkan warisan negatif dari pemerintahan sebelumnya, salah satunya yang paling utama adalah menyesuaikan kembali hubungan Amerika Serikat dengan Tiongkok. Setelah Tiongkok bergabung dengan WTO, skala ekonominya semakin membesar. Ketika Komunis Tiongkok merasa dirinya telah memiliki kemampuan untuk “bangkit”, maka   Tiongkok pun mulai mengendalikan perdagangan seluruh dunia sesuai kebutuhannya, dengan merampas teknologi negara lain. Itu menyebabkan kerugian bagi Amerika Serikat kian hari kian membesar. WTO tak berdaya apa pun terhadap perilaku Komunis Tiongkok sang Goliath Merah yang keterlaluan dan curang.

Konflik dagang Amerika dengan Tiongkok pada permukaan terlihat seperti sengketa dagang yang terjadi di dunia pada umumnya, tapi di dalamnya ada suatu masalah penting yang jarang disoroti. Masalah itu yakni karena kepentingan ideologi Komunis Tiongkok dan juga propaganda nasionalismenya, dilakukan pengikisan terhadap ekonomi Amerika dan juga persaingan militer secara bersamaan, saling membutuhkan. Dalam hal ekonomi dan teknologi Komunis Tiongkok mendapat keuntungan lebih, lalu mengerahkan kemampuan finansial negara memperkuat militernya, membentuk tekanan bagi Amerika Serikat.

Cara itu pada tingkatan tertentu ada kemiripan dengan hubungan diplomatik dan dagang Jepang dengan Amerika Serikat sebelum meletusnya Perang Pasifik. Oleh sebab itu Amerika tidak mungkin secara sederhana melihat eksistensi masalah dari sudut pandang ekonomi semata. Banyak kebijakan Amerika Serikat saat ini dan selanjutnya tidak sekedar difokuskan pada hubungan ekonomi saja, termasuk juga memiliki makna menghadang ambisi strategis Komunis Tiongkok.

Walau hal itu tidak disampaikan secara jelas oleh kalangan politik di Amerika Serikat, namun kesepahaman yang terpendam itu, kian lama kian tampak jelas.  Apakah tatanan global harus berubah?

Sikap setiap negara berbeda. Bagi Komunis Tiongkok, sebaiknya sama sekali tidak berubah, agar Komunis Tiongkok dapat terus mendapat keuntungan. Negara berkembang kecil lainnya di samping takut dirugikan oleh Komunis Tiongkok, juga ingin terus mendapatkan keuntungan dari Amerika, maka menjadi ular berkepala dua. Hanya Amerika Serikat yang mengalami kerugian besarlah yang termotivasi untuk mengubah tatanan ekonomi global. Untuk mengubah tatanan ekonomi global, hanya Amerika yang mampu melakukannya, karena hanya Amerika Serikat yang memiliki kemampuan lebih besar daripada   Tiongkok yang memiliki prasyarat mengubah tatatan ekonomi global.

Sekarang dalam menghadapi   Tiongkok yang hanya mau mengambil untung tapi tidak menepati janji, WTO hanya bisa bicara aturan, dan dengan kesabaran tanpa batas menantikan   Tiongkok akan berubah sikap. Sementara Tiongkok hanya bersedia melakukan perubahan yang menguntungkan pihaknya atau tidak merugikannya, dan tidak mau melepaskan caranya mencari celah yang menguntungkan pihaknya, seperti menolak berjanji untuk tidak melanggar kekayaan intelek negara lain.

Kondisi seperti itu, Amerika Serikat sebagai negara yang paling dirugikan dalam proses globalisasi itu hanya bisa melindungi kepentingannya sendiri. Faktanya, negara liberal lain tidak peduli berapa pun kerugian yang dialami Amerika. Kepentingan Amerika Serikat hanya akan dilindungi oleh Amerika Serikat sendiri.

Pemerintahan baru perdagangan Amerika Serikat telah mengungkap sisi gelap globalisasi ekonomi yang selama ini ditutupi. WTO yang lemah tak berdaya, di hadapan “goliath merah” secara menyeluruh memaparkan situasi menyedihkan globalisasi ekonomi yang dipermainkan oleh si “goliath merah” di dalam genggamannya.

Mungkin bisa dikatakan, globalisasi ekonomi telah melewati masa puncaknya, sekarang tengah menuju ke dalam bayang-bayang yang diciptakannya sendiri. Masyarakat global mau tidak mau harus memahami kembali situasi peta ekonomi dunia di masa akan datang.

SUD/whs

FOTO : Ilustrasi (Istimewa)

Artikel ini terbit di Epochtimes.com