Carrie Lam Ditolak Legislatif, Siapa yang Harus Bertobat

Cheng Xiaorong

Pada 16 Oktober 2019 pagi hari, di dalam Balai Konferensi Dewan Legislatif Hong Kong, Kepala Wilayah Administratif Khusus Hong Kong, Carrie Lam mulai membacakan laporan administrasi yang baru. Di belakangnya, terproyeksi delapan huruf besar dalam Bahasa Mandarin yang bermakna: “Lima Tuntutan Tidak Boleh Kurang Satu Pun (wǔdà sù qiú quē yī bù kě)”.

Para anggota dewan legislatif dari kubu pro-demokrasi melontarkan protes keras dengan cara meneriakkan slogan dan sebagainya. Itu menyebabkan Carrie Lam terpaksa menghentikan pidatonya, dan meninggalkan tempat dengan canggung. 

Peristiwa yang tidak lazim itu, segera menyebar cepat di internet, dan menjadi berita utama.

Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat sepakat meloloskan “Resolusi Hak Asasi Manusia – HAM dan Demokrasi Warga Hong Kong”, telah menyatakan dukungan kuat terhadap warga yang berunjuk rasa di Hong Kong. 

Kementerian Luar Negeri Tiongkok dan Kantor Urusan Hong Kong dan Macau memprotes keras. Juru bicara Beijing mengatakan, masalah Hong Kong sekarang bukan masalah HAM dan demokrasi, melainkan harus menghentikan kekerasan, dan secepatnya memulihkan ketertiban.

Baru saja pernyataan itu dibuat, malam itu juga, seorang convener Civil Human Rights Front (CHRF) yang bernama Jimmy Sham dianiaya oleh lima orang pria dengan palu di distrik Mong Kok, dan roboh ke tanah dalam kondisi luka parah bersimbah darah.

Saat itu, situasi di Hong Kong sangat parah, berita di atas mengungkap beberapa sinyal penting berikut ini:

Pertama, pasca penyerahan kedaulatan pada 1997 Carrie Lam adalah satu-satunya Kepala Wilayah Administratif Hong Kong yang tidak mampu menyelesaikan pembacaan laporan administrasinya di Balai Konferensi Dewan Legislatif. Dia juga memecahkan rekor dukungan terendah dalam survey masyarakat. Itu menunjukkan sistem “satu negara dua sistem” Komunis Tiongkok  gagal total. 

Komunis Tiongkok terus menggerogoti dan merampas hak otonomi khusus dari pemerintah Hong Kong. Kepala Wilayah Administratif Hong Kong sekarang sepenuhnya tunduk pada Komunis Tiongkok. Oleh sebab itu telah kehilangan kepercayaan dan kehormatannya.

Anggota legislatif pro-demokrasi menyatakan pada media, lebih dari 70% warga Hong Kong menuntut agar Carrie Lam mundur dari jabatannya. Mereka menuding, Carrie Lam adalah boneka penguasa Beijing, yang sudah tidak layak untuk memimpin Hong Kong.

Kedua, sudah ketiga kalinya Carrie Lam mendapat kritik luas dalam laporan administratifnya, bahkan anggota legislatif yang pro-Beijing pun merasa kecewa. Gejolak anti-ekstradisi telah berlangsung selama empat bulan. Laporan itu justru menghindar dari lima tuntutan yang diajukan. Malahan secara panjang lebar menekankan soal

kebijakan rumah tinggal dan tunjangan ekonomi, dengan tujuan mengalihkan sorotan masyarakat dari politik beralih ke masalah kehidupan. Apalagi, Carrie Lam tetap bersikap keras terhadap aksi unjuk rasa warga, terus memutar balikkan sebab akibatnya. Itu jelas-jelas merupakan perpanjangan dari keinginan Beijing, jelas tidak akan membantu meredakan kesulitan itu.

Ketiga, Komunis Tiongkok menyatakan akan “menghentikan kekerasan meredam kekacauan.” Menurut Carrie Lam, misi utama pemerintah adalah menghentikan kekerasan dan akan menuntut pelaku kerusuhan untuk dimintai pertanggungjawaban. Akan tetapi, siapakah sesungguhnya perusuh? Siapakah yang menciptakan kekerasan?

Beberapa bulan terakhir, mayoritas warga dan pelajar yang ikut serta dalam unjuk rasa telah memperlihatkan aksi damai dan rasional, seperti pada 18 Agustus 2019 lalu, sebanyak 1,7 juta orang menghadiri “rapat mengalir”. Keseluruhan proses berjalan sangat tertib, dan tidak ada polisi turun tangan mengatur ketertiban. 

Di sisi lain, polisi Hong Kong telah menembakkan ribuan gas air mata dan peluru karet juga peluru kantong kepada massa pengunjuk rasa. Itu menyebabkan banyak orang terluka, bahkan ada yang cedera serius. 

Pada 21 Juli 2019 di distrik stasiun Yuen Long dan pada 31 Agustus 2019 di stasiun Prince Edward, kelompok gengster dan polisi menyerang warga tanpa pandang bulu. Hal itu sangat menggemparkan dunia. 

Selain itu, sejumlah tokoh aksi massa dan praktisi Falun Gong berkali-kali mengalami penganiayaan oleh orang tak dikenal, tapi polisi tidak mengambil tindakan. Terlebih juga terjadi kasus pembunuhan yang disinyalir “dibunuh-dirikan”. Suasana teror mencekam.

Di siang hari bolong, Komunis Tiongkok terang-terangan menyewa penjahat melakukan kekerasan, seakan tak ada yang ditakuti. Apa yang disebut penegak hukum justru mengarahkan laras senapan ke arah demonstran yang rasional. 

Pemerintah Hong Kong menolak membentuk Komisi Investigasi Independen, dan hanya berpangku tangan menyaksikan warga dianiaya oleh kelompok gengster dan tidak melakukan apa pun. Polisi telah kehilangan disiplin yang beradab dan prinsip keadilan, hukum telah gagal, Hong Kong telah berubah menjadi kota polisi.

Keempat, menghadapi tekanan tangan besi dari Komunis Tiongkok, warga Hong Kong tidak mundur. Pada 12 Oktober, seorang pelajar berinisial C ikut serta dalam pawai “anti UU darurat”. Dia mengatakan pada wartawan The Epoch Times, pengunjuk rasa Hong Kong memiliki keyakinan yang kuat.

“Saya merasa, walaupun mereka melukai kami semua, membunuh berapa banyak pun dari kami, keyakinan kami ini, prinsip kami ini tetap akan eksis, selamanya tidak akan pernah padam, tidak akan pernah bisa ditekan oleh kekuatan apa pun yang menghambat,” tegasnya.

Pada 14 Oktober 2019, seratusan ribu warga Hong Kong menghadiri “Rapat Akbar Resolusi HAM dan Demokrasi Warga Hong Kong”. Banyak orang turun ke jalan memakai masker, memprotes “UU pelarangan penggunaan masker”.

Pada 16 Oktober 2019, sejumlah anggota dewan legislatif pro-demokrasi mengenakan pakaian hitam, membawa spanduk dan menyiarkan rekaman juga proyektor, menyuarakan keadilan dan kebenaran di Balai Konferensi Legislatif. Mereka mengecam Junius Ho adalah “anggota mafia”, dan menuntut agar Carrie Lam mundur dari jabatannya. 

Para anggota legislatif itu dipastikan telah masuk ke dalam “daftar hitam”, di antaranya Au Nok-Hin dan Jeremy Tam pernah ditangkap pada tanggal 30 Agustus 2019 lalu. Tapi, mereka tidak tunduk pada tirani hanya karena kepentingan pribadinya. Mereka  menghadapi langsung tekanan teror itu, dan gigih memperjuangkan kebebasan dan kebenaran.

Selain itu, Joshua Wong dan Jimmy Sam serta para pemuda aktivis lainnya akan ikut serta dalam pemilu caleg distrik bulan depan. Mereka berharap memulai dari tingkat bawah, ikut berpolitik. 

Warga Hong Kong dari berbagai kalangan, tengah menjalani misi sebagai warga dengan hati nuraninya, mempersembahkan tanpa pamrih kemakmuran dan kedamaian bagi Hong Kong.

Kelima, Komunis Tiongkok menuntut agar Amerika Serikat  “bertobat sebelum terlambat”. Faktanya, yang seharusnya “bertobat” adalah para pejabat Komunis Tiongkok yang mengkomandoi penindasan terhadap pengunjuk rasa Hong Kong dan penganiayaan

HAM yang dilakukannya, adalah Carrie Lam, polisi dan para anggota legislatif lain yang menjadi pengikut Komunis Tiongkok. Termasuk juga media massa Hong Kong yang pro- Komunis Tiongkok yang menyiarkan berita palsu dan mengendalikan opini.

Saat ini, Amerika Serikat telah membatasi pemberian Visa bagi para pejabat Komunis Tiongkok yang terlihat penindasan HAM di Xinjiang.

“Resolusi Demokrasi dan HAM Warga Hong Kong” setelah diloloskan dan menjadi undang-undang, akan dapat secara langsung menghukum pejabat Komunis Tiongkok dan Hong Kong yang melakukan penindasan. 

Serangan kekerasan yang dialami oleh para aktivis anti Undang Undang ekstradisi yang diberhentikan tanpa alasan, difitnah serta dikambing-hitamkan, diancam dan diteror, bahkan dibunuh, akan menjalani pertanggung jawaban hukum. Kejahatan pasti akan mendapat ganjarannya. Orang-orang yang aktif ikut dalam penganiayaan harus segera menghentikan tindakan kejahatannya dan bertobat.

Gelombang amarah melawan tirani melanda Hong Kong. Pelabuhan yang bebas itu tak lagi damai. Pemerintah Hong Kong dan Beijing semakin lama semakin menjauh dari rakyatnya, yang terjebak dalam kesulitan adalah pemerintah yang tidak adil dan bukan para pemberani yang mengawal kebenaran ini.

SUD/whs

FOTO : Pada 16 Oktober lalu, saat meninggalkan Dewan Legislatif Hong Kong Carrie Lam dicegat oleh sejumlah anggota dewan dari golongan demokrasi. (Song Bilong/Epoch Times)