Suara dari Hong Kong: RUU HAM dan Demokrasi AS adalah Harapan Kami untuk Melawan Otoriterisme

Eva Pu – The Epochtimes

Warga Hongkong mengatakan bahwa Rancangan Undang-Undang HAM dan Demokrasi Hong Kong yang baru-baru ini diloloskan oleh Kongres Amerika Serikat adalah harapan mereka untuk melindungi kota mereka dari meningkatnya pengaruh rezim Komunis Tiongkok.

Rancangan Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Hong Kong disahkan melalui DPR AS dengan 417 suara berbanding 1 suara dan  melalui Senat AS disahkan dengan suara bulat sehari sebelumnya. 

UU HAM dan Demokrasi Hong Kong itu akan membuat status perdagangan khusus Hong Kong bergantung pada otonomi yang cukup dari daratan Tiongkok. 

Undang-undang tersebut berfungsi sebagai peringatan tegas bagi otoritas Komunis Tiongkok, agar tidak menindak demonstrasi yang sedang berlangsung, menurut anggota parlemen AS. 

Kini, Rancangan Undang-Undang itu membutuhkan tanda tangan presiden untuk menjadi undang-undang.

Bagaimana respon Trump?

Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengatakan pada 22 November bahwa dukungannya terhadap Hong Kong adalah alasan bahwa Beijing belum meluncurkan tindakan keras secara militer.

“Saya akan mengatakan ini, jika bukan karena saya, ribuan orang sekarang akan terbunuh di Hong Kong, dan Anda tidak ingin kerusuhan, Anda akan memiliki negara polisi,” kata Trump kepada Fox & Friends dalam sebuah wawancara.

Tapi dia berhenti mengatakan secara tegas apakah akan menandatangani RUU tersebut menjadi undang-undang.

Trump mengatakan, dia telah menyampaikan kepada pemimpin Komunis Tiongkok Xi Jinping bahwa sikap garis keras terhadap Hong Kong akan berdampak negatif kepada negosiasi perdagangan yang sedang berlangsung.

“Dia punya sejuta tentara yang berdiri di luar Hong Kong, satu-satunya alasan dia tidak masuk adalah karena saya mengatakan itu akan mempengaruhi kesepakatan perdagangan kita, jika bukan karena saya, Hong Kong akan dilenyapkan dalam 14 menit,” demikian pernyataan Trump.

Ketika ditanya oleh penyiar Fox News, apakah ia akan memveto RUU tersebut, Trump mengatakan, “Kita harus berdiri bersama Hong Kong, tetapi saya juga bersama dengan Presiden Xi, dia adalah teman saya.”

Ketegangan di Hong Kong terus meningkat sejak Juni lalu, ketika demonstrasi menolak meluasnya pengaruh Komunis Tiongkok terhadap masalah lokal. 

Polisi telah menembakkan lebih dari 10.000 putaran gas air mata sejak Juni lalu. Kekerasan polisi melukai paling tidak tiga pemrotes dengan peluru tajam.

Sejumlah pengunjuk rasa tetap terdampar di kampus Universitas Politeknik, yang telah dikepung oleh  Polisi sejak Sabtu lalu. Ratusan demonstran masih terperangkap di dalam kampus, meskipun banyak yang melarikan diri atau menyerahkan diri kepada polisi dalam beberapa hari terakhir.

Orang-orang di dalam kampus sempat mengibarkan bendera Amerika setelah mendengar berita tentang parlemen AS pada 20 November meloloskan Rancangan Undang-Undang HAM dan Demokrasi Hong Kong.

Di antara mereka adalah Cheng Hei, yang menyatakan harapan bahwa pemerintah AS dapat menjatuhkan sanksi kepada para pejabat Hong Kong, yang dinilai bertindak sebagai pembantu bagi rezim Komunis Tiongkok untuk menggerogoti kebebasan Hong Kong.

“Tidak ada jalan mundur dalam pertempuran ini. Jika kita mundur, kita harus membayar konsekuensinya,” katanya kepada  Epoch Times Hong Kong pada 20 November.

Seperti beberapa temannya, Cheng mengatakan dia telah menulis surat wasiat, bersiap untuk kehilangan nyawanya saat melakukan aksi protes di jalanan. 

“Ketika Anda berpikir Anda melakukan sesuatu dengan benar, maka tidak ada penyesalan,” demikian yang disampaikan Cheng.

Belasan orang telah berjalan keluar dari kampus pada 19 November karena memiliki gejala hipotermia. Pada 21 November, pengunjuk rasa yang tersisa di dalam mengatur barang-barang dengan tulisan “SOS” raksasa yang berarti meminta bantuan dari luar.

Para pemrotes Hong Kong secara konsisten mengimbau pemerintah AS untuk menunjukkan dukungan kepada perjuangan mereka. Dalam aksi unjuk rasa beberapa waktu lalu, mereka mengibarkan bendera dan spanduk Amerika dengan pro-AS sebuah pesan atas harapan  untuk demokrasi yang lebih besar di Hong Kong.

Seorang pekerja keuangan kepada Reuters, ketika para demonstran berbaris menuju Konsulat AS  pada 8 September 2019 mengatakan, warga Hong Kong ingin pemerintah AS membantu melindungi hak asasi manusia di Hong Kong.  

Ia mengatakan, ketika AS terkunci dalam perang dagang dengan Tiongkok, hal demikian adalah kesempatan baik bagi warga Hong Kong untuk menunjukkan kepada Amerika Serikat bagaimana kelompok-kelompok pro-Tiongkok melanggar hak asasi manusia di Hong Kong dan kebrutalan polisi.

Pada tanggal 8 September 2019, warga Hongkong kembali mengadakan pertemuan doa di Chater Garden di kawasan pusat bisnis serta berkumpul di depan konsulat AS. Mereka mendesak agar RUU tersebut disahkan.

Pemrotes yang bermarga Lam kepada The Epoch Times mengatakan, Perhatian internasional saat ini sangat penting bagi Hong Kong. Dikarenakan perhatian tersebut, Hong Kong masih belum tenggelam kepada tahapan di mana semua warga negara dianiaya, seperti di tempat-tempat lain di Tiongkok. 

Pengunjuk rasa lainnya, Ho, kepada The Epoch Times mengatakan, satu-satunya cara Hong Kong dapat menahan kontrol komunis adalah melalui bantuan dari Amerika Serikat. 

Aksi Demonstrasi serupa juga diadakan pada 31 Agustus, 20 September, 14 Oktober, 20 Oktober, dan 2 November 2019.

Ikon aktivis dan pro-demokrasi Joshua Wong pada 20 November meminta presiden AS untuk menandatangani undang-undang itu menjadi undang-undang “sesegera mungkin.”

Joshua Wong mengatakan, Hak asasi manusia tidak boleh dikesampingkan oleh perjanjian perdagangan. (asr)