Joshua Wong Menganalisa Hasil Pemilu Hong Kong : Polisi Hong Kong “Membelot”!

NTDTV.com

Telah terjadi perubahan besar dalam pemilihan Dewan Distrik Hong Kong pada Minggu 24 November lalu. Kubu Pan-Demokrasi meraih kemenangan mutlak, sementara kelompok pro-Komunis Tiongkok kalah telak.

Sekjend Ormas Demosistō yakni Joshua Wong yang mendukung Kevin Lam yang memenangkan pemilihan di daerah pemilihan South Horizon West, distrik tersebut merupakan distrik yang paling banyak dihuni oleh anggota kesatuan penegak hukum Hong Kong.

Joshua Wong menyatakan, hasil pemilihan ini merefleksikan bahwa anggota polisi Hong Kong telah memberontak, “Mereka memilih untuk berkata tidak atas tindak kekerasan oleh polisi.”

Joshua Wong adalah satu-satunya kandidat yang dicabut kelayakannya sebagai caleg. Awalnya ia mendafarkan diri sebagai caleg untuk distrik South Horizon West. Setelah itu, Joshua Wong pun kemudian mendukung caleg lainnya dari Pan-Demokrasi yakni Kevin Lam.

Pada 24 November, Joshua Wong terus mendampingi Kevin Lam di lokasi pemungutan suara. Akhirnya Kevin Lam menang dengan jumlah sebanyak 4.164 suara, jauh melampaui rivalnya Judy Chan Ka-Pui dari New People’s Party yang hanya meraih 900 suara.

Pada pagi hari Senin 25 November, Kevin Lam dan Joshua Wong datang ke depan stasiun MTR Hong Kong untuk mengungkapkan rasa terima kasih karena telah terpilih. Keduanya tidak jarang menjabat tangan warga, warga juga memberikan dukungan dan memotivasi keduanya.

Kepada media massa Kevin Lam mengatakan, hasil pemilu menyampaikan aspirasi setiap warga distrik South Horizon West.

Joshua Wong menyatakan, South Horizon West adalah distrik dimana terdapat paling banyak kediaman para aparat hukum Hong Kong. Hasil pemilu ini merefleksikan sikap anggota polisi yang telah membelot. Mereka berbalik mendukung kaum demokrasi, dan menentang penindasan dengan kekerasan. Joshua Wong mengatakan, “Walaupun disini banyak bapak dan ibu polisi, tapi semua memilih untuk menolak tindak kekerasan oleh polisi.”

Dalam pemilu kali ini, mantan polisi wanita bernama Cathy Yau yang tidak bisa mentolerir tindak kekerasan polisi dan memilih mengundurkan diri dari kesatuannya, juga berhasil menang dari rivalnya.

Sebaliknya, mantan Ketua Junior Police Officers Association yang memiliki hubungan dekat dengan polisi Hong Kong yakni Chan Zu-Kong mengalami kekalahan.

Cathy Yau yang berusia 36 tahun itu telah mengabdi pada Kepolisian Hong Kong selama 11 tahun. Pada bulan Juli tahun ini Cathy mengundurkan diri. Dia menyatakan dirinya tidak bisa mentolerir tindakan polisi yang penuh kekerasan dalam mengatasi gerakan anti UU ekstradisi.

Cathy Yau secara terbuka mengkritik pemerintahan eksekutif Hong Kong yang bersembunyi di belakang polisi. “Setelah seragam polisi ditanggalkan mereka semua adalah warga Hong Kong biasa. Kami semua adalah warga Hong Kong, tapi pemerintah seperti tidak peduli terhadap peristiwa berdarah yang terjadi di jalan-jalan.” Demikian pernyataan Cathy Yau.

Sebagai seorang polisi yang terlatih, Cathy mengetahui tindakan mereka tidak sepenuhnya melanggar hukum. 

Cathy Yau mengatakan, sebagian polisi telah kehilangan kendali, polisi telah menggunakan kekerasan berlebihan. Ia mengatakan, orang-orang bisa melihatnya pada banyak situasi, di tubuh polisi terdapat banyak perlengkapan, dalam sekejap ia bisa menangkap seseorang. Orang itu sudah tidak bisa berdiri tegak lagi, tapi masih dipukuli, ia merasa polisi sudah keterlaluan.”

Cathy Yau menjelaskan, “Di akademi polisi yang mereka pelajari adalah, tindakan kekerasan yang boleh  digunakan, adalah sampai orang itu telah berhasil dikendalikan, maka selanjutnya harus berhenti. Tindakan itu adalah suatu peringatan yang teramat penting.”

Setelah Cathy Yau mengundurkan diri dari kepolisian, dia lalu beralih untuk bersaing dalam pemilu legislatif distrik, dengan harapan dapat melayani warga Hong Kong dalam bentuk yang lain. Kali ini dia berhasil terpilih di dapil Causeway Bay di distrik Wan Chai.

Faktanya adalah, sejak meletusnya gerakan anti Undang-Undang ekstradisi, di dalam kepolisian Hong Kong sendiri terjadi perpecahan. Banyak polisi sebenarnya menentang melakukan tekanan dengan kekerasan.

Sebelumnya seorang anggota polisi yang tidak ingin diungkap identitasnya bernama samaran Tom kepada media massa mengatakan, ia adalah salah satu dari sedikit anggota polisi yang mendukung “aksi menentang Undang-Undang ekstradisi”. 

Ia berpendapat, keadaan yang disebabkan oleh gerakan anti Undang-undang ekstradisi, semuanya adalah karena ulah pemerintah.

Seorang polisi lainnya bernama Peter yang melakukan pekerjaan di bagian logistik kepolisian, ia mendukung dibentuknya suatu komisi investigasi independent. Komisi tersebut untuk menyelidiki peristiwa penyalahgunaan kekuasaan dan kekerasan oleh pihak kepolisian. Mereka berdua menyatakan berniat mengundurkan diri dari kepolisian.

Tidak sedikit keluarga polisi yang juga menentang tekanan dengan kekerasan tersebut. Sejumlah istri polisi bahkan merupakan partisipan unjuk rasa anti Undang-Undang ekstradisi. Bahkan kerap kali harus berhadapan dengan suami mereka di jalanan.

Warga Hong Kong bernama Sunny yang berusia 26 tahun, suaminya adalah seorang polisi biasa, sejak bulan Juni lalu, mereka terus berada dalam kondisi: Malam hari berhadapan di antara barikade jalan. Keesokan harinya membesarkan kedua putri mereka.

Bulan Juli lalu Sunny membentuk sebuah kelompok di Facebook yang diberi nama “Police Relatives Connection.” Di dalam komunitas tersebut mayoritas anggotanya adalah seperti dirinya: Mereka memiliki keluarga di kepolisian, tapi tetap mendukung para pengunjuk rasa.

Phillis yang berusia 42 tahun adalah seorang relawan yang bekerja untuk anak-anak sekolah dasar. Dia telah menikah selama 21 tahun dengan seorang perwira polisi. Seiring dengan semakin seringnya dia berpartisipasi dalam aksi menentang Undang-Undang ekstradisi, dia merasakan suaminya semakin berubah menjadi orang asing baginya.

Phillis berkata : “Pandangan mereka berbeda, ia mengatakan kepada suaminya, setelah anak-anak mreka dewasa, ia mempertimbangkan untuk bercerai.”

Phillis menceritakan, untuk menghindari terjadi konflik di rumah, dia tidak lagi menonton televisi. Ia hanya berdiskusi masalah politik dengan putrinya di luar rumah, menghindar dari suaminya.

Sejak bulan Juli lalu, lebih dari 200 anggota keluarga polisi telah mengirimkan surat edaran kepada Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam. Mereka menuntut agar pemerintah Hong Kong “menyelesaikan masalah politik dengan cara politik”, jangan gunakan polisi sebagai tameng.

Pada 25 Agustus 2019 lalu, di bawah guyuran hujan keluarga polisi kembali menggelar pertemuan “Kembalikan Polisi Pada Warga.” Mereka mengajukan tuntutan, termasuk juga membentuk komisi investigasi independent, mengimbau petinggi kepolisian mempertimbangkan kembali cara-cara dalam bertindak. Selain itu, memohon para polisi yang berada di garis terdepan agar menahan diri.

Akan tetapi, cara kekerasan polisi Hong Kong sekarang justru kian memuncak. Kantor berita Reuters mengungkapkan adanya polisi bersenjata dan anggota keamanan publik Komunis tiongkok. Mereka menyusup di antara anggota kepolisian Hong Kong.

Tidak sedikit media massa juga berhasil merekam polisi yang berbicara dalam Bahasa Mandarin. Untuk diketahui, sehari-harinya anggota polisi Hong Kong berbicara dialek Kanton.

Saat ini, The Hong Kong Polytechnic University masih terkepung oleh polisi, di dalamnya masih terdapat sejumlah pengunjuk rasa yang terperangkap.

Joshua Wong menyatakan, saat ini misi paling mendesak bagi kubu Pan-Demokrasi adalah mengatasi peristiwa The Hong Kong Polytechnic University ini. Kini lebih dari 300 orang anggota dewan dari kubu demokrasi yang berhasil terpilih, sedang merundingkan bagaimana memberikan dukungan bagi The Hong Kong Polytechnic University. (Sud/whs/asr)