Di Balik Keberanian Pemuda Hong Kong Ber-“Jibaku”

He Qinglian

Pan-Demokrasi Hong Kong meraih kemenangan, bahkan menang telak, warga bersorak sorai pada 24 November 2019 lalu. Kemenangan kali ini didapat dengan tidak mudah, pertama karena warga Hong Kong telah berjuang lima bulan terus melawan, selama itu kelompok militan tidak ragu meningkatkan perlawanan menentang kekerasan oleh polisi.

Istilahnya “lam cau” atau “mati bareng atau berjibaku” menjadi sorotan masyarakat maupun media massa internasional. Kedua adalah pengalaman Amerika Serikat  pada Gerakan Occupy Central pada 2014 lalu.

Pada momentum yang tepat mengeluarkan “Resolusi Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Hong Kong. Resolusi itu memperingatkan Beijing agar tidak mengakibatkan bencana kemanusiaan di Hong Kong.

Tapi semua itu, hanya langkah pertama warga Hong Kong memperjuangkan hak keikutsertaan dalam politik Hong Kong, jalan ke depan masih panjang, masih akan sangat menyulitkan.

Kelompok militan pada gerakan anti Undang Undang ekstradisi mayoritasnya adalah pemuda. Masa depan masyarakat apa pun adalah milik generasi muda, dan kaum muda Hong Kong umumnya berpendapat bahwa Hong Kong “hari ini” bukan milik mereka.

Peta kepentingan yang terbentuk sejak kembalinya Hong Kong pada 1997 lalu, merupakan kaum elit Hong Kong generasi tua sebelumnya yang diwakili oleh “Carrie Lam” dan kawan-kawan.

Dalam berbagai komentar, ada dua tokoh Hong Kong yang pandangannya persis mewakili dua generasi dan dua lapisan masyarakat di Hong Kong tersebut. Bentrokan di Hong Kong dan orientasi masa depan politiknya dapat ditemukan denyut nadinya di antara keduanya. 

Presiden Komisaris Group Hang Lung yakni Ronnie Chan Chi-Chung merupakan elit Hong Kong dari era 1950-60an. Rekaman video perbincangannya “Masalah Hong Kong, Kita Beberkan Untuk Dibicarakan”, sungguh tidak pernah bosan diperbincangkan, termasuk memiliki pandangan yang menyeluruh terhadap masalah Hong Kong. 

Menurut Ronnie Chan Chi-Chung masalah Hong Kong adalah pada politik dan bukan kehidupan warga. Jika politik dianggap sebagai murni masalah kehidupan warga, maka tidak akan pernah dapat diselesaikan. 

Pandangan Ronnie Chan Chi-Chung dapat mencakup empat aspek: 

1. Warga Hong Kong di bawah kolonialisme Inggris tidak memiliki kesadaran akan bernegara. Penyebab kondisi itu ada kaitannya dengan terbentuknya warga Hong Kong, pemerintahan kolonial Inggris tidak memotivasi warga Hong Kong untuk mengakui negara leluhurnya. Akan tetapi warga Hong Kong juga tidak mengakui Taiwan sebagai “Republic of China” dan tidak mengakui Beijing yang mewakili daratan Tiongkok.

Warga Hong Kong yang dimaksud adalah para pejabat eks Kuomintang dengan klannya yang hijrah ke selatan yakni ke Hong Kong pada 1949, dan periode wabah kelaparan besar 1958-1960, serta pengungsi yang lari ke Hong Kong dalam beberapa kali gerakan politik masa Revolusi Kebudayaan 1966-1976.  

Yang dimaksud Ronnie Chan soal “kesadaran bernegara”, sebenarnya adalah pengakuan status warga Hong Kong. Beberapa tahun terakhir ini rasio warga Hong Kong yang mengakui dirinya sebagai “warga Tiongkok” kian hari kian rendah.

Pada awal Juni 2018, survei yang dilakukan Program Opini Publik dari Hong Kong University dengan metode sampling secara acak menunjukkan, warga kota yang mengakui dirinya sebagai “warga Hong Kong” memiliki nilai tertinggi yakni 8,54 poin.

Setelah itu adalah “orang Asia”, “bagian dari bangsa Tionghoa”, serta “orang Tiongkok”, dan pengakuan sebagai “warga negara Republik Rakyat Tiongkok” adalah yang paling rendah yakni hanya 5,85 poin. 

2. Hong Kong kekurangan talenta politik, pejabatnya banyak yang bermental pegawai. Maksudnya adalah para pejabat pemerintah Hong Kong mahir dalam mengatur pemerintahan namun kurang akan kemampuan berpolitik atau kemampuan bermediasi politik. 

3. Pekerjaan Front Persatuan Beijing semakin dikerjakan semakin amburadul, eksis kesalahan yang sangat besar. 

4. Tiga orang penjahat masalah properti . Ini patut dicermati. 

Di mata generasi muda Hong Kong khususnya kelahiran pasca 1990, “para Ronnie Chan” mewakili masa lalu, merupakan generasi yang telah menikmati segala kemakmuran Hong Kong. Pandangan para elit Hong Kong dari angkatan ini, sama sekali tidak ingin didengar oleh kaum muda Hong Kong pasca 1990.

Dalam perlawanan kekerasan oleh kaum militan Hong Kong kali ini terdapat kosa kata atau semboyan yang terkenal, yakni “lam cau Hong Kong “ yang maknanya adalah “Hongkong, lawanlah sampai titik penghabisan.” Sekalipun akhirnya kedua belah pihak sampai sama-sama hancur. 

Generasi muda mau me-“lam cau Hong Kong”, tentunya karena merasa di Hong Kong mereka sudah tidak menjanjikan masa depan. “Tidak ada masa depan” bersumber dari dua hal. Pertama, karena kaum muda di Hong Kong memang tidak memiliki kesempatan untuk meningkat. Kedua karena Beijing memberlakukan sistem “orang muda tersingkir, tanah tetap tinggal atau: Enyahlah dari tanah ini”. 

Penulis internet generasi 90-an bernama Lewis Loud pernah menulis banyak artikel terkait masalah itu. Dalam artikel berjudul “Hong Kong Sekarang: Hong Kong Tengah Mengalami Satu Kali Pembersihan Generasi Secara Efektif” pada 13 Juni 2019, terdapat salah satu sub-judulnya adalah “Pembantaian Terhadap Generasi Muda Hong Kong”. 

Dalam hal ini “pembantaian”, maksudnya bukan pemusnahan tubuh fisik, melainkan membuat pemuda Hong Kong tidak mendapat kesempatan dalam berpolitik. Seperti banyak calon dari kubu lokal bahkan sampai kubu penentu nasib sendiri yang lebih moderat, sebelum pemilihan tahun 2016 telah dibatalkan kelayakan pencalonan mereka. Aasannya “pandangan politik” mereka tidak sesuai dengan “Hukum Dasar Hong Kong”. 

Setelah pemilu selesai, sejumlah anggota legislatif yang mendapatkan otorisasi dari warga pemilih juga dirampas kursinya, seperti Baggio Leung Chung-Hang, Regine Yau Wai-Ching, Nathan Law Kwun-Chung dan lain-lain. 

Lewis Loud berpendapat, pandangan politik, sikap, gaya berpolitik, semuanya sangat bertolak belakang, kesamaan mereka hanya satu yakni masih muda. Muda bukan pandangan politik, tapi Hong Kong di bawah kolonialisme Komunis Tiongkok, adalah suatu properti politik yang menjadi sasaran tekanan.

Sejak 2016 hingga 2017, Komunis Tiongkok secara bertubi-tubi telah menghancurkan hak berpolitik keseluruhan generasi, dengan menghancurkan harapan mereka untuk memasuki sistem yang dapat mereformasi Hong Kong. Mungkin karena mayoritas mereka hanya mengakui dirinya sebagai warga Hong Kong, dan bukan warga Tiongkok atau “warga Hong Kong Tiongkok”. 

Pengakuan status seperti ini membuat Komunis Tiongkok sangat tidak tenang. Walaupun “tidak sesuai ketentuan” yang dijabarkan oleh ketua komisi pemilu berbeda dengan yang dikeluarkan oleh “Kongres Rakyat Tiongkok”, tapi pada akhirnya, adalah Komunis Tiongkok dapat mentolerir politisi dari generasi lebih tua, tapi terhadap politisi generasi baru, satu pun tidak diijinkan masuk ke dalam sistem.

Artikel lainnya berjudul lebih menohok secara langsung: “Perlakuan Komunis Tiongkok Terhadap Taiwan Juga Akan Sama Dengan Hong Kong ‘Orang Tersingkir Tanah Tetap Tinggal’”. 

Di sini perlu dijelaskan asal muasal prinsip “orang tersingkir tanah tetap tinggal”. Di dalam forum diskusi bebas internet di Tiongkok, setiap topik yang menyangkut Taiwan, pada dasarnya akan penuh dengan suara hujatan dan kecaman. 

Sekitar enam, tujuh tahun silam sudah muncul istilah “orang boleh pergi, pulau tetap tinggal”, ungkapan seperti ini kemudian berubah menjadi “pertahankan pulau tidak pertahankan orang”. Istilah “pertahankan pulau tidak pertahankan orang” tidak pernah terdengar ada pernyataan resmi pemerintah, tapi kini pada dasarnya telah menjadi suatu macam pemahaman warga Taiwan terhadap kebijakan politik dari Tiongkok.  

Penjelasan Lewis Loud terhadap hal ini sangat lugas: “Bagi Tiongkok, Hong Kong adalah sangat fungsional, seperti finansial, perdagangan, kemampuan pembiayaan, sementara yang lain bagi Tiongkok sama sekali tidak dipandang sebelah mata sekali pun”. Sedangkan pulau seperti Taiwan, memiliki banyak keuntungan militer dan strategis, seperti Hong Kong yang memiliki kelebihan finansial. Tiongkok sangat menginginkannya, tapi bukan berarti menginginkan orang-orang lokal yang tidak terbiasa dengan penguasaannya. Tanpa peduli hidup atau mati warga setempat, Beijing hanya peduli pada fungsional yang kasat mata pada Hong Kong, bagi  Tiongkok, Hong Kong hanyalah sebuah alat. 

Berdasarkan pemahaman di atas itulah, para pemrotes di Hong Kong menuntut agar Amerika Serikat secepat mungkin meloloskan “Resolusi HAM dan  Demokrasi Hong Kong”, walaupun Rancangan Undang undang itu akan secara langsung berdampak pada ekonomi Hong Kong. 

Chan dan Loud, bisa dikatakan uraian masing-masing dari seorang yang berhasil pada masa lalu dan masa kini serta seorang pemilik masa depan yang tidak melihat adanya masa depan itu. Ini menandakan pandangan warga Hong Kong terhadap situasi sekarang, tidak hanya terdapat perbedaan kelas, terdapat perbedaan orang yang memiliki kepentingan dengan orang yang kepentingannya dirugikan, juga terdapat celah kesenjangan yang sangat dalam antar generasi. 

Yang lebih patut direnungkan adalah baik Chan maupun Loud sama-sama telah menyinggung fungsi Hong Kong sebagai pusat finansial. Akan tetapi menurut pendapat Chan hanya dengan layanan sebagai pusat finansial saja bagi Hong Kong tidak cukup, harus memperbaiki struktur ekonominya, dan mengemukakan harus dikembangkan pembangunan jurusan di Hong Kong University yang sangat unggul yakni sains, teknik, dan kedokteran.

Sementara Lewis Loud berpendapat kalau “orang tersingkir tanah tetap dipertahankan”, lalu apa gunanya fungsi sebagai pusat finansial itu? 

Pertanyaannya adalah: Nasib masyarakat apa pun di masa depan, adalah ditentukan oleh kaum mudanya. Dilihat dari bertolak belakangnya hati warga, Komunis Tiongkok telah kehilangan satu generasi muda milennial Hong Kong kelahiran pasca 1990.

Di saat warga menyorakkan kemenangan kubu Pan-Demokrasi dalam pemilihan anggota legislatif distrik di Hong Kong, ada sebagian orang lainnya yang berpendapat pemilihan kali ini meskipun terhitung menang, juga tidak ada kaitannya dengan keputusan menentukan seorang kepala eksekutif, pemilihan kepala eksekutif tetap didominasi oleh Beijing. 

Alasan Lewis Loud menentang bahkan semakin menonjol: “Sejumlah pemrotes yang risau atau sarat dengan kepentingan pribadi, anehnya justru menuntut pada pemerintah agar ‘mengadakan pemilu sesuai jadwal’. Jika Hong Kong tidak bisa melangsungkan pemilu secara normal, justru merupakan kemenangan para pengunjuk rasa, karena memperlihatkan kepada dunia bahwa pemerintah Hong Kong menganut demokrasi palsu, bertindak semena-mena, dan “satu negara dua sistem” telah gagal. 

Terpilih hanya sekedar mendapatkan gaji dan tunjangan bagi seorang anggota legislatif, tapi anggota legislatif Hong Kong di berbagai tingkatan tidak memiliki kekuasaan politik. Kemenangan besar dalam pemilu sebaliknya justru berarti revolusi telah diserap.” 

Kekhawatiran di atas bukan tidak beralasan. Selama beberapa tahun ini kritik terhadap Pan-Demokrasi Hong Kong sangat banyak, dalam hal usia dan latar belakang, antara Ronnie Chan dan Lewis Loud, sangat berbeda, namun keduanya bersikap keras mengkritik Pan-Demokrasi dari sudut pandang yang berbeda. 

Hanya untuk membuat seluruh anggota legislatif Pan-Demokrasi mencapai kesepahaman politik, sampai sekarang masih merupakan proses yang sangat menyulitkan. Tapi pada masalah Hong Kong, sikap Beijing masih merupakan faktor krusial. Setelah mengalami pemilihan legislatif, Beijing seharusnya menenangkan diri, dan memperhatikan aspirasi warga Hong Kong. 

1. Pembangunan di wilayah atau negara mana pun, adalah mengandalkan suatu sistem dan rakyat yang dibina dari sistem ini. Tahun 1949, perkembangan di tiga tempat yakni Tiongkok, Taiwan dan Hong Kong secara kuat menjelaskan bahwa bangsa yang sama, sejarah dan budaya yang sama, di bawah sistem politik yang berbeda dapat melangkah jalan perkembangan ekonomi yang sama sekali berbeda. 

Tiongkok pun tidak mampu menyangkal fakta bahwa pada era 1980-an, gelombang pertama investasi asing yang dibuka di daratan Tiongkok, adalah dana milik etnis Tionghoa yang didominasi oleh dana dari Hong Kong dan Taiwan. Pada waktu itu dana Jepang dan Korea, jummlahnya jauh lebih sedikit daripada Hong Kong dan Taiwan. 

2. Bertentangannya hati masyarakat adalah elemen penting pertama yang membentuk himpunan kekuatan politik. Pengakuan “warga Hong Kong” terhadap orang Tiongkok dan warga negara Republik Rakyat Tiongkok sangat rendah, yang faktanya menerangkan bahwa mereka tidak mengakui sistem politik Komunis Tiongkok. 

Pengakuan warga terhadap negara, ditentukan apakah negara mampu memberikan rasa memiliki yang kuat. Rasa memiliki ini sebagian juga dibangun di atas kekayaan atau kekuatan negara, tapi yang lebih penting lagi adalah apakah negara mampu memberikan kekuatan moralitas yang menyentuh hati. Tiongkok pada saat ini, justru tidak memiliki hal yang satu ini.

3. Membiarkan Hong Kong melakukan otonomi sendiri, adalah pilihan bijak untuk memerintah Hong Kong. Pada Maret 2013, saat berkunjung ke Rusia Xi Jinping dalam pidatonya mengatakan: “Sepasang sepatu apakah sesuai, baru bisa diketahui kalau sudah dipakai, jalan perkembangan suatu negara, hanya bisa dipahami oleh warga negara itu.”

Ungkapan itu langsung beredar di internet dan berubah menjadi “teori sepatu dan kaki”. Dengan prinsip yang sama disimpulkan, warga Hong Kong merasa “sepatu” atau sistem politik itu cocok di kaki mereka atau tidak, adalah hal yang paling penting. Karena Beijing telah membatasi hak warga Hong Kong untuk memilih “sepatu”, mereka merasa sepatu itu menjepit kaki, sangat tidak nyaman, maka kemarahan pun dilampiaskan pada Beijing selaku pemberi “sepatu”. Selain Xinjiang, Tibet, dan Taiwan, kekuatan yang melawan Beijing kini bertambah lagi satu yakni “Hong Kong, pulau yang membangkang”, sungguh tidak bijaksana. 

Dibawah sistem setengah demokrasi di Hong Kong, bagaimana kelak warga Hong Kong akan terus dijadikan pion, mulai sekarang akan menjadi permainan politik utama antara Hong Kong dengan Beijing. (SUD/WHS)