Bab VI – Pemberontakan Terhadap Tuhan (Bagaimana Roh Jahat Komunisme Menguasai Dunia Kita)

Roh jahat komunisme tidak lenyap dengan disintegrasi Partai Komunis di Eropa Timur

oleh Tim Editorial “Sembilan Komentar Mengenai Partai Komunis”

The Epoch Times menerbitkan serial khusus terjemahan dari buku baru berbahasa Tionghoa berjudul Bagaimana Roh Jahat Komunisme Menguasai Dunia Kita, oleh tim editorial Sembilan Komentar Mengenai Partai Komunis.

Daftar Isi

Pengantar

1. Timur: Pemberontakan Kekerasan Terhadap Tuhan
a. Bagaimana Uni Soviet Menghancurkan Agama-Agama Ortodoks Dengan Cara Kekerasan
b. Penghancuran Budaya, Agama, dan Pemutusan Hubungan Manusia dengan Dewa oleh Partai Komunis Tiongkok

2. Di Barat: Menyusup dan Membatasi Agama

a. Penyusupan Agama
b. Membatasi Agama

3. Teologi Roh jahat Komunisme yang Membelit

4. Kekacauan Agama

DAFTAR PUSTAKA

Pengantar

Hampir semua bangsa di dunia memiliki mitos dan legenda kuno yang membahas penciptaan manusia oleh dewa-dewa mereka, dalam citra para dewa, dan yang meletakkan dasar moralitas dan budaya bagi bangsa tersebut. Tradisi-tradisi ini meninggalkan jalan kembali ke Surga bagi mereka yang percaya pada dewa-dewa mereka. Di Timur dan di Barat, ada catatan dan legenda mengenai bagaimana Nūwa dan Yehuwa menciptakan umat mereka.

Dewa memperingatkan manusia untuk mengikuti perintah para dewa atau dihukum oleh dewa. Pada masa peluruhan moral yang meluas, para dewa menghancurkan manusia untuk menjaga kemurnian alam semesta. Banyak ras di dunia memiliki legenda bagaimana banjir besar menghancurkan peradaban. Beberapa kejadian direkam secara detail.

Untuk menjaga moralitas umat manusia, ada saat-saat di mana makhluk atau nabi yang tercerahkan bereinkarnasi di dunia manusia untuk meluruskan hati manusia, untuk menghentikan manusia dari kehancuran, dan untuk memimpin peradaban tersebut supaya berkembang dan menjadi dewasa. Orang-orang seperti itu termasuk Musa dan Yesus di Barat, Laozi di Timur, Sakyamuni di India, dan Socrates di Yunani kuno.

Sejarah dan budaya manusia membantu manusia memahami apa itu Buddha, Taos, dan para dewa; apa artinya percaya pada Tuhan; dan bagaimana cara berlatih kultivasi. Berbagai aliran praktik mengajarkan apa yang benar dan apa yang jahat dan bagaimana membedakan kebenaran dari kepalsuan dan kebaikan dari kejahatan, yang mengajar manusia untuk menunggu Sang Pencipta kembali ke Bumi sebelum akhir dunia untuk diselamatkan dan kembali ke Surga.

Begitu manusia memutuskan hubungannya dengan dewa yang menciptakan mereka, moralitas manusia akan cepat memburuk. Beberapa ras dengan demikian menghilang, seperti peradaban Atlantis yang legendaris, yang dimakamkan di laut dalam waktu satu malam.

Di Timur, terutama di Tiongkok, kepercayaan berakar dalam hati manusia melalui budaya tradisional. Oleh karena itu adalah sulit untuk menipu orang-orang Tiongkok agar menerima ateisme melalui kebohongan sederhana. Untuk mencabut kepercayaan dan budaya Tiongkok selama 5.000 tahun, roh jahat komunisme yang jahat menggunakan kekerasan dalam skala massal untuk membantai para elit yang mewarisi budaya tradisional dan kemudian menggunakan kebohongan untuk menipu kaum muda dari generasi ke generasi.

Di Barat dan bagian lain dunia, agama dan kepercayaan adalah cara mempertahankan hubungan manusia dengan para dewa, dan merupakan landasan penting untuk mempertahankan standar moral. Meskipun roh komunisme yang jahat gagal membangun tirani komunis di negara-negara ini, roh komunisme yang jahat mencapai tujuannya menghancurkan agama-agama ortodoks dan merusak manusia melalui penipuan, penyimpangan, dan penyusupan.

1. Timur: Pemberontakan Kekerasan Terhadap Tuhan

a. Bagaimana Uni Soviet Menghancurkan Agama-Agama Ortodoks dengan Cara Kekerasan

Manifesto Komunis menyerukan penghancuran keluarga, gereja, dan negara-bangsa. Jelas, menghilangkan dan menumbangkan agama adalah salah satu tujuan penting Partai Komunis.

Dari mempercayai Tuhan hingga menjadi pengikut Setan, Karl Marx tahu betul keberadaan para dewa dan iblis. Ia juga tahu dengan jelas bahwa ajaran iblis yang tidak dipercantikkan akan sulit diterima oleh manusia — terutama manusia yang religius. Karena itu ia menganjurkan ateisme sejak awal, menyatakan bahwa “agama adalah candu rakyat,” dan “komunisme dimulai sejak awal melalui ateisme,” [1] dan seterusnya.

Manusia tidak perlu menyembah iblis, tetapi selama manusia tidak lagi percaya pada Tuhan, iblis dapat merusak dan menduduki jiwa manusia tersebut dan akhirnya menyeret manusia tersebut ke neraka. Itulah sebabnya partai-partai komunis seluruhnya bernyanyi: “Tidak pernah ada penyelamat dunia, / atau dewa, atau kaisar yang dapat diandalkan. / Untuk menciptakan kebahagiaan umat manusia / Kita harus sepenuhnya bergantung pada diri kita sendiri!”

Karl Marx menjelek-jelekkan agama dan dewa-dewa yang lurus, sementara Lenin mampu menggunakan mesin negara untuk menyerang agama ortodoks dan iman yang lurus setelah merebut kekuasaan pada tahun 1917. Lenin menggunakan kekerasan dan taktik tekanan tinggi lainnya untuk menindas agama ortodoks dan iman yang lurus untuk memaksa manusia berpaling dari para dewa.

Pada tahun 1919, Lenin memulai penghapusan agama secara besar-besaran dengan alasan melarang penyebaran pemikiran lama. Pada tahun 1922, Lenin mengeluarkan resolusi rahasia yang menetapkan bahwa properti bernilai, terutama dari lembaga keagamaan yang paling kaya, harus dirampas “melalui resolusi yang kejam, tidak meninggalkan keraguan, dan dalam waktu yang sangat singkat.” Ia menyatakan: “Semakin besar jumlah perwakilan pendeta reaksioner dan borjuasi reaksioner yang berhasil kita tembak pada kesempatan ini, semakin baik karena ‘penonton’ sekarang ini harus diberi pelajaran sedemikian rupa sehingga mereka tidak akan berani memikirkan perlawanan apa pun selama beberapa dekade.”[2] Untuk sementara waktu, sejumlah besar properti gereja dijarah, gereja dan biara ditutup, sejumlah besar pendeta ditangkap, dan ribuan pendeta Ortodoks dieksekusi.

Setelah Lenin meninggal, Stalin mengikuti jejak Lenin dan memulai pembersihan yang sangat kejam pada tahun1930-an. Terlepas dari anggota Partai Komunis, kaum intelektual dan orang-orang di bidang agama dibabat habis. Stalin memerintahkan seluruh negara untuk mengimplementasikan Rencana Lima Tahun Atheisme.Ia menyatakan bahwa ketika ia menyelesaikan rencana itu, gereja terakhir akan ditutup, imam terakhir akan dihancurkan, Uni Soviet akan menjadi tanah subur bagi ateisme komunis, dan orang tidak akan menemukan jejak agama lagi.

Menurut perkiraan konservatif, sebanyak 42.000 imam disiksa sampai mati dalam kampanye tersebut. Pada tahun 1939, ada lebih dari 100 Gereja Ortodoks di seluruh Uni Soviet terbuka untuk umum, sementara ada lebih dari 40.400 Gereja Ortodoks sebelum Soviet merebut kekuasaan. Sembilan puluh delapan persen dari Gereja dan biara Ortodoks di seluruh Uni Soviet ditutup. Gereja Katolik juga diberantas. Selama periode ini, elit budaya dan intelektual dikirim ke Gulag atau ditembak mati.

Selama Perang Dunia II, untuk mengambil keuntungan dari sumber daya keuangan gereja dan tenaga manusia untuk melawan Jerman, Stalin tampaknya berhenti sejenak dalam penganiayaan terhadap gereja Ortodoks dan gereja Katolik, memberi kesan bahwa ia mungkin merehabilitasi agama-agama ini. Tetapi ia memiliki tujuan yang lebih mendasar dalam pikirannya: untuk melakukan kendali ketat terhadap Gereja Ortodoks dan Gereja Katolik yang dipulihkan sebagai alat untuk melemahkan agama-agama tradisional.

Alexy II dari bekas Uni Soviet dipromosikan menjadi uskup Gereja Ortodoks pada tahun 1961 dan menjadi uskup agung pada tahun 1964. Ia menjadi Patriarkh Moskow pada tahun 1990, sebelum disintegrasi Uni Soviet. Setelah Uni Soviet runtuh, arsip KGB dibuka dengan segera, yang mengungkapkan bahwa Alexy II bekerja untuk KGB (Komitet gosudarstvennoy bezopasnosti, atau Komite Keamanan Negara, agen rahasia polisi Uni Soviet yang efektif).

Belakangan, Alexy II mengaku bahwa ia telah dikompromikan dan merupakan agen Uni Soviet. Ia secara terbuka bertobat: “Mempertahankan satu hal, perlu berkorban di tempat lain. Apakah ada organisasi lain, atau orang lain di antara manusia yang harus memikul tanggung jawab tidak hanya untuk diri mereka sendiri tetapi untuk ribuan nasib lain, di mana pada tahun-tahun itu di Uni Soviet tidak dipaksa untuk bertindak? Namun di hadapan orang-orang itu, untuk siapa kompromi tersebut, keheningan, kepasifan yang dipaksakan atau ungkapan kesetiaan yang diizinkan oleh para pemimpin gereja pada tahun-tahun itu menyebabkan nyeri, di hadapan orang-orang ini, dan tidak hanya di hadapan Tuhan, saya meminta pengampunan, pengertian dan doa.”[3]

Karena itu, agama dijadikan alat untuk mencuci otak dan menipu masyarakat, di bawah kendali roh komunisme yang jahat.

Partai Komunis Uni Soviet tidak menyimpan agama yang tercemar ke wilayahnya sendiri, tetapi secara sistematis memperluas pengaruhnya yang ganas ke seluruh dunia.

b. Penghancuran Budaya, Agama, dan Pemutusan Hubungan Manusia dengan Dewa oleh Partai Komunis Tiongkok

Partai Komunis Tiongkok Menghancurkan Budaya Tradisional Tiongkok

Meskipun Tiongkok tidak memiliki agama tunggal untuk semua rakyatnya seperti di negara lain, orang-orang Tiongkok juga memiliki keyakinan yang kuat pada dewa dan Buddha. Kehidupan keagamaan Tiongkok unik: Tidak seperti daerah lain yang penuh dengan konflik agama, Konfusianisme, Budha, Taoisme, dan bahkan agama-agama Barat hidup berdampingan secara damai di Tiongkok. Keyakinan ini adalah dasar budaya tradisional Tiongkok.

Meskipun banjir besar menyebabkan kehancuran umat manusia, Tiongkok mempertahankan peradaban yang utuh. Sejak itu, bangsa Tiongkok terus berkembang. Tiongkok telah menyimpan catatan sejarah 5.000 tahun yang berkelanjutan dan menciptakan era yang sangat luar biasa yang membuatnya dihargai banyak negara. Tiongkok disebut “Kekaisaran Surgawi.” Budaya Tiongkok sangat memengaruhi seluruh wilayah Asia Timur dan mengarah pada pembentukan ruang peradaban Tiongkok. Pembukaan Jalan Sutra dan penyebaran empat penemuan besar (pembuatan kertas, kompas, bubuk mesiu, dan percetakan) ke Barat mempromosikan peradaban global dan memengaruhi perkembangan Eropa dan bahkan dunia.
Budaya dan kepercayaan Tiongkok yang luar biasa telah diintegrasikan ke dalam sumsum orang-orang Tiongkok dalam kurun waktu 5.000 tahun — dan ini menjadikannya target yang ingin dihancurkan oleh hantu komunisme yang jahat. Namun, adalah mustahil dengan hanya menipu dan menggoda orang-orang Tiongkok untuk melepaskan budaya dan kepercayaan tradisional ribuan tahun dan menerima ideologi komunisme Barat. Oleh karena itu, Partai Komunis Tiongkok menggunakan segala macam taktik jahat selama beberapa dekade kampanye politik yang gigih. Dimulai dengan pembantaian yang kejam, Partai Komunis Tiongkok merusak inti agama, menganiaya para intelektual, dan menghancurkan budaya tradisional Tiongkok, termasuk budaya materialnya (arsitektur, kuil, peninggalan budaya, lukisan antik, barang antik kuno, dan sejenisnya). Partai Komunis Tiongkok berusaha memutuskan hubungan antara Tuhan dengan manusia untuk mencapai tujuannya yaitu menghancurkan budaya tradisional dan menghancurkan manusia.

Sambil menghancurkan budaya tradisional, Partai Komunis Tiongkok juga secara sistematis membangun budaya Partai Komunis Tiongkok yang jahat dan menggunakannya untuk mengolah dan melatih rakyat Tiongkok yang tidak terbunuh untuk dijadikan alat untuk merusak budaya tradisional. Beberapa rakyat Tiongkok mengikuti keinginan hantu komunisme untuk membantai orang lain.

Partai Komunis Tiongkok memahami dengan baik bagaimana menggunakan kepentingan ekonomi, cuci otak politik, dan cara lain untuk membuat orang menyerah pada manipulasi. Gerakan politik, penindasan, dan pembantaian yang berulang-ulang telah membuat Partai Komunis Tiongkok semakin terbiasa dengan taktik ini, dan telah membiarkannya bersiap-siap untuk pertempuran terakhir antara orang-orang benar dan kejahatan di dunia manusia.

Menghancurkan Fondasi Budaya Tradisional

Tuan tanah dan bangsawan dari daerah pedesaan, serta pedagang dan pejabat bergelar sarjana di daerah perkotaan, adalah elit yang membawa budaya tradisional Tiongkok. Mereka memiliki misi mewarisi dan menyebarkan tradisi Tiongkok. Pada tahap awal perebutan kekuasaan pada tahun 1949, Partai Komunis Tiongkok menggunakan serangkaian gerakan, seperti kampanye reformasi tanah, kampanye untuk menekan kontra-revolusioner, dan kampanye Anti-Tiga dan Anti-Lima, untuk membantai tuan tanah dan bangsawan di pedesaan, serta kaum kapitalis di perkotaan. Menjarah kekayaan sosial sambil menciptakan teror, Partai Komunis Tiongkok memusnahkan para elit yang telah mengumumkan budaya tradisional.

Pada saat yang sama, menggunakan metode “penyesuaian institusional” untuk membuat para sarjana “melakukan reformasi secara ideologis” – mengindoktrinasi mereka dengan materialisme, ateisme, dan teori evolusi – Partai Komunis Tiongkok secara sistematis mencuci otak siswa generasi baru, menanamkan kebencian terhadap budaya tradisional. Melalui Gerakan Anti-Kanan di tahun 1950-an, semua intelektual yang tidak taat disingkirkan dan dijatuhi hukuman pendidikan ulang melalui kerja paksa, menempatkan mereka ke kelas masyarakat paling bawah. Partai Komunis Tiongkok membuat para cendekiawan — yang pandangannya dulu dihormati dan telah membimbing masyarakat — menjadi bahan ejekan dan diejek.

Pemberantasan terhadap elit tradisional yang membawa proses mewarisi dan meneruskan budaya tradisional Tiongkok, telah berlangsung beberapa generasi, dan telah berakhir. Orang-orang muda yang hidup tidak lagi dibudayakan, disosialisasikan, dan dipelihara dalam budaya tradisional Tiongkok melalui keluarga, sekolah, masyarakat, atau desa — akibatnya menjadi generasi tanpa budaya tradisional.

Setelah Gerakan Anti-Kanan, baik di keluarga, sekolah, atau masyarakat, tidak ada suara yang merdeka. Namun Partai Komunis Tiongkok masih belum puas. Bagaimanapun, kaum lanjut usia yang masih menyimpan ingatan akan budaya tradisional Tiongkok dan benda-benda material budaya tradisional, termasuk artefak dan bangunan kuno, ada di mana-mana. Selain itu, nilai-nilai tradisional Tiongkok terus diwariskan melalui seni.

Pada tahun 1966, Partai Komunis Tiongkok memprakarsai gerakan yang bertujuan menghancurkan budaya tradisional Tiongkok dalam skala yang lebih besar – Revolusi Kebudayaan Besar. Dengan menggunakan para siswa yang telah dicuci otak setelah berdirinya Republik Rakyat Tiongkok, Partai Komunis Tiongkok membangkitkan kegelisahan dan pemberontakan remaja, dan menggunakan kampanye “Penghancuran Empat Kuno” yakni ide-ide lama, budaya lama, kebiasaan lama, perilaku lama untuk melampiaskan malapetaka dan kehancuran pada budaya tradisional Tiongkok.

Setelah Revolusi Kebudayaan, api neraka Penghancuran Empat Kuno membara di seluruh negeri Tiongkok. Biara, kuil, patung dan lukisan Buddha, artefak, dan situs budaya tradisional Tiongkok dihancurkan seluruhnya. Inti budaya Tiongkok yang telah diwarisi dan dilestarikan selama ribuan tahun dihancurkan dalam waktu satu malam, tanpa harapan adanya pemulihan.

Sebelum Revolusi Kebudayaan, ada lebih dari 500 kuil dan biara di Beijing. Setiap satu dari ribuan kota di Tiongkok memiliki tembok, kuil, dan biara kuno. Artefak kuno ada di mana-mana. Hanya menggali dengan kedalaman 300 cm di bawah tanah, artefak dari sejarah yang baru saja berlalu dapat ditemukan; digali lebih dalam lagi 600 cm, 900 cm, atau 6 meter, artefak yang tak terhitung jumlahnya yang ditinggalkan oleh dinasti sebelumnya dapat ditemukan. Namun selama Revolusi Kebudayaan, sejumlah besar artefak ini dihancurkan.

Kampanye Penghancuran Empat Kuno tidak hanya menghancurkan tempat praktik keagamaan, doa, dan kultivasi — tempat-tempat kuno yang mewakili keharmonisan antara manusia dan Surga — tetapi juga melenyapkan keyakinan lurus dari hati manusia yang mendasar, seperti kepercayaan pada harmoni antara manusia dan kosmos. Banyak manusia, yang meyakini bahwa tradisi semacam itu tidak relevan, mungkin tidak terlalu memikirkan hal ini, tetapi ketika manusia memutuskan hubungannya dengan dewa, maka manusia akan kehilangan perlindungan dewa dan mendekati jurang yang berbahaya. Pada titik itu, hanya masalah waktu saja.

Selanjutnya, untuk memutus hubungan orang-orang Tiongkok dengan leluhur dan dewa-dewa mereka, Partai Komunis Tiongkok memimpin dalam mengutuk leluhur orang-orang Tiongkok serta mencemarkan dan menolak budaya tradisional Tiongkok. Negara-negara di seluruh dunia biasanya menghormati leluhur dan raja mereka di masa lalu dan menghargai tradisi mereka. Demikian juga, orang bijak dan filsuf sejarah Tiongkok mewariskan budaya kemegahan. Budaya ini adalah harta yang menjadi milik Tiongkok dan dunia serta layak dihargai oleh generasi mendatang.

Namun di mata Partai Komunis Tiongkok dan para propagandanya yang tak tahu malu, kaisar, jenderal, cendekiawan, dan orang-orang berbakat pada zaman Tiongkok kuno tidak ada gunanya. Penghinaan terhadap leluhur sendiri seperti itu memang jarang terjadi sepanjang sejarah. Dipimpin oleh Partai Komunis Tiongkok, orang-orang Tiongkok menjadi penentang Tuhan, menolak leluhur mereka, dan menghancurkan budaya mereka sendiri, menempatkan mereka di jalan yang berbahaya.

Menganiaya Agama

Keyakinan agama adalah komponen vital dari budaya tradisional Tiongkok. Taoisme, Budha, dan Konfusianisme yang dikenal oleh dunia saling terkait dalam kecemerlangam mereka dan bertahan selama ribuan tahun dalam sejarah Tiongkok. Banyak agama Barat juga berperan dalam sejarah Tiongkok.

Setelah Partai Komunis Tiongkok memperoleh kekuasaan melalui kekerasan pada tahun 1949, Partai Komunis Tiongkok mengikuti jejak Uni Soviet. Di satu sisi, Partai Komunis Tiongkok mempromosikan ateisme dan melancarkan serangan ideologis terhadap kepercayaan pada Tuhan. Di sisi lain, sepanjang serangkaian gerakan politik, Partai Komunis Tiongkok menggunakan metode kekerasan dan tekanan yang kejam untuk menekan, menganiaya, dan menghilangkan agama, termasuk melalui pembunuhan para praktisi agama. Penganiayaan terhadap mereka yang berkeyakinan ortodoks menjadi semakin parah, sampai puncaknya dengan dimulainya penganiayaan berdarah terhadap latihan spiritual Falun Gong pada tahun 1999.

Setelah 1949, Partai Komunis Tiongkok mulai menganiaya agama dalam skala besar dan melarang pertemuan keagamaan. Partai Komunis Tiongkok membakar banyak salinan Alkitab dan tulisan suci dari banyak agama lain. Partai Komunis Tiongkok juga menuntut hukuman berat bagi penganut Kristen, Katolik, Tao, dan Buddha, termasuk anggota yang mendaftar ke pemerintah dan bertobat atas kesalahan yang seharusnya. Mereka yang menolak untuk patuh dikenakan hukuman berat.

Pada tahun 1951, Partai Komunis Tiongkok juga secara eksplisit menyatakan bahwa mereka yang terus menghadiri pertemuan keagamaan akan dieksekusi atau dipenjara seumur hidup. Banyak biksu yang diusir dari kuil-kuil atau dipaksa hidup dan bekerja di lingkungan duniawi. Pastor Katolik dan pendeta Barat di Tiongkok dipenjara dan disiksa. Para pendeta Tiongkok juga masuk penjara, sementara orang-orang percaya dieksekusi atau dikirim ke reformasi melalui kerja paksa. Para pendeta dan umat Kristen mengalami nasib yang sama dengan umat Katolik.

Setelah tahun 1949, lebih dari 5.000 uskup dan pastor Katolik Tiongkok dipenjara atau dieksekusi, dan hanya beberapa ratus yang tersisa. Beberapa pendeta asing di Tiongkok dieksekusi. Sisanya diusir. Lebih dari 11.000 umat Katolik dibunuh. Banyak pengikut ditangkap secara sewenang-wenang atau menjadi sasaran denda yang terlalu berat. Menurut statistik yang tidak lengkap, dalam beberapa tahun pertama kebangkitan Partai Komunis Tiongkok, hampir 3 juta pengikut agama dan anggota organisasi keagamaan ditangkap atau dieksekusi.

Seperti Partai Komunis Uni Soviet, untuk memperkuat kepemimpinan atas agama, Partai Komunis Tiongkok membentuk badan pengatur untuk setiap kelompok, seperti Asosiasi Tao Tiongkok, Asosiasi Buddha Tiongkok, dan sejenisnya. Dalam melawan umat Katolik, Partai Komunis Tiongkok mendirikan Asosiasi Patriotik Katolik Tiongkok, yang dikendalikan sepenuh oleh Partai Komunis Tiongkok. Semua asosiasi agama dibuat untuk mengikuti kehendak Partai Komunis Tiongkok, yang mengendalikan dan “mengubah pemikiran” anggota asosiasi agama tersebut. Pada saat yang sama, Partai Komunis Tiongkok memanfaatkan asosiasi agama tersebut untuk melakukan perbuatan yang tidak dapat dilakukan secara langsung oleh hantu komunisme yang jahat, yaitu: untuk menabur perselisihan dan merusak agama-agama ortodoks dari dalam.

Partai Komunis Tiongkok memperlakukan agama Buddha Tibet dengan cara yang sama. Setelah mengirim tentara dan menduduki Tibet pada tahun 1950, Partai Komunis Tiongkok memulai penganiayaan berat terhadap agama Buddha Tibet. Dalai Lama ke-14 melarikan diri dari Tibet pada tahun 1958 dan tinggal di pengasingan di India, yang oleh Partai Komunis Tiongkok dianggap sebagai pemberontakan. Pada bulan Mei 1962, Panchen Lama ke-10 menyerahkan kepada Dewan Negara Partai Komunis Tiongkok sebuah laporan mengenai sabotase budaya Tibet oleh Partai Komunis Tiongkok, terutama tradisi budayanya:

Terlepas dari sejumlah kecil biara, adapun pemusnahan patung Buddha, kitab suci Buddha dan stupa Buddha, pada dasarnya mencakup empat biara besar yang dilindungi, di biara-biara lainnya di Tibet dan di desa-desa, kota-kota kecil dan kota-kota di wilayah pertanian dan penggembalaan hewan yang luas, beberapa kader Han dari pihak kami membuat rencana, kader kami di Tibet akan dimobilisasi, dan beberapa orang di antara aktivis yang tidak memahami alasan berperan sebagai pelaksana rencana tersebut. Mereka membajak nama massa dan mengenakan kedok massa, dan memicu aksi massa besar-besaran untuk memusnahkan patung-patung Buddha. Kitab suci dan stupa Buddha, dilemparkan ke dalam air, dicampakkan di atas tanah, dirobek dan dilelehkan. Mereka secara sembarangan melakukan perusakan secara liar dan tergesa-gesa di biara-biara, aula Buddha, dinding mani dan stupa mani, dan mencuri banyak ornamen dari patung Buddha dan benda-benda berharga dari stupa Buddha. Karena badan pembelian pemerintah tidak berhati-hati dalam membuat perbedaan saat membeli logam non-ferro, mereka membeli banyak patung Buddha, stupa, dan menawarkan kapal yang terbuat dari logam non-ferro dan menunjukkan sikap yang mendorong penghancuran barang-barang ini. Akibatnya, di beberapa desa dan biara tampak seolah-olah hal tersebut bukan hasil tindakan manusia yang disengaja, tetapi tampak seolah-olah secara tidak sengaja dihancurkan oleh pengeboman dan perang yang baru saja berakhir, dan mereka tak tertahankan untuk melihatnya.

Lebih jauh lagi, mereka dengan kejam menghina agama, menggunakan Tripitaka sebagai bahan untuk pupuk, khususnya menggunakan gambar Buddha dan sutra Buddha untuk membuat sepatu. Sungguh sesuatu yang tidak masuk akal. Karena mereka melakukan banyak hal yang bahkan orang gila tidak akan melakukannya, orang-orang dari semua strata sangat terkejut, emosi mereka sangat labil, sangat berkecil hati dan patah hati. Mereka menangis, mengalirkan air mata: ‘Daerah kami telah berubah menjadi daerah gelap,’ dan tangisan-tangisan yang menyayat hati. [4]

Setelah dimulainya Revolusi Kebudayaan pada tahun 1966, banyak Lama dipaksa untuk hidup duniawi, dan banyak tulisan suci yang berharga dibakar. Hingga tahun 1976, dari 2.700 kuil yang semula ada di Tibet, hanya delapan kuil yang tersisa. Kuil Jokhang, yang dibangun lebih dari 1.300 tahun yang lalu — sebelum Dinasti Tang — dan merupakan kuil terpenting di Tibet, juga dirampok selama Revolusi Kebudayaan.

Di Tiongkok, kultivasi Taoisme memiliki sejarah kuno. Lebih dari 2.500 tahun yang lalu, Laozi meninggalkan Dao De Jing, yang terdiri dari 5.000 karakter, yang merupakan inti kultivasi Tao. Penyebaran Dao De Jing tidak terbatas pada negara-negara Timur; Dao De Jing diterjemahkan ke dalam bahasa asli banyak negara Barat. Namun selama Revolusi Kebudayaan, Laozi dikritik sebagai orang munafik, dan Dao De Jing dianggap sebagai “takhayul feodal.”

Keyakinan inti Konfusianisme adalah kebajikan, kebenaran, kecenderungan moral untuk melakukan hal yang baik, perilaku yang baik, kebijaksanaan, dan kepercayaan. Konfusius menetapkan standar moral selama beberapa generasi. Selama Revolusi Kebudayaan, para pemberontak di Beijing memimpin Pengawal Merah ke Qufu, kampung halaman Konfusius, di mana mereka menyabot dan membakar buku-buku kuno dan menghancurkan ribuan batu nisan bersejarah, termasuk batu nisan Konfusius. Pada tahun 1974, Partai Komunis Tiongkok memulai gerakan lain untuk “Mengkritik Lin [Biao], Mengkritik Konfusius.” Partai Komunis Tiongkok mempertimbangkan pemikiran tradisional Konfusianisme — bagaimana seseorang harus hidup dan standar moral untuk ditegakkan — menjadi tidak berharga.

Yang lebih brutal dan tragis adalah penganiayaan, yang diluncurkan pada bulan Juli 1999 oleh pemimpin Partai Komunis Tiongkok Jiang Zemin, terhadap Falun Gong juga dikenal sebagai Falun Dafa dan para kultivatornya, yang berlatih sejati, baik, dan sabar. Lebih jauh, Partai Komunis Tiongkok melakukan pengambilan organ dari praktisi Falun Gong yang masih hidup, sebuah kejahatan yang belum pernah ada sebelumnya di planet ini.

Selama beberapa dekade, Partai Komunis Tiongkok benar-benar menghancurkan nilai budaya tradisional Tiongkok, nilai-nilai moral, dan kepercayaan dalam kultivasi diri selama ribuan tahun. Akibatnya, manusia tidak lagi percaya pada dewa, berpaling dari dewa, dan mengalami kekosongan spiritual dan kerusakan nilai-nilai moral. Dengan demikian, masyarakat semakin memburuk dari hari ke hari.

2. Di Barat: Menyusup dan Membatasi Agama

Roh jahat komunisme juga membuat pengaturan sistematis untuk menyerang umat beragama di negara-negara non-komunis. Melalui Partai Komunis Uni Soviet dan Partai Komunis Tiongkok, hantu komunisme menggunakan uang dan mata-mata untuk menyusup ke lembaga keagamaan di negara lain, dengan dalih “pertukaran agama,” untuk melemahkan keyakinan lurus atau untuk langsung menyerang lembaga keagamaan tersebut dan memperkenalkan ideologi sosialis dan komunis dalam agama, yang kemudian akan menyebabkan orang-orang yang percaya terus menyembah dan mempraktikkan agama-agama yang telah diubah oleh ideologi komunis.

a. Penyusupan Agama

Curtis Bowers, produser dokumenter Agenda—Grinding America Down, menemukan kesaksian yang diberikan di hadapan Kongres AS pada tahun 1953 oleh Manning Johnson, seorang anggota Partai Komunis tingkat tinggi. Manning Johnson berkata:

Begitu taktik penyusupan ke organisasi keagamaan ditetapkan oleh Kremlin, mekanisme sebenarnya untuk menerapkan ‘garis baru’ adalah pertanyaan yang menyertai pengalaman umum gerakan gereja yang masih hidup di Rusia, di mana Komunis menemukan bahwa penghancuran agama dapat dilanjutkan jauh lebih cepat melalui penyusupan gereja oleh agen Komunis yang beroperasi di dalam gereja itu sendiri…

Secara umum, idenya adalah untuk mengalihkan penekanan pemikiran pendeta dari spiritual ke material dan politik — secara politik, tentu saja, adalah politik yang didasarkan pada doktrin Komunis mengenai penaklukan kekuasaan. Alih-alih menekankan pada hal-hal spiritual dan jiwa, penekanan yang baru dan berat adalah untuk berurusan dengan hal-hal yang, utamanya, mengarah pada “tuntutan langsung” program Komunis. Tentu saja tuntutan sosial ini berasal dari sebuah sifat yang diperjuangkan oleh mereka yang akan cenderung melemahkan masyarakat kita saat ini dan mempersiapkannya untuk penaklukan terakhir oleh pasukan Komunis.

Roh jahat komunisme memang bertindak dengan cara seperti ini. Sebagai contoh, beberapa Marxis menyamar untuk menyusup ke gereja-gereja Kristen di Amerika Serikat. Mereka mulai memasuki seminari-seminari pada tahun 1980-an hingga 1990-an dan salah mendidik para pendeta dan pastor, generasi demi generasi, yang kemudian berlanjut memengaruhi agama di Amerika Serikat.

Sejarawan Bulgaria, Momchil Metodiev, setelah penelitian mendalam terhadap arsip era Perang Dingin dari Partai Komunis Bulgaria, mengungkap fakta bahwa jaringan intelijen komunis Eropa Timur bekerja sama yang erat dengan komite keagamaan Partai untuk mempengaruhi dan menyusup ke organisasi keagamaan internasional. [5]

Pada skala global, satu organisasi yang secara bermakna disusupi oleh komunisme di Eropa Timur adalah World Council of Churches. Didirikan pada tahun 1948, World Council of Churches adalah organisasi antar-gereja Kristen di seluruh dunia. Anggotanya termasuk gereja-gereja dari berbagai bentuk arus utama Kekristenan, yang mewakili sekitar 590 juta orang dari 150 negara yang berbeda. Karena itu, World Council of Churches adalah kekuatan utama dalam lingkaran agama dunia.

Namun, World Council of Churches adalah organisasi keagamaan internasional pertama yang menerima negara-negara komunis (termasuk Uni Soviet dan negara-negara bawahannya) sebagai anggota selama Perang Dingin dan menerima dukungan keuangan dari negara-negara komunis.

Penyusupan komunis ke dalam World Council of Churches mencakup kemenangan penting, seperti pemilihan uskup metropolitan Leningrad, Nikodim (nama kelahiran Boris Georgievich Rotov), sebagai presiden World Council of Churches pada tahun 1975. Kemenangan lain adalah peran selama puluhan tahun yang dimainkan oleh mata-mata komunis Bulgaria bernama Todor Sabev, yang menjabat sebagai wakil sekretaris jenderal World Council of Churches antara tahun 1979 hingga 1993.

Momchil Metodiev mencatat bahwa pada tahun 1970-an, Nikodim memimpin penyusupan di bawah arahan KGB, dengan dukungan dari para uskup dan agen-agen di Bulgaria. [6]

Berdasarkan dokumen KGB yang dirilis dari tahun 1969, sejarawan dan profesor Universitas Cambridge Christopher Andrew menulis bahwa selama Perang Dingin, perwakilan penting Gereja Ortodoks Rusia di World Council of Churches secara diam-diam bekerja untuk KGB, memberikan pengaruh rahasia pada kebijakan dan operasi World Council of Churches. Dokumen KGB yang dirilis dari tahun 1989 menunjukkan bahwa perwakilan Gereja Ortodoks Rusia yang dikendalikan KGB ini berhasil memasukkan agenda mereka ke dalam komunikasi publik World Council of Churches. [7]

Jika kita memahami bagaimana komunis Eropa Timur menyusup dan memanipulasi gereja-gereja, tidak sulit untuk memahami mengapa World Council of Churches mengabaikan oposisi para anggotanya dan bersikeras mendanai Front Persatuan Patriotik Nasional Uni Afrika pada Januari 1980. Persatuan Patriotik Nasional Uni Afrika adalah kelompok gerilyawan komunis yang terkenal jahat yang diketahui membunuh para misionaris dan menembak jatuh pesawat komersial.

World Council of Churches juga disusupi oleh Partai Komunis Tiongkok melalui Dewan Kristen Tiongkok, sebuah alat Partai Komunis Tiongkok untuk mengendalikan agama. Dewan Kristen Tiongkok adalah satu-satunya perwakilan resmi komunis Tiongkok di World Council of Churches, dan karena pengaruh moneter dan pengaruh lainnya, World Council of Churches telah bertahun-tahun lamanya sejalan dengan kepentingan Partai Komunis Tiongkok.

Sekretaris jenderal World Council of Churches secara resmi mengunjungi Tiongkok pada awal 2018 dan bertemu dengan beberapa organisasi Kristen yang dikendalikan Partai Komunis Tiongkok, termasuk Dewan Kristen Tiongkok, Komite Nasional Gerakan Tiga-Diri Patriotik dari Gereja-Gereja Protestan di Tiongkok, dan Administrasi Negara untuk Agama Urusan. Di Tiongkok, jumlah anggota kelompok Kristen yang tidak resmi (gereja bawah tanah) jauh lebih besar daripada yang resmi; namun delegasi World Council of Churches tidak mengatur pertemuan dengan kelompok Kristen yang tidak resmi, untuk menghindari perselisihan dengan Beijing.

b. Membatasi Agama

Penyusupan roh jahat komunisme di Barat ada di mana-mana, dan agama telah dibanjiri oleh ideologi dan perilaku yang menjelek-jelekkan Tuhan. Ide seperti “pemisahan gereja dan negara” dan “kebenaran politik” yang berasal dari komunisme telah digunakan untuk memarginalkan dan menyabotase agama-agama yang benar dan ortodoks.

Amerika Serikat dibangun sebagai satu bangsa di bawah Tuhan. Saat dilantik, semua presiden Amerika Serikat meletakkan salah satu tangannya di atas Alkitab dan meminta Tuhan untuk memberkati Amerika Serikat. Saat ini, ketika orang-orang beragama mengkritik perilaku, ide, dan kebijakan yang menyimpang dari Tuhan, atau ketika mereka berbicara menentang aborsi atau homoseksualitas, yang dilarang oleh Tuhan, komunis di Amerika Serikat atau kaum militan Kiri melakukan serangan. Mereka menggunakan “pemisahan gereja dan negara” untuk mengatakan bahwa agama seharusnya tidak ada hubungannya dengan politik, dan dengan demikian berusaha untuk membatasi kehendak Tuhan serta membatasi peringatan dan pembatasan pada perilaku manusia yang ditetapkan oleh Tuhan.

Selama ribuan tahun, Tuhan telah membuat diri mereka dikenal oleh manusia yang beriman. Manusia yang setia dengan kepercayaan yang benar merupakan mayoritas masyarakat di masa lalu dan memiliki pengaruh yang sangat positif terhadap moralitas sosial. Saat ini, manusia hanya dapat berbicara mengenai kehendak Tuhan di gereja. Di luar gereja, manusia tidak dapat mengkritik atau menolak upaya yang merusak parameter Tuhan dalam perilaku manusia. Agama hampir kehilangan fungsinya dalam menjaga moralitas masyarakat, dan sebagai akibatnya, moralitas di Amerika Serikat telah runtuh bagai tanah longsor.

Dalam beberapa tahun terakhir, kebenaran politik telah dipromosikan ke ketinggian baru, ke titik di mana orang ragu-ragu untuk mengatakan “Selamat Natal” di negara yang didirikan berdasarkan agama Kristen. Ini terjadi hanya karena beberapa orang mengklaim bahwa tindakan tersebut adalah salah secara politis dan menyakiti perasaan orang-orang non-Kristen. Demikian pula, ketika orang secara terbuka berbicara mengenai kepercayaan mereka kepada Tuhan atau berdoa kepada Tuhan, beberapa orang mengklaim tindakan ini sebagai diskriminasi terhadap penganut kepercayaan lain, termasuk orang yang tidak percaya. Sebenarnya, semua orang harus diizinkan untuk mengekspresikan keyakinan mereka, termasuk menghormati Tuhan mereka, dengan cara mereka sendiri, dan hal ini tidak ada hubungannya dengan diskriminasi.

Di sekolah zaman sekarang, kelas-kelas yang melibatkan kepercayaan lurus dan nilai-nilai tradisional tidak diizinkan untuk diajarkan. Guru tidak boleh berbicara mengenai Penciptaan, karena alasan sains belum membuktikan keberadaan Tuhan. Ilmu pengetahuan juga belum membuktikan ateisme dan evolusi — tetapi teori-teori ini diajarkan sebagai kebenaran di sekolah. Di sisi lain, pidato yang menyerang, menolak, dan memfitnah Tuhan, semuanya dilindungi dan dimuliakan di bawah panji kebebasan berbicara.

Penyusupan roh jahat komunisme terhadap masyarakat, dan pengekangan dan manipulasinya terhadap agama, budaya, pendidikan, seni, dan hukum, merupakan masalah yang sangat kompleks dan sistemik. Kami akan membahasnya secara rinci di bab-bab selanjutnya.

3. Teologi Roh Jahat Komunisme yang Membelit

Pada abad yang lalu, berbagai teologi yang diputarbalikkan masih berlaku ketika pemikiran komunis menyapu dunia religius, merongrong pendeta serta menyusup dan merusak agama-agama ortodoks secara halus. Pendeta tanpa malu-malu menafsirkan tulisan suci sesuai dengan keinginannya, memutarbalikkan ajaran lurus yang ditinggalkan oleh makhluk yang tercerahkan dari agama ortodoks. Khususnya pada tahun 1960-an, “teologi revolusioner,” “teologi harapan,” “teologi politik,” dan teologi-teologi yang diputarbalikkan lainnya yang jenuh dalam pemikiran Marxis menebarkan kekacauan di dunia keagamaan.

Banyak pastor di Amerika Latin yang dididik di seminari Eropa pada abad terakhir sangat dipengaruhi oleh teori teologis baru yang telah diubah oleh tren komunis. “Teologi Pembebasan” adalah aktif di Amerika Latin pada abad ke-20 selama tahun 1960-an hingga 1980-an. Perwakilan utamanya adalah pastor Peru bernama Gustavo Gutiérrez.

Teologi pembebasan memperkenalkan perjuangan kelas dan pemikiran Marxian langsung ke dalam agama, dan menafsirkan belas kasihan Tuhan bagi umat manusia dalam arti bahwa orang miskin harus dibebaskan — dan, dengan demikian, bahwa orang-orang beragama harus mengambil bagian dalam perang kelas agar orang miskin mendapatkan status yang setara. Aliran pemikiran ini menggunakan instruksi Tuhan bagi Musa untuk memimpin orang-orang Yahudi keluar dari Mesir sebagai landasan teoretis untuk keyakinan bahwa agama Kristen harus membebaskan orang miskin.

Teologi yang muncul ini, yang menekankan perang kelas dan pendirian sosialisme, sangat dipuji oleh Fidel Castro, pemimpin Partai Komunis Kuba. Meskipun Gereja Katolik tradisional telah menolak proliferasi dari teologi baru ini, Paus yang baru yang ditunjuk pada tahun 2013, mengundang perwakilan teologi pembebasan, Gustavo Gutiérrez sebagai tamu utama untuk menghadiri konferensi pers di Vatikan pada tanggal 12 Mei 2015, yang menunjukkan saat ini Gereja Katolik secara diam-diam setuju dan mendukung teologi pembebasan.
Teologi pembebasan pertama-tama menyebar ke Amerika Selatan dan kemudian ke seluruh dunia. Di berbagai belahan dunia, muncul banyak teologi yang mirip dengan teologi pembebasan, seperti “teologi hitam,” “teologi wanita,” “teologi Kematian Tuhan,” “teologi liberal,” dan bahkan “Teologi queer” yang dikenal mendukung kebebasan hak seksual. Teologi yang telah diputarbalikkan sangat mengganggu kepercayaan Katolik, Kristen, dan ortodoks lainnya di seluruh dunia.

Selama tahun 1970-an, di Amerika Serikat, pemimpin Kuil Rakyat Murid-Murid Kristus yang terkenal (disingkat “Kuil Rakyat”), yang menyebut dirinya reinkarnasi Lenin, adalah seorang pengikut Marxis dan menetapkan ajaran asli Marxisme- Leninisme dan Pemikiran Mao Zedong sebagai doktrin Kuil Rakyat. Ia mengklaim bahwa ia berdakwah di Amerika Serikat untuk mencapai cita-cita komunismenya.

Setelah membunuh anggota Kongres Amerika Serikat bernama Leo Ryan, yang sedang menyelidiki tuduhan terhadap Kuil Rakyat, pemimpin Kuil Rakyat tahu bahwa akan sulit baginya untuk melarikan diri, maka dengan kejam ia memaksa pengikutnya untuk melakukan bunuh diri massal. Bahkan ia membunuh pengikut yang tidak mau bunuh diri bersamanya. Pada akhirnya, lebih dari 900 orang melakukan bunuh diri atau terbunuh. Sekte ini menodai reputasi agama dan memengaruhi iman orang benar dalam agama ortodoks. Dengan demikian, sangat berdampak negatif terhadap orang-orang pada umumnya.

4. Kekacauan Agama

Buku The Naked Communist atau Kaum Kaum Komunis Apa Adanya, yang diterbitkan pada tahun 1958, mencantumkan 45 target di Amerika Serikat untuk dihancurkan komunisme. Yang mengejutkan, sebagian besar tujuan telah tercapai. No. 27 dalam daftar tersebut menyatakan: “Menyusup ke gereja-gereja dan mengganti agama yang diwahyukan dengan agama ‘sosial’. Mendiskreditkan Alkitab… ”[8]

Di sektor keagamaan saat ini, tiga agama ortodoks asli khususnya — Kristen, Katolik, dan Yudaisme (bersama-sama disebut sebagai agama yang diwahyukan) —telah diubah secara jahat dan dikendalikan oleh roh jahat komunisme, dan telah kehilangan fungsi yang dimiliki dalam bentuk agama yang asli. Umat baru yang didirikan atau diubah secara iblis dengan prinsip dan konsep komunis telah menjadi penyebaran langsung ideologi komunis. Agama adalah batu penjuru yang penting dalam menjaga kelancaran dan normal operasi dunia Barat, namun agama telah berubah bentuk oleh roh komunisme sehingga tidak dapat dikenali lagi.

Di gereja-gereja dari berbagai agama saat ini, banyak uskup dan pendeta secara bersamaan mengumumkan teologi yang menyimpang, sementara juga merusak dan mendampingi para pengikutnya dalam serangkaian skandal tanpa henti. Banyak orang percaya pergi ke gereja karena mereka pikir itu adalah hal yang beradab untuk melakukan atau bahkan bentuk hiburan atau kehidupan sosial, tetapi mereka tidak benar-benar berkomitmen untuk mengembangkan karakter mereka.

Agama telah dirusak dari dalam. Hasilnya adalah manusia kehilangan kepercayaan pada agama dan keyakinan lurus pada Buddha, Tao, dan dewa. Akibatnya manusia akhirnya meninggalkan kepercayaan mereka. Jika manusia tidak percaya pada yang Ilahi, para dewa tidak akan melindunginya, dan pada akhirnya, umat manusia akan dihancurkan.

Pada tanggal 29 Juni 2017, Departemen Kepolisian Victoria di Australia mengadakan konferensi pers singkat untuk mengumumkan bahwa “karena tuduhan yang dibuat oleh banyak penggugat,” maka Kardinal Australia George Pell akan menghadapi tuduhan terkait dengan pelanggaran seksual. George Pell menjadi uskup agung Melbourne pada tahun 1996 dan menjadi kardinal pada tahun 2003. Pada bulan Juli 2014, di bawah penugasan oleh Paus Francis, George Pell mengambil tanggung jawab untuk mengawasi semua transaksi keuangan di Vatikan. George Pell memiliki kekuatan luar biasa dan merupakan orang nomor 3 di Vatikan.

Pada tahun 2002, Boston Globe membawa serangkaian laporan mengenai pelecehan seksual terhadap anak-anak oleh pastor Katolik di Amerika Serikat. Investigasi wartawan mengungkapkan bahwa selama beberapa dekade, hampir 250 pastor Boston telah melakukan pelecehan terhadap anak-anak, dan bahwa gereja, dalam upaya menutupi hal itu, menggeser pastornya dari satu daerah ke daerah lain, daripada memberitahu polisi. Para pastor terus menganiaya anak-anak di daerah baru, sehingga memakan lebih banyak korban.

Peristiwa serupa dengan cepat menyebar ke seluruh Amerika Serikat. Rahasia terbuka meluas ke para pastor di negara-negara lain di mana ada kehadiran agama Katolik, termasuk Irlandia, Australia, dan lainnya. Kelompok-kelompok agama lain mulai secara terbuka mengecam kecurangan Gereja Katolik Roma.

Akhirnya, di bawah tekanan publik, Santo Yohanes Paulus II terpaksa mengadakan konferensi di Vatikan untuk para kardinal Katolik Amerika Serikat, di mana Vatikan mengakui bahwa pelecehan seksual terhadap anak-anak adalah kejahatan dan menyatakan bahwa struktur administrasi gereja akan direformasi. Selanjutnya, gereja akan mengusir para pastor yang melecehkan anak-anak secara seksual, dan para penjahat akan dipenjara. Sejauh ini, gereja telah membayar lebih dari 2 miliar dolar Amerika Serikat untuk penyelesaian pelanggaran.

Menguras uang orang-orang beriman atas nama agama juga sudah biasa terjadi. Sebagai contoh, di Tiongkok, berbagai agama telah menggelapkan uang secara merajalela dengan memanfaatkan kepercayaan orang-orang percaya terhadap Buddha, Tao, dan dewa, yang secara efektif mengubah agama menjadi sebuah bisnis. Uang dikenakan untuk upacara keagamaan dan untuk menyembah dengan membakar dupa, dengan biaya kadang-kadang sebesar hingga 100.000 yuan (15.000 dolar Amerika Serikat).

Lebih banyak gereja dan kuil telah dibangun, tampak semakin indah di permukaan, sementara kepercayaan yang benar kepada Tuhan semakin berkurang. Murid yang benar-benar berkultivasi semakin sedikit. Banyak kuil dan gereja telah menjadi tempat berkumpulnya roh-roh jahat dan hantu, dan kuil-kuil di Tiongkok telah berubah menjadi situs wisata komersial di mana para biksu mendapat gaji, dan kepala biara Budha dan Daois memimpin sebagai CEO.

Selama mempelajari laporan Kongres ke-19 Partai Komunis Tiongkok, wakil ketua Asosiasi Buddha Tiongkok mengklaim pada “Program Pelatihan untuk Semangat Kongres ke-19” bahwa “Laporan Kongres ke-19 adalah tulisan suci kontemporer umat Buddha, dan saya telah menyalinnya tiga kali.” Ia juga menyatakan,“ Partai Komunis Tiongkok adalah Buddha dan Bodhisattva masa kini, dan laporan Kongres ke-19 adalah tulisan suci kontemporer umat Buddha di Tiongkok, dan bersinar bersama dengan kepercayaan Partai Komunis yang berkilau.”

Ada juga orang-orang yang meminta umat Buddha untuk mengikuti teladannya dan menerapkan metode menyalin tulisan tangan untuk menyalin laporan Kongres ke-19 tersebut dengan hati yang saleh sehingga mereka dapat mengalami pencerahan. Ketika laporan berita ini diterbitkan di Institut Buddha Nanhai di Provinsi Hainan, hal tersebut menimbulkan kontroversi besar dan akhirnya dihapus. Namun laporan tersebut tersebar luas di internet.

Kejadian ini menunjukkan bahwa agama Buddha yang resmi di Tiongkok penuh dengan biksu-politisi dan pada dasarnya bukanlah komunitas kultivasi. Sebagai gantinya, agama Buddha yang resmi Tiongkok telah menjadi alat yang digunakan oleh Partai Komunis Tiongkok untuk menjalankan perintahnya.

Selama lebih dari seribu tahun, para uskup di seluruh dunia secara langsung ditunjuk atau diakui oleh Vatikan. 30 Atau lebih uskup yang sebelumnya diakui oleh Vatikan di wilayah Tiongkok belum diakui oleh Partai Komunis Tiongkok. Demikian juga, Vatikan dan umat Katolik di Tiongkok yang setia pada Vatikan (khususnya orang-orang beriman bawah tanah) belum mengakui uskup yang ditunjuk Partai Komunis Tiongkok. Namun, di bawah paksaan dan bujukan yang terus-menerus oleh Partai Komunis Tiongkok, baru-baru ini Paus memulai percakapan dengan Partai Komunis Tiongkok yang tampaknya Vatikan mengakui para uskup yang ditunjuk oleh Partai Komunis Tiongkok. Dengan demikian, para uskup yang sebelumnya ditunjuk oleh Vatikan akan disingkirkan.

Gereja adalah komunitas iman yang tujuannya adalah untuk memungkinkan orang percaya untuk memupuk, mengangkat moralitas mereka, dan akhirnya kembali ke Surga. Ketika di dunia terjadi kesepakatan antara manusia dengan roh jahat untuk memberontak melawan Tuhan, di mana roh komunisme diizinkan untuk mengatur dan mengangkat para uskup dan dengan demikian bertanggung jawab atas hal-hal yang menyangkut kepercayaan puluhan juta umat Katolik di Tiongkok, bagaimana Tuhan memandang hal ini? Apa yang akan terjadi pada puluhan juta umat Katolik di Tiongkok di masa depan?

Di Tiongkok, sebuah negara dengan budaya tradisional yang kaya, roh komunisme dengan susah payah mengatur sistem untuk menghancurkan budaya tradisional, menghancurkan agama-agama ortodoks, dan memusnahkan tubuh fisik manusia, sementara secara serentak meremehkan masyarakat dan memutuskan hubungan manusia dengan para dewa — semuanya bertujuan untuk menghancurkan manusia.

Di Barat dan bagian lain dunia, roh komunisme menggunakan penipuan dan penyusupan untuk menjelek-jelekkan agama-agama ortodoks dan untuk membingungkan dan menyesatkan manusia sehingga manusia melepaskan kepercayaan ortodoks. Dengan demikian manusia semakin menjauh dari para dewa sampai akhirnya manusia menghadapi kehancuran total. Tidak peduli apa pun cara yang digunakan oleh roh jahat komunisme, tujuan utamanya tetap sama — untuk menghancurkan umat manusia.

Lanjut Baca Bab Tujuh.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Pospielovsky, Dimitry V. 1987. History Of Marxist-Leninist Atheism And Soviet Antireligious: A History Of Soviet Atheism In Theory And Practice And The Believer. Springer. p. 80

[2] https://www.loc.gov/exhibits/archives/ae2bkhun.html

[3] From an interview of Patriarch Alexy II, given to “Izvestia” No 137, 10 June 1991, entitled “Patriarch Alexy II: – I Take upon Myself Responsibility for All that Happened”, English translation from Nathaniel Davis, A Long Walk to Church: A Contemporary History of Russian Orthodoxy, (Oxford: Westview Press, 1995), p 89. See also History of the Russian Orthodox Church Abroad, by St. John (Maximovich) of Shanghai and San Francisco, 31 December 2007

[4] From the Heart of the Panchen Lama, Central Tibetan Administration, India, 1998, http://tibet.net/wp-content/uploads/2015/04/FROM-THE-HEART-OF-THE-PANCHEN-LAMA-1998.pdf

[5] Momchil Metodiev, Between Faith and Compromise: The Bulgarian Orthodox Church and the Communist State (1944-1989) (Sofia: Institute for Studies of the Recent Past/Ciela, 2010).

[6] Ibid.

[7] Christopher Andrew, “KGB Foreign Intelligence from Brezhnev to the Coup,” In Wesley K. Wark (ed.), Espionage: Past, Present, Future? (London: Routledge, 1994), 52.

[8] W. Cleon Skousen, The Naked Communist (Salt Lake City: Izzard Ink Publishing, 1958, 2014), Chapter 12.