Bagaimana Ambruknya ‘Legitimasi Kinerja’ Komunis Tiongkok

Beijing adalah pecundang terbesar di era pemerintahan Presiden Donald Trump dan berharap Donald Trump tidak menjabat untuk kedua kalinya karena Tiongkok berjuang untuk mempertahankan legitimasinya

Oleh James Gorrie

Pertemuan berbagai peristiwa besar dan keputusan yang buruk selama beberapa tahun terakhir, menempatkan kepemimpinan Partai Komunis Tiongkok di persimpangan. Di mana rakyat Tiongkok menyalahkan dan tidak mempercayai Partai Komunis Tiongkok. 

Dalam pikiran banyak orang, mungkin termasuk, anggota Partai Komunis Tiongkok itu sendiri, Komunis Tiongkok berada dalam bahaya kehilangan klaimnya atas legitimasi.

Khususnya, kepemimpinan Tiongkok merasakan kecemasan akan legitimasi kinerja, atau ketiadaan legitimasi kinerja. Dan itu, semua adalah kesalahan Donald Trump.

Ya, sebenarnya tidak juga demikian. Beijing membuat beberapa kesalahan besar dalam beberapa tahun terakhir dan kepahitan ekonomi sejak tahun 2015, jauh sebelum Donald Trump berkuasa.

Mendorong Mundur Donald Trump

Tetap saja, kebijakan Donald Trump membuat segalanya menjadi lebih buruk bagii Komunis Tiongkok. 

Perang dagang yang luas dan agresif menjadi pendorong kemunduran yang efektif bagi peningkatan ekonomi dan militer Tiongkok yang “tidak terhindarkan.” 

Kepemimpinan Partai Komunis Tiongkok secara benar memperhatikan masa depannya dalam berurusan dengan Presiden Amerika Serikat yang satu ini.

Misalnya, pertimbangkan kegagalan kinerja Tiongkok pada tahun 2018, tahun dimulainya perang dagang. 

Menurut Akademi Teknologi Informasi dan Komunikasi Tiongkok, pada tahun 2018, penjualan telepon pintar turun 15,5 persen, dan Asosiasi Produsen Mobil Tiongkok melaporkan bahwa penjualan mobil turun 4,1 persen. Yang lebih buruk lagi, surplus perdagangan Tiongkok turun 16,8 persen.

Yang menambah keparahan ini adalah banyak pembangunan perumahan yang tidak dihuni, pengangguran yang tinggi di antara lulusan universitas serta hengkangnya bisnis dan pengusaha Barat dari Tiongkok. 

Dan kemudian, tentu saja, ratusan miliar pinjaman yang tidak dapat dilunasi dalam sistem keuangan Tiongkok yakni banyak membiayai proyek pembangunan yang tidak digunakan.

Dan kemudian, muncul keresahan dan ketidaksabaran di antara para buruh. Pada tahun 2018, setidaknya ada 1.700 insiden perburuhan, meningkat di mana pada tahun 2017 ada 1.200 insiden perburuhan. 

Akibatnya, kepemimpinan Partai Komunis Tiongkok mencari jawaban — atau alasan — untuk semua kegagalan ini.

Itulah sebabnya tahap pertama kesepakatan dagang adalah “kemenangan” yang disambut baik untuk Beijing.

Tahap Pertama Kesepakatan Dagang : Perbaikan Sementara?

Tetapi bahkan Tahap pertama kesepakatan dagang lebih merupakan pembalut luka daripada solusi. 

Tahap pertama kesepakatan dagang membagi dua tarif 15 persen terhadap barang-barang Tiongkok senilai 120 miliar dolar AS, menghentikan tarif yang dijadwalkan akan diterapkan bulan  Desember lalu dan mengeluarkan Tiongkok dari daftar manipulator mata uang. 

Hal ini memberi bantuan yang sangat dibutuhkan  Komunis Tiongkok— setidaknya untuk sementara. Namun, tarif 25 persen masih berlaku bagi  barang-barang Tiongkok senilai 250 miliar dolar AS.

Untuk Amerika Serikat, ini adalah kesepakatan yang bagus juga. Tiongkok setuju membeli barang-barang Amerika Serikat senilai 200 miliar dolar AS — termasuk lebih dari 40 miliar dolar AS untuk membeli produk pertanian Amerika Serikat. 

Selama dua tahun ke depan, yang akan membawa ekspor Amerika Serikat ke Tiongkok  hingga lebih dari 260 miliar dolar AS pada tahun 2020 dan sekitar 310 miliar dolar AS pada tahun 2021. 

Hal tersebut adalah bermakna, mengingat bahwa sebelum perang dagang pada tahun 2017, Tiongkok berbelanja senilai 185 miliar dolar AS kepada Amerika Serikat.

Atau Perangkap?

Namun, ada hambatan tambahan pada kesepakatan yang layak disebut. 

Pertama, Xi Jinping mengirim Wakil Perdana Menteri Tiongkok untuk menandatangani kesepakatan dagang tersebut. 

Mengapa? Xi Jinping menyukai perhatian menandatangani kesepakatan besar di Asia dan Afrika. Mengapa melewatkan yang kesepakatan dagang terbesar?

Ada beberapa alasan, tetapi yang terutama, Xi Jinping, serta rakyat Tiongkok, tahu bahwa kesepakatan dagang tersebut adalah kemenangan bagi Amerika Serikat dan Tiongkok menyerah. 

Ekonomi Tiongkok adalah hancur saat  rantai pasokan hengkang dari Tiongkok  dan rakyat Tiongkok kehilangan pekerjaannya. 

Komunis Tiongkok membutuhkan pemulihan dari tarif  Donald Trump dan yang kalah harus menanggungnya.

Ada juga kemungkinan bahwa Xi Jinping tahu ia tidak sanggup bertahan hingga akhir kesepakatan dagang. 

Mengapa menandatangani kesepakatan besar dengan Donald Trump bila hanya mempermalukan Tiongkok saat Tiongkok  gagal memenuhi kesepakatan dagang tersebut?

Lebih baik mengirim wakil untuk menandatangani kesepakatan dagang tersebut. Dengan begitu saat Tiongkok melenceng dalam menjalankan kesepakatan dagang tersebut. Kemudian Amerika Serikat menetapkan hukuman yang disepakati yaitu menerapkan lebih banyak  tarif untuk kegagalan kinerja kesepakatan dagang tersebut. Maka, Xi Jinping terhindar dari kecaman yang dilontarkan oleh rakyat Tiongkok dan Komunis Tiongkok. Begitulah harapan Xi Jinping.

Apakah tahap pertama kesepakatan dagang akan bertahan? Dan jika bertahan, apakah tahap pertama kesepakatan dagang akan mengarah ke tahap kedua, tahap ketiga dan fase-fase kesepakatan dagang lainnya?

Banyak pengamat berpikir bahwa tahap pertama kesepakatan dagang kemungkinan tidak akan bertahan lama. 

Penegakan kesepakatan dagang itu sendiri tetap menjadi masalah yang belum terselesaikan, terutama pada perlindungan kekayaan intelektual dan subsidi yang tidak adil untuk perusahaan milik negara Tiongkok. 

Kedua masalah tersebut adalah subjek yang sangat lengket untuk Tiongkok. Kemungkinan akan menjadi penggagal kesepakatan dagang tersebut.

Jatuhnya Produk Domestik Bruto: Masalah Besar Lainnya

Bagi Komunis Tiongkok, kebutuhan untuk mengembalikan kejayaan ekonomi Tiongkok adalah sangat mendesak. 

Menurut Deutsche Bank, Produk Domestik Bruto Tiongkok untuk tahun 2020 diperkirakan turun di bawah level 6 persen, menjadi sekitar 5,8 persen. Itu adalah level terburuk dalam tiga puluh tahun dan merupakan ladang ranjau politik untuk Komunis Tiongkok. 

Peningkatan Produk Domestik Bruto Tiongkok adalah cara Komunis Tiongkok membangun legitimasi politiknya setelah pembantaian mahasiswa pro Demokrasi Lapangan Tiananmen tahun 1989.

Tidak mengherankan bahwa Wakil Perdana Menteri Tiongkok Liu He menanggapi angka yang rendah itu. 

Pertama, Tiongkok memecat ahli statistik yang melaporkan penurunan pertumbuhan tersebut. Kemudian Liu He mengatakan bahwa pertumbuhan Produk Domestik Bruto Tiongkok tahun 2020 akan melampaui level kunci 6 persen itu. Liu He juga berjanji bahwa “Tiongkok akan terus meningkatkan lingkungan hukum” dan “menyambut investor dari seluruh dunia.”

Fakta bahwa kini Tiongkok mengizinkan perusahaan jasa keuangan asing berkepemilikan penuh atas kantor-kantor, menunjukkan betapa putus asa Beijing dalam menghentikan kehancuran sistem keuangan Tiongkok. 

Hal ini juga merupakan pengakuan  Komunis Tiongkok atas kurang mahir dalam hal keuangan dan membutuhkan bimbingan asing.

Hong Kong Menyingkap Rahasia

Tetapi bukan hanya legitimasi kinerja ekonomi yang mengganggu Komunis Tiongkok. Krisis Hong Kong, kini di bulan kesembilan, menunjukkan kurangnya kepercayaan diri  Komunis Tiongkok dan legitimasi Partai Komunis Tiongkok.

Lebih jauh, hubungan Donald Trump terhadap Hong Kong hingga kesepakatan dagang merupakan pukulan besar bagi kredibilitas Komunis Tiongkok. 

Hal tersebut menghancurkan prestise atau mistik apapun yang mungkin dimiliki Komunis Tiongkok, sehubungan dengan kekebalan Komunis Tiongkok dari kritik dan tekanan Barat.

Hong Kong juga menyingkap rahasia legitimasi yang mengelilingi kepemimpinan Komunis Tiongkok. 

Hong Kong  mengungkapkan kepemimpinan yang tidak memiliki petunjuk cara melestarikan kejeniusan dan nilai yang telah disediakan Hong Kong bagi ekonomi daratan Tiongkok. 

Hong Kong juga menyebabkan  lebih banyak rakyat daratan Tiongkok  mempelajari kebenaran Hong Kong, dan mungkin lebih kritis, kebenaran rezim Komunis Tiongkok yang memimpin mereka.

Pemilu Taiwan: Penolakan Terhadap Komunis Tiongkok

Bersamaan dengan bencana unjuk rasa  Hong Kong yang dialami Komunis Tiongkok adalah terpilihnya kembali Presiden Tsai Ing-wen yang anti-unifikasi. 

Selain penolakan tegas terhadap Beijing, ada dua fakta penting lainnya mengenai pemilihan umum Taiwan pada tanggal 11 Januari.

Pertama adalah tingkat partisipasi pemilih yang luar biasa tinggi, di mana ada tujuh puluh lima persen pemilih dalam pemilu Taiwan tahun ini. 

Pada pemilu Taiwan tahun 2016, jumlah pemilih sekitar sembilan persen lebih rendah. 

Berlawanan dengan gangguan Beijing, rakyat Taiwan jelas menunjukkan penolakannya  terhadap gagasan penyatuan dengan Tiongkok Daratan.

Kedua, tingkat partisipasi tinggi adalah hasil dari banyaknya pemilih muda. Hal ini juga merupakan masalah bagi Beijing. Kemungkinan unjuk rasa Hong Kong telah membuka wawasan anak muda Taiwan.

Seruan untuk Kerja Sama dan Persatuan Multipartai — Sungguh?

Adalah suatu kesepian di tingkat atas — terutama bila kinerja tidak sesuai dengan harapan. Inilah yang dirasakan oleh kepemimpinan  Komunis Tiongkok kini. Ambisi Beijing terbukti sulit untuk dicapai dan janjinya tidak dapat dipenuhi.

Mengingat ekonomi kawah Tiongkok, apakah mengherankan bila kini  Komunis Tiongkok menyerukan kerjasama dan persatuan multi-partai, serta mengakhiri kemiskinan yang ekstrem? 

Bukankah Komunis Tiongkok itu tidak maha bijak dan maha mengetahui? Terutama karena Komunis Tiongkok mengutuk sistem multi-partai pada tahun 2014.

Tampaknya lebih seperti siasat Komunis Tiongkok untuk menyebarkan kesalahan atas kegagalan kepemimpinannya yang semakin meluas dan semakin dalam untuk menghindari krisis legitimasi kinerja — atau yang lebih buruk. (Vv/asr)