EKSKLUSIF: Rezim Komunis Tiongkok Kerahkan 1.600 Buzzer Troll Internet dan Inflluencer untuk Kendalikan Informasi Terkait Virus Corona

Cathy He dan Eva Fu – The Epochtimes

Departemen propaganda partai Komunis Tiongkok di Provinsi Hubei yang mana kini dilanda virus corona, mengerahkan lebih dari 1.600 Buzzer Troll Internet untuk menyingkirkan internet dari informasi yang dianggap “sensitif” bagi rezim komunis Tiongkok. Hal demikian terkait dengan meluasnya wabah virus corona COVID-19. Laporan itu berdasarkan sebuah dokumen internal yang diperoleh oleh The Epoch Times.

Laporan internal tertanggal 15 Februari, merinci upaya agensi untuk meningkatkan upaya sensor. Sensor itu dirancang setelah pidato yang diberikan oleh pemimpin Komunis Tiongkok Xi Jinping melalui tautan video pada 10 Februari 2020  kepada “responden garis depan” dari wabah virus corona di Wuhan, ibukota Hubei, di mana pertamakalinya virus merebak di kota itu.

Informasi yang bocor itu muncul ketika rezim komunis Tiongkok memperketat kontrol informasi atas wabah yang semakin memburuk. Pasalnya, netizen daratan Tiongkok semakin beralih ke internet untuk melampiaskan rasa frustrasi mereka, tentang respon pihak berwenang, atau mendokumentasikan apa yang langsung terjadi di lapangan.

Wabah ini menyebabkan warga yang terinfeksi dan angka kematian terus meningkat setiap hari. Namun demikian, para ahli dan komentator percaya bahwa jumlah aktual warga yang tertular jauh lebih besar. Karena minimnya laporan dan kekurangan dalam alat tes penegakkan diagnosa dan tempat tidur rumah sakit. Ini berarti banyak warga di daratan Tiongkok  yang tidak ditegakkan diagnosanya.

1.600 Buzzer Troll Internet Dikerahkan

Menurut dokumen yang bocor itu, departemen Propaganda setempat sudah mempekerjakan lebih dari 1.600 buzzer troll internet, yang dikenal sebagai tentara 50 sen di Tiongkok, untuk mengendalikan percakapan di internet secara terus menerus. 

Pasukan Troll tersebut, melalui penyaringan teknologi dan manual, telah mengidentifikasi sebanyak 606.800 postingan online dengan “informasi sensitif atau berbahaya,” tentunya versi Komunis Tiongkok.  

Pendekatan mereka, dalam dokumen itu menyebutkan, adalah untuk “tepat waktu menghilangkan rumor online” dan “menyerang dengan pukulan secara dahsyat secara offline.”

Pada tanggal 14 Februari, sensor online telah menghapus sebanyak 54.000 apa yang disebut sebagai “desas-desus”, dan meminta influencer media sosial menulis hampir 400 artikel komentar untuk membentuk narasi yang diinginkan komunis Tiongkok.

Dokumen internal Partai Komunis Tiongkok yang bocor ke publik

Upaya propaganda rezim, menurut bunyi laporan itu, harus diarahkan untuk mempromosikan efek dari langkah-langkah pengendalian wabah para pejabat dan “tindakan pergerakan” dari sukarelawan, pekerja masyarakat, dan polisi.

Beberapa “komentator internet” profesional juga telah membuat 400.000 komentar untuk “melawan opini publik yang negatif,” demikian menurut dokumen yang bocor itu.

Postinga-postingan yang berkabung atas kematian dokter, Li Wenliang, yang meninggal dunia karena virus yang sudah dia peringatkan pada bulan Desember lalu, dengan cepat menghilang dari internet beberapa jam setelah berita kematiannya diumumkan. 

“Saya ingin kebebasan berbicara,” frasa yang menjadi tren di media sosial daratan Tiongkok setelah kematiannya, juga dengan cepat diberangus di internet.

Jurnalis warga Wuhan yang bernama Fang Bin dan Chen Qiushi juga baru-baru ini, menghilang setelah memposting video reguler secara online. Video mereka  menyoroti parahnya wabah di kota Wuhan.

Pada tanggal 11 Februari, lebih dari 2.500 orang telah menandatangani petisi online bersama yang mengungkapkan kemarahan atas kematian Li Wenliang. Mereka mengkritik pemerintah karena menekan kebebasan berbicara selama merebaknya wabah. Beberapa penandatangan kemudian dipanggil oleh polisi setempat. Setidaknya satu orang ditahan oleh aparat setempat.

Departemen propaganda ini juga membentuk 11 kelompok kerja untuk tujuan kerja “propaganda masa perang”. 

Kelompok-kelompok itu berkomunikasi setiap hari dengan pejabat propaganda dari pemerintah pusat untuk “mengkoordinasikan opini publik” secara realtime mengenai masalah “online dan offline,” “di dalam negeri dan luar negeri.”

Menyingkirkan Wartawan Lokal

Menurut laporan yang bocor itu, setidaknya 60 wartawan dari 33 kantor berita luar negeri datang ke Wuhan setelah wabah virus corona dimulai pada awal tahun ini. 

Namun demikian, setidaknya 47 wartawan dari mereka setuju untuk pergi, melalui “komunikasi dan persuasi” departemen.

Pada malam 14 Februari, hanya lima outlet media non-daratan Tiongkok memiliki wartawan di Hubei.

Untuk “memimpin media luar negeri agar secara obyektif melaporkan informasi wabah,” departemen telah membentuk bagian bahasa internasional. Departeman ini juga  menerbitkan 200 potongan-potongan wabah dari saluran resmi dalam tujuh bahasa, sebagaimana yang tercantum dalam dokumen itu.

Pada tanggal 14 Januari, sekelompok wartawan dari setidaknya empat media Hong Kong dibawa ke kantor polisi yang terletak di dalam sebuah rumah sakit di Wuhan. Itu setelah mereka mencoba mewawancarai pasien, menurut laporan media setempat.

Polisi mencari barang-barang mereka dan meminta mereka menghapus video yang diambil di sekitar rumah sakit. Mereka baru dibebaskan setelah 1 1/2 jam diinterogasi.

Rezim Komunis Tiongkok sudah menjadikan penindasan informasi tentang virus sebagai prioritas utama.

Pada pertemuan 3 Februari 2020, Komite Tetap Politbiro Partai Komunis Tiongkok, badan pembuat keputusan utama, menyerukan kepada pihak berwenang untuk “memperkuat internet dan kontrol terhadap media.”

Ini telah diperintahkan ke pihak berwenang setempat menindak orang yang dituding “menyebarkan desas-desus” di internet tentang wabah virus corona.

Media pemerintahan komunis Tiongkok telah memperingatkan orang-orang untuk tidak “menyebarkan informasi palsu” tentang virus korona, jangan sampai mereka melanggar Hukum Pidana Tiongkok.

Sebuah ketentuan dalam undang-undang itu menyatakan, bahwa siapa pun yang ditemukan membuat dan menyebarkan informasi palsu tentang epidemi, bencana, atau kegiatan polisi, dapat dihukum tiga hingga tujuh tahun penjara. 

Tentunya informasi palsu di sini sesuai dengan kategori yang didefinisikan oleh rezim komunis Tiongkok. 

Pembela Hak Asasi Manusia, Chinese Human Rights yang berpusat di Washington mendokumentasikan sebanyak 254 kasus penangkapan antara tanggal 22 Januari dan 28 Januari, di mana warga Tiongkok dihukum karena dituduh “menyebarkan desas-desus” terkait virus. Bentuk hukuman itu termasuk denda, peringatan lisan, dan pengakuan secara paksa.

Dalam daftar 167 kasus orang yang dihukum karena desas-desus yang diterbitkan oleh situs web China Digital Times yang berbasis di AS, sebagian besar “pelanggaran” tersebut adalah postingan tentang kasus yang dikonfirmasi atau suspek kasus di kota atau lingkungan mereka. Beberapa diantaranya termasuk jumlah angka kematian.

Misalnya, seorang pria di Kota Baoding, Provinsi Hebei, menulis di blognya: “Saya benar-benar percaya pihak berwenang belum mengungkapkan jumlah sebenarnya dari pasien yang terinfeksi. Saya mendengar bahwa di sebuah desa sekitar 12,4 kilometer dari desa kami, jumlah kasus yang dikonfirmasi ada enam pada tanggal 26 Januari. Semuanya dikirim ke rumah sakit untuk dikarantina. Tetapi saya belum melihat laporan resmi yang memasukkan enam kasus ini.”

Pria ini harus menghadapi lima hari penahanan administratif untuk posting tersebut. Penahanan administratif mengacu pada penangkapan dan penahanan seseorang tanpa pengadilan. (asr)

Video Rekomendasi :