Trump Evaluasi Ulang Hubungan dengan Komunis Tiongkok Bersamaan Pakar Top AS Bongkar Data Rezim Tiongkok

Theepochtimes, oleh Allen Zhong

Presiden Donald Trump menyatakan pada hari Sabtu 18 April bahwa ia mengevaluasi kembali hubungan Amerika Serikat dengan Tiongkok. Itu setelah wabah virus Komunis Tiongkok, yang umumnya dikenal sebagai jenis Coronavirus baru.

“Hubungan Amerika Serikat dengan Tiongkok adalah baik sampai Tiongkok melakukan ini. Lihat, kita baru saja membuat kesepakatan dagang di mana Tiongkok harus membeli produk Amerika Serikat senilai usd 250 miliar per tahun, … usd 40 hingga usd 50 miliar dari petani. Lalu tiba-tiba anda mendengar hal ini,” kata Donald Trump kepada pers saat briefing Gugus Tugas Coronavirus Gedung Putih.

“Pertanyaan yang diajukan: Apakah anda marah pada Tiongkok? Jawabannya mungkin sangat mantap ‘Ya.’ Tetapi hal itu tergantung. Apakah kesalahan tersebut di luar kendali? Atau dilakukan secara sengaja? Dalam kedua peristiwa itu, Tiongkok seharusnya membiarkan Amerika Serikat masuk.” 

“Amerika Serikat meminta masuk sangat awal dan Tiongkok tidak  membiarkan Amerika Serikat masuk,” kata Donald Trump.

Tidak jelas apakah Donald Trump merujuk ke asal virus Komunis Tiongkok atau kurangnya transparansi rezim Komunis Tiongkok mengenai kasus infeksi dan kematian.

Ada teori yang beredar bahwa virus tersebut mungkin terhubung ke laboratorium biologis di Wuhan — pusat wabah di Tiongkok.

Amerika Serikat bukan satu-satunya negara yang menyatakan akan meninjau kembali hubungan dengan rezim komunis Tiongkok.

Pada hari Kamis 16 April, Menteri Luar Negeri Inggris dan Penjabat Perdana Menteri Inggris Dominic Raab mengatakan bahwa hubungan Inggris dengan Beijing tidak akan lagi “berbisnis seperti biasa” setelah pandemi COVID-19 berakhir.

“Benar-benar harus ada penyelaman yang amat sangat dalam setelah pandemi COVID-19 dan tinjauan pelajaran, termasuk wabah virus. Saya sama sekali tidak berpikir kita dapat mundur dari semua itu,” kata Dominic Raab saat konferensi pers di London. 

Ketika ditanya apakah akan ada “perhitungan” dengan Beijing setelah krisis berakhir, Dominic Raab, yang sementara menggantikan Perdana Menteri Boris Johnson saat Boris Johnson dalam masa pemulihan, menjawab: “Sudah pasti kita tidak dapat berbisnis seperti biasanya setelah krisis ini, dan kita mempertanyakan pertanyaan sulit mengenai bagaimana virus itu muncul dan bagaimana virus itu dapat dihentikan sebelumnya.”

Dokter Top Gedung Putih Membongkar Data Wabah Komunis Tiongkok

Virus Komunis Tiongkok, yang menyebabkan penyakit COVID-19, dikaitkan dengan sedikitnya 200.000 lebih kematian secara global. Virus itu telah menginfeksi lebih dari 2,3 juta orang, menurut data resmi pemerintah yang dikumpulkan oleh Universitas Johns Hopkins.

Angka-angka tersebut dianggap tidak akurat oleh banyak orang, karena kelambatan pengumpulan data oleh pemerintah serta kasus infeksi dan kasus kematian yang tidak dilaporkan oleh rezim Komunis yang berkuasa di daratan Tiongkok. 

Ada lebih dari 886.709 kasus infeksi yang dipastikan dan 50.243 kasus kematian di Amerika Serikat, berdasarkan data menunjukkan.

Selama briefing pers Gugus Tugas beberapa waktu lalu, seorang dokter top Amerika Serikat membongkar data rezim Tiongkok mengenai wabah virus Komunis Tiongkok.

Deborah Birx, koordinator tanggap pandemi Gedung Putih yang

spesialisasi dalam bidang imunologi, kesehatan global, dan penelitian vaksin, menunjukkan sebuah slide yang memuat angka kematian beberapa negara.

Menurut data, pada saat itu, Belgia dan Spanyol melaporkan angka kematian tertinggi, di mana di Belgia 45,2 orang meninggal per 100.000 penduduk dan di Spanyol 42,81 orang meninggal per 100.000 penduduk. Angka kematian untuk Italia adalah 37,64, angka kematian untuk Prancis adalah 27,92, angka kematian untuk Inggris adalah 21,97, dan angka kematian untuk Belanda adalah 20,14.

Angka kematian untuk Amerika Serikat adalah 11,24 dan angka kematian untuk Jerman  adalah 5,25 — berada di bagian bawah laporan tersebut.

Namun, angka kematian yang dilaporkan Tiongkok melaporkan tingkat kematian adalah sangat rendah, yaitu 0,33.

“Saya menaruh data Tiongkok di sana supaya anda pada dasarnya dapat melihat betapa tidak realistisnya hal ini,” kata Deborah Birx.

Data dari Tiongkok termasuk angka yang baru direvisi dari Wuhan oleh rezim Komunis Tiongkok.

Pada hari Jumat 17 April, pihak berwenang Wuhan meningkatkan laporan kematian di Wuhan sebanyak 1.290 menjadi 3.869 kasus. Pihak berwenang Wuhan menjelaskan bahwa korban virus yang baru ditambahkan termasuk beberapa korban virus yang meninggal di rumah, seperti dilaporkan The Epoch Times. 

Namun demikian, bahkan dengan data Tiongkok yang telah direvisi, Deborah Birx mengatakan ia ragu bahwa Tiongkok memiliki angka kematian yang lebih rendah dari Inggris, Prancis, Belgia, Italia, dan Spanyol. Mengingat negara-negara tersebut juga memiliki sistem pemberian layanan kesehatan yang sangat maju, serta dokter, perawat, dan peralatan yang luar biasa.

Donald Trump menambahkan bahwa ia yakin jumlah korban jiwa di Tiongkok harusnya jauh lebih tinggi dan yang tertinggi di dunia. Trump berkata : “Tiongkok adalah nomor satu dalam jumlah banyak. Angka kematian Tiongkok adalah jauh lebih tinggi daripada Amerika Serikat.”

Keterangan gambar: Presiden Donald Trump berbicara selama konferensi pers Satuan Tugas Virus PKC di Gedung Putih di Washington pada 18 April 2020. (JIM WATSON / AFP melalui Getty Images)

(Vivi/asr)

Video Rekomendasi