Hari Kebebasan Pers Sedunia 2020, Ini Catatan LBH Pers dan AJI Jakarta

ETIndonesia – Tanggal 3 Mei ditetapkan sebagai Hari Kebebasan Pers sedunia oleh Perserikatan Bangsa–Bangsa (PBB). Peringatan tahunan tersebut merupakan momentum yang tepat untuk merefleksikan serta meninjau kembali mengenai kondisi negara dalam melaksanakan tugasnya, untuk menjamin hak setiap orang atas kebebasan pers. Salah satu hal yang menjadi tolak ukur adalah bagaimana situasi kebijakan yang diberlakukan terkait kebebasan berekspresi, perlindungan pers, dan hak atas informasi di Indonesia.

Sebagai sebuah negara yang mengakui eksistensi hak asasi manusia, situasi kebijakan mengenai kebebasan pers di Indonesia justru lagi–lagi meninggalkan catatan merah. Berbagai instrumen HAM internasional yang telah diratifikasi hingga hadirnya berbagai Undang–Undang, nyatanya masih beriringan dengan berbagai kebijakan yang justru menegasikan semangat kebebasan pers.

Melansir dari siaran pers Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Kedua lembaga itu mencatatkan setidaknya ada 4 catatan merah kebijakan di Indonesia, terkait perlindungan kebebasan pers, kebebasan bereskpresi, dan pemenuhan hak atas informasi.

Pertama, ancaman pasal karet dalam peraturan perundang–undangan seperti UU Informasi dan Transasksi Elektronik (UU ITE) yang berkali–kali menyasar kepada jurnalis dan pekerja pers.

Moh Sadli Saleh (33) adalah salah satu jurnalis yang menjadi korban kriminalisasi. Sadli dilaporkan Bupati Buton Tengah, Samahudin, ke Polres Baubau dengan sangkaan pelanggaran UU ITE.

Ia dijebloskan ke penjara karena mengkritik pemerintah setempat terkait proyek infrastuktur. Kritikan itu diutarakan melalui sebuat tulisan berjudul ABRACADABRA : SIMPANG LIMA LABUNGKARI DISULAP MENJADI SIMPANG EMPAT. Tulisan Tajuk Rencana di media daring Liputanpersadacom itu tayang pada 10 Juli 2019. Setelah melalui proses persidangan, Moh Saldi dinyatakan bersalah dan divonis 2 tahun penjara.

Tidak hanya menyasar kepada jurnalis, pasal karet UU ITE juga memakan korban masyarakat yang sedang menyampaikan kritiknya. Pada tahun 2019 Dosen Jurusan Statistika Universitas Syah Kuala Aceh (Unsyiah), Saiful Mahdi dilaporkan ke pihak Kepolisian setelah menyampaikan kritiknya secara langsung kepada jajaran akademisi melalui grup Whatsapp mengenai tes penerimaan CPNS Dosen yang dirasanya terdapat kejanggalan. Saiful dianggap telah melakukan pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam pasal 27 ayat (3) UU ITE. Setelah melalui proses peradilan, Saiful divonis 3 bulan penjara dan denda 10 juta subsidair 1 bulan penjara.

Kasus yang menimpa Moh Sadli dan Saiful menjadi bukti nyata kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di Indonesia, berada di ujung tanduk. Ketentuan pasal karet dalam UU ITE kerap kali menjadi dalih untuk membungkam suara kritis. Hal ini tentunya menjadi sebuah kontradiksi atas semangat kebebasan pers, karena kebebasan mengeluarkan pendapat adalah hak yang dilindungi dan menjadi amanat konstitusi.

Kedua, kewenangan pemerintah untuk melakukan pemutusan akses informasi merupakan sebuah kebijakan yang berpotensi besar melanggar hak atas informasi. Pada bulan Agustus 2019 Kementerian Komunikasi dan Informatika RI (Kemenkominfo) memutuskan untuk memblokir sementara data telekomunikasi dengan alasan keamanan dan ketertiban di Papua dan sekitarnya. Kemenkominfo berdalih pemutusan akses yang dilakukannya sesuai dengan ketentuan hukum, khususnya pasal 40 ayat (2a) dan (2b) UU ITE.

Ketentuan dalam pasal 40 UU ITE tersebut memberikan kewenangan kepada pihak pemerintah untuk menginterpretasikan secara sepihak mengenai informasi dengan muatan melanggar hukum, sebagai alasan untuk memblokir jaringan komunikasi. Hal tersebut tentu menjadi kekhawatiran besar terjadinya sebuah pelanggaran hak atas informasi sebagaimana dijamin dalam pasal 28F UUD 1945.

Ketiga, ancaman atas kebebasan pers juga tergambar dalam beberapa Rancangan Undang– Undang (RUU) yang sedang dalam proses pembahasan. Dalam ketentuan Rancangan Kitab Undang–Undang Hukum Pidana (RKUHP), terdapat berbagai delik – delik yang dianggap berpotensi menggerus hak atas kebebasan pers, khususnya pada kebebasan berekspresi dan berpendapat. RKUHP kembali memasukan delik–delik seperti ketentuan penodaan agama, makar, dan pencemaran nama baik. Ketentuan pemidanaan pada perbuatan–perbuatan tersebut sudah memakan banyak korban dikarenakan unsur terpenuhinya delik tersebut tidak memiliki standar yang jelas dan cenderung sangat subjektif. Hal tersebut tentunya berpotensi disalahgunakan dan mengancam kebebasan sipil dalam berpendapat.

Selain itu RKUHP mengatur kembali ketentuan penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden yang sebelumnya sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan bernomor: 013-022/PUU-IV/2006. Hal tersebut merupakan sebuah kemunduran demokrasi khususnya mengenai perlindungan kebebasan Pers di Indonesia.

Keempat, kondisi pandemi yang sedang dihadapi dunia saat ini membuat pemerintah didesak untuk segera mengambil tindakan yang tepat untuk melindungi warga negaranya. Alih–alih fokus mengatasi penyebaran Covid-19, pemerintah justru memaksakan pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja untuk tetap dilanjutkan.

Dalam prosesnya pembahasan RUU Cipta Kerja sangat minim adanya pastisipasi dan terbatasnya informasi kepada publik. Pihak-pihak yang segera terdampak bila RUU ini disahkan seperti nelayan, pers, petani, dan masyarakat adat tidak dilibatkan dalam proses pembentukannya. Hal ini tentu bertentangan dengan dengan semangat partisipasi publik dan hak atas informasi.

Selain proses pembentukan yang bermasalah, RUU Cipta Kerja juga meninggalkan catatan dari segi substansinya. Pada klaster pers, RUU Cipta Kerja menambah besaran hukuman pidana denda kepada perusahaan pers yang dianggap melanggar ketentuan pasal 5 dan 13 UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Kenaikan besaran sanksi pidana denda tersebut dikhawatirkan menjadi potensi modus baru pembungkaman dan intimidasi kepada pihak media serta pekerja pers dalam melaksanakan kegiatan pers. Dari sisi ketenagakerjaan, RUU ini memungkinkan skema pengupahan yang meniadakan upah minimum kabupaten/kota (UMK), hilangnya ketentuan cuti haid hingga ancaman bekerja dengan kontrak seumur hidup.

Selain itu ketentuan dalam RUU Cipta Kerja juga mengatur sanksi administratif yang selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). Ketentuan sanksi administrasi yang nantinya akan diatur lebih lanjut ke dalam PP sebagaimana diatur dalam pasal 18 ayat (4) tersebut dikhawatirkan akan menjadi ‘jalan pintas’ masuknya intervensi dari pihak pemerintah.

Oleh karena itu, LBH Pers dan AJI Jakarta menyerukan :

  1. Mendesak pemerintah untuk meninjau ulang dan menghapus ketentuan pasal–pasal karet yang berpotensi menggerus kebebasan pers dan membungkam kebebasan menyampaikan kritik.
  2. Mendesak pemerintah untuk meninjau ulang terkait kewenangan sepihak dalam melakukan pembatasan dan pemblokiran akses informasi elektronik.
  3. Mendesak pemerintah untuk membatalkan ketentuan pasal–pasal dalam RKUHP dan RUU Cipta Kerja yang berpotensi melanggar hak asasi manusia, khususnya hak atas kebebasan pers, kebebasan berekspresi, mengemukakan pendapat, dan hak atas informasi.
  4. Mendesak Pemerintah untuk terus aktif menghormati, melindungi, dan memenuhi hak setiap warga negaranya terkait kebebasan pers, kebebasan berekspresi, mengemukakan pendapat, dan hak atas informasi.

(asr)

FOTO : Wartawan dan aktivis memprakarsai sebuah demonstrasi yang menyerukan untuk mempertahankan kebebasan pers pada 19 Januari 2018, di pinggiran kota Quezon City di Metro Manila, Filipina. (Jes Aznar / Getty Images)