Kekhawatiran Terhadap Wabah Gelombang Kedua Semakin Meningkat Di Tengah Ketidakkonsekuenan Data Komunis Tiongkok

oleh Emel Akan

Rezim Komunis Tiongkok telah menyatakan status “masa perang” setidaknya untuk dua kota — termasuk ibukota Beijing, tempat pemerintah baru-baru ini melaporkan belasan pasien demam, yang bersikeras didiagnosis menderita infeksi bakteri dan bukannya virus Komunis Tiongkok, yang umumnya dikenal sebagai jenis Coronavirus baru.

Pihak berwenang di timur laut Tiongkok mengkarantina sekitar 8.000 orang setelah mereka terpapar dengan pasien yang dipastikan. Enam pejabat setempat dipecat karena gagal mengendalikan wabah.

Sementara itu, di Wuhan, tempat virus pertama kali menyebar, pihak berwenang mengamanatkan uji diagnostik untuk 11 juta penduduk, setelah beberapa kasus dilaporkan. Wuhan sudah tidak menerapkan lockdown beberapa minggu sebelumnya setelah mengklaim bahwa virus telah berhasil dikendalikan.

Saat rezim Komunis Tiongkok terus menangkis kritik internasional terhadapnya dalam menangani krisis, sambil memuji sistem sosialisnya sebagai teladan untuk mengendalikan wabah, pemandangan kacau di lokasi pengujian dan kerahasian yang konsisten telah menimbulkan keraguan akan data virus Tiongkok.

“Tahukah anda bahwa rezim Tiongkok tidak melaporkan apa-apa? Pelaporan [angka yang sebenarnya] akan menimbulkan kepanikan masyarakat. Kini kami semua tahu betapa parahnya wabah  ini, karena wabah itu terjadi di dekat dengan kami,” kata nyonya Yang, pemilik usaha kecil di kota Jilin di timur laut Tiongkok, kepada The Epoch Times. 

Perbedaan

Sejak virus tersebut pertama kali menyebar, angka yang saling bertentangan yang dilaporkan oleh pihak berwenang Tiongkok telah membingungkan para peneliti internasional dan warganegara Tiongkok.

Sementara itu, data internal pemerintah yang diperoleh The Epoch Times mengungkapkan bahwa pemerintah setempat secara rutin melaporkan kasus infeksi yang lebih rendah dari keadaan yang sebenarnya.

Kebingungan kembali muncul pada tanggal 18 Mei 2020, saat pejabat kesehatan Provinsi Jilin, timur laut Tiongkok, melaporkan lima kasus baru sementara Komisi Kesehatan Nasional Tiongkok hanya melaporkan dua kasus baru dari wilayah tersebut.

Pihak berwenang Provinsi Jilin kemudian menurunkan angka kasus dalam sebuah pembaruan, mengatakan bahwa tiga kasus lainnya muncul setelah tanggal 18 Mei tengah malam dan oleh karena itu dihitung sebagai data hari berikutnya.

Pada hari yang sama, Shanghai tidak mencatat adanya kasus baru, bertentangan dengan laporan Komisi Kesehatan Nasional Tiongkok yang melaporkan adanya satu infeksi baru di Shanghai. Pemerintah belum memberikan penjelasan untuk angka yang saling bertentangan tersebut.

Di Wuhan, pemerintah dengan cepat memecat seorang pejabat Partai Komunis Tiongkok setempat setelah muncul sekelompok yang terdiri dari enam kasus infeksi, di mana selama lebih dari sebulan pihak berwenang secara konsisten melaporkan tidak ada kasus infeksi baru.

Kurangnya transparansi pihak berwenang mengenai wabah menyulitkan memahami skala sebenarnya dari epidemi di Tiongkok.

“Sepertinya virus tersebut tunduk pada perintah pihak berwenang. Ada semacam kesenjangan besar antara data dengan jumlah infeksi…di seluruh dunia selama tiga bulan terakhir…jadi bagaimana anda mempercayai data tersebut?” kata Ge Bidong, komentator politik yang berbasis di California, kepada NTD, afiliasi The Epoch Times. 

Zhong Nanshan, seorang ahli pernapasan Tiongkok yang menjadi terkenal selama wabah ini, memperingatkan tantangan suram ke depan.

“Sebagian besar…saat ini orang Tiongkok masih rentan terhadap infeksi COVID-19 karena kurangnya kekebalan tubuh. Kami menghadapi tantangan besar; saya pikir saat ini tantangan tersebut adalah tidak lebih baik dari negara asing,” kata Zhong Nanshan dalam wawancara dengan CNN pada tanggal 16 Mei. 

Utara Tiongkok

Wilayah timur laut Tiongkok pertama kali melaporkan rantai infeksi yang berawal dari seorang wanita petugas kebersihan yang berusia 45 tahun di Shulan, sebuah kota kecil di bawah administrasi kota Jilin, Provinsi Jilin. 

Melalui pergerakan wanita tersebut di sekitar Shulan dan berinteraksi dengan kontak dekat, wanita petugas kebersihan tersebut, yang bekerja di biro kepolisian setempat, dengan cepat menyebarkan virus itu kepada orang-orang yang tinggal di kota-kota lain.

Sejak itu Shulan menyatakan “status masa perang” dan menyegel lingkungan setempat, yang memungkinkan hanya satu orang dari setiap rumah tangga untuk keluar dua hari sekali untuk membeli barang kebutuhan yang penting. Setiap perjalanan dibatasi selama dua jam. Lebih dari 1.100 bangunan tempat tinggal, 1.200 desa, dan sembilan komunitas lingkungan kini dikarantina total karena kemungkinan infeksi.

Seorang warga dari kompleks yang kini dikarantina di distrik Changyi, kota Jilin, mengatakan hampir 100 polisi datang untuk menyegel setiap pintu apartemen untuk menghalangi orang meninggalkan rumahnya.

Langkah-langkah karantina membebani penduduk setempat karena mereka berjuang untuk bertahan hidup.

“Anda tidak dapat pergi ke mana pun. Tidak tampak seorang pun berada di jalan. Tidak tampak seorang pun di sekitar gedung apartemen saya,” kata seorang pekerja sosial yang minta untuk tidak disebutkan namanya dalam sebuah wawancara. 

Li, seorang pria pemilik supermarket di distrik Fengman kota Jilin, salah satu dari dua daerah yang ditetapkan sebagai “berisiko tinggi” oleh pihak berwenang, bersama dengan kota Shulan, menempatkan penghalang di sekitar pintu masuk supermarket untuk meminimalkan kontak dengan pelanggan.

Ia mengatakan : “Katakan saja apa yang anda inginkan, saya akan membawanya [ke luar].” Staf supermarket lain di Shulan mengatakan ia akan menuliskan orang-orang menulis pesanan dan meminta mereka berada di luar supermarket untuk memperoleh barang yang dibelinya.

“Pemerintah memberitahu anda ada satu atau dua [kasus]…yang tidak serius, tetapi cara pemerintah menangani kasus tersebut cukup intens,” kata Lü, seorang pria yang bekerja di Rumah Sakit Pertama Fakultas Kedokteran Universitas Shenyang di dekat Provinsi Liaoning, kepada The Epoch Times.

Ketakutan juga memicu stigma di sekitar orang-orang dari Shulan. “Tidak ada taksi yang mau membawa anda begitu mereka tahu anda berasal dari Shulan. Mereka tidak ingin kontak dengan orang-orang Shulan,” kata nyonya Zhang, dari Shulan, dalam sebuah wawancara. 

Qiu Haibo, ahli Komisi Kesehatan Nasional Tiongkok, mengatakan para pasien di kluster timur laut Tiongkok tampaknya membawa virus untuk jangka waktu yang lebih lama daripada kasus Wuhan sebelumnya, sementara pemulihan para pasien tersebut juga memakan waktu lebih lama, menurut sebuah wawancara dengan CCTV penyiaran milik negara pada tanggal 19 Mei.

Pengujian Massal Dipertanyakan

Warga yang menjalani pengujian massal di Wuhan juga mengeluhkan prosedur yang ceroboh dapat mengakibatkan pengujian tersebut menjadi tidak berguna dan mengundang risiko keselamatan.

Di kompleks perumahan Shengshi Dongfang, orang-orang mengatakan usap tenggorokan mereka dengan santai dilempar ke dalam kotak atau botol yang sama tanpa diberi label — kadang puluhan usap tenggorokan sekaligus, menurut video terbaru yang direkam oleh penduduk setempat. Para petugas medis juga tampak tidak diperlengkapi dengan baik; meskipun sekitar 6.000 warga tinggal di kompleks tersebut, petugas medis hanya membawa sekitar 600 kit pengujian, menurut warga.

“Menurut anda apa yang mereka lakukan di sini? Anda bahkan tidak dapat  membedakan usap yang mana milik siapa, jadi apa gunanya melakukan ini?” teriak seorang wanita dalam video itu.

Lebih banyak warga juga menuduh pihak berwenang mengambil untung dari proses tersebut. Biaya uji sekitar 260 yuan untuk setiap orang, menurut Li, yang tinggal di kompleks lain di Wuhan. Kompleks perumahannya mengatur pengujian untuk penghuni gedung demi gedung.

Warga setempat, Wang, mengatakan seluruh keluarganya menolak untuk menjalani uji tersebut.

“Mereka memperlakukan kami sebagai kelinci percobaan,” kata Wang dalam sebuah wawancara. Setiap kali petugas setempat mendesaknya untuk menjalani uji tersebut, Wang bertanya pada petugas setempat mengenai ketepatan uji tersebut. “Jika tidak akurat, saya tidak akan melakukannya,” kata Wang. (Vivi/asr)

FOTO : Polisi menutup stasiun kereta api kota Jilin di Jilin, Tiongkok pada 13 Mei 2020. (STR / AFP via Getty Images)

Video Rekomendasi :

https://www.youtube.com/watch?v=sWRMTcxkZ9Y