ETIndonesia- Sejumlah elemen mahasiswa Universitas Gadjah Mada menyatakan mendukung penuh terselenggaranya kegiatan dinamakan Diskusi dan Silaturahmi Bersama Negarawan (DILAWAN) dengan judul “Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” yang seharusnya diselenggarakan oleh Constitutional Law Society (CLS) pada 29 Mei 2020. Selain itu mengutuk keras atas pembungkaman akademik itu.
“Mengecam segala tindakan dan sikap yang tidak menghormati adanya kebebasan akademik sehingga mengakibatkan pembatalan kegiatan DILAWAN dengan judul “Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan,” ujar keterangan dari sejumlah elemen mahasiswa UGM, Sabtu (30/5/2020).
Tak hanya itu, mengimbau kepada masyarakat untuk tidak menerima secara mentah-mentah terhadap berita hoax seputar kegiatan DILAWAN dengan judul “Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan”.
Sejumlah elemen mahasiswa itu, mendesak Universitas Gadjah Mada untuk menjamin perlindungan kebebasan akademik yang dimiliki oleh Sivitas Akademika Universitas Gadjah Mada.
Elemen mahasiswa UGM itu terdiri dari Dewan Mahasiswa Justicia, Majestic 55, Sanggar APAKAH, Asian Law Student Association, Keluarga Mahasiswa Katolik, Persekutuan Mahasiswa Kristen, Keluarga Muslim Fakultas Hukum, Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa Mahkamah, Islamic Law Forum, Speech and Law Debate Society, Business Law Community, Komunitas Peradilan Semu Fakultas Hukum, Alternative Dispute Enhancement Society, Justicia Football Club, Justicia Basketball Club, Community of International Moot Court, dan Forum Penelitian & Penulisan Hukum PALAPA.
Melansir dari siaran persnya, pada awalnya, Constitutional Law Society (CLS) sebagai salah satu komunitas dalam FH UGM berencana untuk melaksanakan kegiatan yang dinamakan Diskusi dan Silaturahmi Bersama Negarawan (DILAWAN) dengan judul “Persoalan Pemecatan Presiden di tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” pada 29 Mei 2020, pukul 14:00 – 16:00 WIB dengan menggunakan media aplikasi Zoom.
Namun demikian, rencana pelaksanaan kegiatan tersebut menuai kecaman dari berbagai pihak, salah satunya datang dari akademisi UGM yaitu Ir. KPH Bagas Pujilaksono Widyakanigara, M.Sc, Lic.Eng, Ph.D yang menilai berdasarkan judul dari kegiatan tersebut, bahwa akan ada gerakan makar di Yogyakarta yang ingin melakukan pemecatan presiden.
Akibat dari kecaman yang menjadi viral di masyarakat tersebut, panitia penyelenggara melakukan perubahan judul diskusi menjadi “Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan”.
Tidak berhenti sampai dengan kecaman, beberapa panitia penyelenggara beserta keluarganya sempat diteror dengan berbagai ancaman pembunuhan dari pihak asing yang mengaku sebagai anggota Ormas Muhammadiyah Klaten.
Selain itu, terdapat teror lainnya berupa peretasan nomor telepon milik panitia penyelenggara dan peretasan terhadap akun media sosial CLS.4 Namun, Pimpinan Daerah Muhamadiyah Klaten membantah bahwa anggotanya terlibat dan sekaligus mengecam pencantuman nama “Ormas Muhammadiyah Klaten” dalam teror tersebut.
Pada akhirnya, panitia penyelenggara harus rela membatalkan kegiatan DILAWAN karena banyaknya tekanan dan ancaman yang dihadapi. Hal ini menimbulkan keresahan khususnya bagi sivitas akademika, karena tentunya tekanan dan ancaman yang datang tersebut sangat bertentangan dengan kebebasan akademik yang sepatutnya dihormati dan dilindungi.
Kebebasan Akademik merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia sebagaimana diatur dalam Pasal 28E UUD 1945 yang menyatakan bahwa,“setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Didefinisikan sebagai kebebasan yang dimiliki oleh sivitas akademika dalam pendidikan tinggi untuk mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggung jawab melalui pelaksanaan Tridharma.
Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh sivitas akademika dalam mengembangkan ilmu pengetahun dan teknologi adalah dengan mengadakan diskusi online seperti yang direncanakan oleh CLS melalui kegiatan DILAWAN dengan judul “Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan pada 29 Mei 2020”.
Kegiatan DILAWAN mendapatkan sejumlah tekanan dari berbagai pihak karena menganggap bahwa diskusi online tersebut merupakan suatu kegiatan yang merencanakan tindakan makar kepada presiden di tengah-tengah penanganan Pandemi Covid-19. Tuduhan makar datang akibat dari kekeliruan penafsiran dari berbagai pihak terhadap judul dari diskusi online tersebut. Maka dari itu, perlu ditinjau pula apa yang dimaksud dengan makar itu sendiri sebagai bentuk pencerdasan sehingga tidak salah menafsirkan hal tersebut.
Makar merupakan salah satu kejahatan terhadap kepentingan hukum negera (staat belangen), makar berasal dari kata aanslag yang secara harfiah diartikan sebagai serangan.
Dalam KUHP, frasa makar digunakan untuk mengganti aanslag di dalam Wetboek Van Strafrecht (WvS). Penjelasan mengenai makar dapat dilihat pada Pasal 87 KUHP yang menyatakan bahwa, “Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, seperti dimaksud dalam pasal 53.”
Pasal 87 dihubungkan dengan pasal 53 mengenai percobaan yang menyatakan bahwa, “Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dan adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.”
Walaupun penggunaan kata makar dalam KUHP bertujuan untuk menggantikan aanslag dalam WvS, tetapi makar memiliki makna yang lebih luas dan bahkan lebih jauh lagi terdapat perbedaan istilah karena sulitnya mencari padanan kata untuk menggantikan kata aanslag.
Prof. Eddy O.S Hiarej mengatakan bahwa penerjemah KUHP mendefinisikan makar dari istilah aanslag yang berarti tindakan awal suatu perbuatan, karena maksud digunakannya kata makar pada Pasal 53 Juncto Pasal87 KUHP adalah untuk memberikan parameter yang sama terkait unsur niat dan unsur permulaan pelaksanaan dalam hukum pidana. Dalam hal pembuktian adanya makar, maka baik niat maupun permulaan pelaksanaan harus diukur secara obyektif.
Pengertian makar itu sendiri harus dipahami dengan baik sebelum menggunakan istilah tersebut dan bukanlah tindakan yang tepat jika frasa makar digunakan untuk memberikan penilaian akibat kesalahan penasiran dari sebuah judul diskusi ilmiah.
Dalam hubungannya kegiatan DILAWAN, maka pertama-tama harus dapat dibuktikan dahulu tujuan dari diadakannya kegiatan tersebut. Setelah itu, diperlukan identifikasi terhadap kegiatan tersebut apakah kegiatan DILAWAN merupakan bentuk penyerangan yang nyata terhadap keamanan negara atau suatu kegiatan yang merencanakan untuk menjatuhkan pemerintah yang sah atau bukan.
Bukankah kegiatan DILAWAN hanyalah kegiatan diskusi ilmiah dengan tujuan akademis demi memperdalam pengetahuan bidang hukum ketatanegaraan belaka.
Oleh karena itu, tidak tepat jika DILAWAN yang seharusnya diselenggarakan oleh CLS pada 29 Mei 2020, pukul 14:00-16:00 WIB disebut sebagai upaya memunculkan gerakan makar yang hanya didasari oleh salah penafsiran dari judul diskusi ilmiahnya saja tanpa melihat isi dari pemaparan materi dalam diskusi ilmiah tersebut. (asr)
Video Rekomendasi :