Pelajaran Abadi dari Pride and Prejudice Karya Jane Austen

MADALINA HUBERT

Baru-baru ini saya membaca kembali “Pride and Prejudice” karya Jane Austen dan terkejut melihat bagaimana buku itu mengajari kita tentang diri kita sebagai manusia.

Saya pertama kali menemukan “Pride and Prejudice” melalui mini-seri BBC 1995 dengan Colin Firth dan Jennifer Ehle. Saya langsung terpesona oleh karakter penuh warna, pemandangan yang hidup, dan tentu saja kisah cinta yang indah. Karena ingin belajar lebih banyak, saya pun membaca bukunya dan menghargai kesempatan dapat terhubung dengan plot dan karakter pada tingkat yang lebih pribadi.

Cerita dibuka dengan Keluarga Bennet yang bersemangat tentang kedatangan tetangga baru mereka, seorang pria lajang muda dan kaya bernama Mr. Bingley.

Nyonya Bennet berharap tetangga barunya itu bersedia menikahi putri sulungnya, Jane, dan dia siap melakukan segalanya untuk mewujudkannya. Mr. Bingley membawa serta temannya, Mr. Darcy yang tampan dan bahkan lebih kaya. Namun terlepas dari keistimewaannya, Mr. Darcy adalah bertemu.

Colin Firth dan Jennifer Ehle di miniseri BBC 1995 “Pride and Prejudice.” (BBC)

Harga dirinya terluka, Elizabeth mengembangkan prasangka kuat terhadap Mr. Darcy. Mr. Darcy, sebaliknya malah, mulai jatuh cinta pada Elizabeth. Seiring berjalannya, kita melihat butuh banyak usaha dan kesusahan untuk melepas simpul kesombongan dan prasangka para tokoh. Namun itu adalah perjalanan yang berguna ketika kita ikut bergabung dengan mereka dalam perjalanan bergelombang menuju kebahagiaan.

“Pride and Prejudice” menjadi favorit bagi khalayak dan kritikus sejak publikasi pertamanya pada tahun 1813 di Inggris. Buku itu segera diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis, yang kemudian diikuti dengan terjemahan dalam bahasa lain.

Kini, “Pride and Prejudice” adalah salah satu buku paling populer di dunia dengan karakter Mr. Darcy dan Elizabeth Bennet sebagai pelengkap favorit budaya sastra kita.

Dosis humor yang sehat

Ada banyak alasan yang menyokong popularitas “Pride and Prejudice”, di antara lain tema yang tidak lekang oleh waktu yang dihadirkannya, seperti cinta, keluarga dan persahabatan dengan cara yang jenaka dan mengihibur. Novel ini membuat kita menertawakan kelemahan kita sekaligus mengilhami kita untuk merenungkannya.

Bagian pembukaan buku yang meng-gambarkan reaksi tetangga terhadap kedatangan tetangga baru adalah contoh yang bagus dari pendekatan Jane Austen yang menyenangkan untuk bercerita. Dia menulis:

“Ada hakekat yang sudah diakui secara universal ialah bahwa seorang pria lajang yang memiliki nasib baik, pasti menginginkan seorang istri. Betapapun kecil perasaan dan pandangan lelaki semacam itu ketika pertama kali memasuki sebuah lingkungan bertetangga, hakekat ini begitu melekat di benak keluarga-keluarga di sekitarnya, sehingga ia dianggap sebagai properti yang layak bagi anak-anak perem-puan mereka.”

Kita akan melihat bagaimana Austen dengan lembut menyindir keluarga-keluarga ini yang tidak tertarik pada keinginan dan kebutuhan Mr. Bingley, tetapi lebih pada kepentingan diri mereka sendiri. Namun ketika kisah itu terungkap, kita melihat bahwa hal ini ada kaitannya dengan masalah yang lebih besar yang sedang dihadapi para tokoh. Terutama lebih jelasnya dalam kasus Ny. Bennet. Jika putrinya tidak menikah dengan pria kaya, mereka akan melarat setelah kematian ayah mereka. Jane memahami keadaan mereka dan tidak mempermasalahkannya. Namun, di sepanjang buku, dia juga memastikan untuk menunjukkan bahwa pendekatan licik Mrs. Bennet hampir menghancurkan peluang anak perempuannya untuk menikah.

Kerendahan hati dan kebenaran

Jane Austen menunjukkan pandangan tajam untuk kekurangan sifat manusia, tetapi juga keyakinan pada kemampuan orang untuk berkembang.

Dua protagonisnya, Elizabeth Bennet dan Fitzwilliam Darcy (dikenal sebagai Mr. Darcy) sama-sama memiliki kekurangan. Mereka membuat kesalahan dan membiarkan diri mereka dibutakan oleh kesom-bongan dan prasangka dalam interaksi mereka. Akibatnya, mereka saling menyakiti dan nyaris kehilangan kesempatan untuk menemukan kebahagiaan bersama.

Potret Jane Austen, 1873, dari Galeri Potret Perpustakaan Perry-Castaneda Universitas Texas di Austin. (Area publik)

Namun pada dasarnya mereka adalah orang baik. Mereka dapat melihat ke da-lam diri mereka, menemukan kesalahan mereka, dan mengembangkan karakter mereka menjadi lebih baik. Dengan kerendahan hati, mereka melepaskan kesom-bongan dan prasangka mereka dan mulai memperlakukan satu sama lain dengan saling menghormati dan menghargai.

Kita melihat ini ketika Mr. Darcy menyatakan rasa terima kasihnya kepada Elizabeth karena membantunya menyadari keegoisannya. Dia mengatakan padanya menjelang akhir, “Sebagai seorang anak saya diajari apa yang benar, tetapi saya tidak diajari untuk mengoreksi perangai saya. Saya diberi prinsip-prinsip yang baik, tetapi dibiarkan mengikuti mereka dalam kesombongan dan kesombongan. … Oleh kamu, aku benar-benar menjadi rendah hati.”

Elizabeth juga mau mengakui kesalahannya. Begitu dia mengetahui sampai sejauh mana prasangka-prasangka itu telah membutakannya terhadap karakter sejati Tuan Darcy, dia menghadapi kekurangan-nya dengan jujur: “Seandainya aku jatuh cinta, aku tidak akan bisa lebih buta lagi. Tapi kesombongan, bukan cinta adalah kebodohan saya. … Sampai saat ini, saya tidak pernah mengenal diri saya sendiri.”

Setelah menyadari hal ini, dia dapat mengevaluasi kembali pendapatnya tentang Mr. Darcy dan dengan demikian dapat lebih menghargainya.

Tata krama dan pengendalian diri

Setelah membaca diskusi para penggemar online “Pride and Prejudice” saya mendapat kesan banyak orang tertarik pada polesan tata krama orang-orang abad ke-19, ketika para pria berdiri jika seorang wanita memasuki ruangan, menari dengan penuh hormat, dan orang-orang menghargai moralitas.

Dalam arti itu, kisah ini tak ini ditekankan dengan baik dalam novel. Salah satu contoh adalah adegan Mr. Darcy melamar Elizabeth untuk pertama kalinya. Percaya diri bahwa Elizabeth akan menerimanya, Mr. Darcy sangat terkejut ketika perempuan itu malah menolaknya dengan kasar.

Dalam adegan ini, Austen berusaha untuk menekankan bahwa terlepas dari amarahnya, Mr. Darcy mampu mengendalikan emosinya. Dia menulis, “Dia bersusah payah untuk tetap tenang, dan tidak akan membuka bibirnya, sampai dia yakin dirinya harus mencapainya.”

“Di dunia di mana amarah berkobar dengan mudah, adalah penghiburan dan pengingat yang baik untuk memperhatikan sikap tenang dan kesabaran.

“Pride and Prejudice” adalah kombinasi dari drama keluarga, kisah cinta, dan dongeng. Tokoh utama menderita karena kegagalan mereka tetapi tetap berusaha untuk mengatasinya. Pada akhirnya, mereka mendapatkan kebahagiaan selamanya. Elizabeth dan Mr. Darcy memulai semuanya dengan kesombongan dan berprasangka, tetapi kemudian bersatu dalam kerendahan hati dan ketulusan. Mereka setara dalam hal rasa saling menghormati dan cinta satu sama lain, dan pada akhirnya seluruh keluarga mendapat manfaat dari hubungan mereka.

“Pride and Prejudice” adalah pengingat yang baik yang baik bahwa kebahagiaan sejati terletak pada peningkatan diri, rasa hormat, dan penghargaan terhadap satu sama lain, dan untuk itu saya sangat menyenangi kisah indah Jane Austen. (yun)

Artikel Ini Sudah Terbit di koran The Epochtimes Indonesia edisi 641

Keterangan gambar : Ilustrasi oleh Hugh Thomson dari Elizabeth dan Mr. Darcy, dari “Pride and Prejudice” edisi 1894 London. (Public Domain)

Video Rekomendasi :

https://www.youtube.com/watch?v=GueIbuM45AE