Australia Mulai Menolak Klaim Tiongkok yang ‘Belum Pernah Terjadi Sebelumnya’

Theepochtimes.com- Agresi terbaru oleh Partai Komunis Tiongkok yang di masa lalu sering gagal secara langsung ditangani — kini sedang menghadapi serangan balasan oleh  pemerintah Scott Morrison, dan hal tersebut bukan hanya retorika yang lebih kuat.

Australia adalah salah satu negara pertama yang meminta penyelidikan penanganan pandemi COVID-19 oleh Beijing. Negara itu telah menangguhkan perjanjian ekstradisi Australia dengan Hong Kong atas kekhawatiran seputar hukum keamanan nasional baru. Australia juga bangkit menentang peningkatan sejumlah ancaman ekonomi dan intimidasi dari Tiongkok.

Senator Australia memberitahu The Epoch Times, adanya perlawanan dari pemerintah Australia baru-baru ini dalam menanggapi penghinaan Komunis Tiongkok yang semakin meningkat terhadap hukum internasional, ditambah dengan penganiayaan berat terhadap rakyatnya sendiri, dan ancaman yang merembes terhadap nilai-nilai inti yang dipegang oleh “Australia dan New Zealand.”

“Tiongkok mulai menyadari bahwa tidak semua orang akan bersujud kepada ancamannya, baik itu agresi geopolitik, campur tangan asing atau tekanan ekonomi. Dalam semua keadaan, hal itu adalah pantas, memang perlu, untuk negara-negara yang mencintai kebebasan untuk mengambil sikap,” Eric Abetz, seorang senator Liberal, mengatakan kepada The Epoch Times.

Eric Abetz mengatakan “dorongan balik” terhadap rezim Tiongkok, didorong oleh sejumlah keprihatinan yang mendesak, yang mencakup “agresifitas dan penindasan rezim Tiongkok yang terus berkembang terhadap rakyatnya sendiri – umat Kristen, warga Uighur, praktisi Falun Gong.”

Tiongkok mengabaikan hukum internasional melalui militerisasi Laut China Selatan adalah masalah lain, kata Eric Abetz, yang menunjuk ke penargetan negara yang disengaja oleh Beijing seperti Australia yang berani meminta pertanggungjawaban dari Tiongkok.

Penargetan negara yang disengaja tersebut mulai terbentuk beberapa bulan yang lalu, saat Canberra meminta penyelidikan independen terhadap penanganan pandemi di Beijing. Sementara itu, Australia adalah salah satu negara pertama yang menyerukan larangan perjalanan dari Tiongkok. 

Menteri Luar Negeri Australia Marise Payne, yang pertama kali mengisyaratkan kebutuhan akan investigasi transparan, segera didukung oleh Perdana Menteri Australia Scott Morrison. Pada bulan Mei, Scott Morrison memberitahu Alan Jones di 2GB Radio:

“Apa yang perlu diketahui dunia — dan ada banyak dukungan untuk ini — adalah bagaimana awalnya dan apa pelajaran yang dapat dipetik?”

Permintaan Australia sejak itu menarik dukungan dari Uni Eropa dan koalisi lebih dari 100 negara. Langkah ini memicu kemarahan Partai Komunis Tiongkok, yang sejak itu memberlakukan tarif 80 persen untuk jelai Australia dan melarang produk empat pabrik pengolahan daging merah Australia.

Senator Partai Nasional Australia Malcolm Roberts mengatakan, meskipun ia senang pemerintah Australia yang membuat keributan sebagai tanggapan terhadap Partai Komunis Tiongkok, ia akan menangguhkan penilaiannya sampai berita utama media mereda. Ia bilang ia “ragu atas tindakan pemerintah akan mewujudkan apa yang telah dikatakan.”

“Ancaman [Partai Komunis Tiongkok] adalah sangat besar dan memengaruhi setiap aspek kehidupan dan gaya hidup Australia. Keamanan nasional, kemandirian ekonomi, kepemilikan tanah dan aset infrastruktur yang penting, kendali layanan, kendali atas anggota parlemen Partai Buruh dan Liberal/Nasional dan orang-orang yang berpengaruh di belakang layar, sebagai beberapa contoh,” kata Malcolm Roberts kepada The Epoch Times.

Malcolm Roberts mencatat bahwa “dunia sedang bangkit menghadapi ancaman dari totaliter Partai Komunis Tiongkok yang tidak memperhatikan kehidupan dan kebebasan manusia.” (India, salah satu negara yang terbaru menindak Beijing, baru-baru ini melarang 59 aplikasi milik Tiongkok digunakan di wilayahnya atas krisis di perbatasannya, dan berencana untuk lebih semakin teliti dalam bidang investasi asing langsung).

Sementara itu, Beijing juga mengancam akan menghentikan pengiriman turis dan mahasiswanya, jika Australia tetap mempertahankan seruannya untuk suatu penyelidikan.

“Kami menolak saran bahwa paksaan ekonomi adalah tanggapan yang tepat untuk meminta penilaian semacam itu, saat yang kita butuhkan adalah kerja sama global,” Marise Payne mengatakan dalam sebuah pernyataan kepada The Australian.

Marise Payne menolak untuk menghindar saat berbicara mengenai Tiongkok. Pada bulan Juni, ia mengkritik Partai Komunis Tiongkok untuk menciptakan “informasi sesat” di tengah pandemi. Ia menambahkan bahwa hal tersebut “menyumbang iklim ketakutan dan perpecahan saat apa yang kita butuhkan adalah kerja sama dan pengertian.”

Telah didokumentasikan bahwa rezim Komunis Tiongkok sengaja menutupi total jumlah kasus virus Komunis Tiongkok di Tiongkok dalam upaya untuk menjaga citranya, baik secara nasional maupun internasional. Juga dilaporkan secara luas bahwa Tiongkok terus berusaha mengalihkan kesalahan atas penanganannya yang gagal terhadap virus tersebut, dengan meluncurkan kampanye informasi sesat global untuk memanipulasi narasi.

Andrew Phelan, seorang pengusaha teknologi medis berbasis di Australia yang menghabiskan sebagian besar karirnya di Asia, sebagian besar mewakili perusahaan teknologi medis yang berbasis di Amerika Serikat (dua perusahaan di antaranya berhasil menuntut negara Repubik Rakyat Tiongkok atas pencurian kekayaaan intelektual), mengatakan ia belum pernah menyaksikan tanggapan Australia terhadap ancaman Partai Komunis Tiongkok seperti sekarang ini.

“Saya hampir berusia 54 tahun dan saya sudah mengikuti Tiongkok sejak kunjungan saya yang pertama saat berusia 21 tahun pada tahun 1988. Situasi [dorongan balik] saat ini belum pernah terjadi sebelumnya…Keberanian itu dibayar mahal dan telah menempatkan Australia dalam garis bidik pemimpin Tiongkok Xi Jinping. Arti penting dari dorongan balik adalah bahwa dorongan balik itu terjadi begitu cepat, melibatkan begitu banyak negara dan mereka bergabung dan membentuk aliansi,” kata Andrew Phelan kepada The Epoch Times. 

Dorongan balik baru-baru ini berasal dari proses kesadaran Australia atas rencana dan ambisi Beijing, menurut Andrew Phelan. 

Ia mencatat bahwa Australia berada dalam posisi unik, karena tidak ada negara lain yang secara global mendapat manfaat sebanyak ini dari kebangkitan Tiongkok.

Baik kantor Perdana Menteri Australia maupun Departemen Luar Negeri Australia dan Departemen Perdagangan Australia tidak segera menanggapi permintaan oleh The Epoch Times untuk komentar.

Operasi Pengaruh Beijing

Lebih banyak negara di dunia mulai menentang Beijing karena Beijing meningkatkan aspirasi globalnya melalui jalan yang mencakup operasi Front Terpadu, One Belt One Road, dan Institut Konfusius.

Unit Front Terpadu berkoordinasi dengan ribuan kelompok untuk melaksanakan operasi pengaruh politik asing,  menindas gerakan pembangkang, mengumpulkan intelijen, dan mempermudah transfer teknologi negara lain ke Tiongkok, menurut laporan bulan Juni oleh  Institut Kebijakan Strategis Australia. 

Front Terpadu menarik perhatian tingkat pengawasan yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk kaitannya dengan campur tangan politik, spionase ekonomi, dan pengaruh di kampus universitas, kata laporan itu. 

Di Australia, para pengusaha yang merupakan anggota organisasi yang memiliki hubungan dekat dengan Departmen Kerja Front Terpadu “dituduh mengganggu politik Australia.”

Kasus Huang Xiangmo disorot oleh penulis laporan sebagai “salah satu kasus paling informatif dari upaya upaya pengaruh terkait-Front Terpadu.”

Huang Xiangmo tiba di Australia “dalam ketidakjelasan hampir total,” sampai “pengeluaran besar dan jaringan tanpa henti di balik pintu tertutup telah membuat dirinya dengan cepat mengambil hati para politisi Australia yang paling kuat,” kata laporan itu, mengutip sebuah artikel.

Huang Xiangmo adalah dermawan dan menyumbang dengan murah hati ke universitas-universitas, dimulai berpusat di dua universitas Australia. Ia juga berusaha menjadi mentor Tionghoa Australia muda dengan tujuan politik, mengorganisir Forum Kepemimpinan Australia Muda untuk mahasiswa Tiongkok. 

Institut ACRI miliknya menjamu seorang pejabat Front Terpadu pada tahun 2016 dan “juga mengorganisir perjalanan ke Tiongkok, yang didukung oleh Departemen Propaganda, untuk wartawan Australia,” menurut laporan tersebut.

Dalam satu kasus, Huang Xiangmo dilaporkan menarik sumbangan yang dijanjikan sebesar 400.000 dolar kepada Partai Buruh, setelah juru bicara pertahanan Partai Buruh mengkritik militerisasi Tiongkok di Laut China Selatan. 

Tim Xu, mantan asisten Huang Xiangmo, bersaksi pada tahun 2019 bahwa salah satu dewan yang dipimpin oleh Huang Xiangmo adalah sebuah front untuk Partai Komunis Tiongkok.

Organisasi Intelijen Keamanan Australia kemudian menyimpulkan Huang Xiangmo “setuju untuk melakukan tindakan campur tangan asing.” 

Permohonan kewarganegaraan Huang Xiangmo ditolak dan tempat tinggalnya dibatalkan. Namun, jaringan Huang Xiangmo dan — jaringan Front Terpadu secara umum — masih aktif di Australia, demikian laporan tersebut menyatakan.

Melalui Inisiatif Sabuk dan Jalan, Partai Komunis Tiongkok memulai lebih dari 2.900 proyek bernilai 3,87 triliun dolar. Inisiatif Sabuk dan Jalan disebut sebagai “perangkap utang” karena praktik peminjaman predator Beijing, dilaporkan telah mengakibatkan negara-negara rentan terhadap kampanye pengaruh agresif Tiongkok.  

Pada bulan Oktober 2019, Victoria secara resmi menandatangani prakarsa di bawah Perdana Menteri Daniel Andrews dan Duta Besar Tiongkok untuk Australia Cheng Jingye; Victoria adalah satu-satunya negara bagian di Australia yang bergabung dengan Inisiatif Sabuk dan Jalan.

Mantan Perdana Menteri Victoria Jeff Kennett mengatakan kepada Sky News pada wawancara tanggal 13 Juli, bahwa langkah tersebut akan menjadi “kehancuran pemerintah ini,” mencap hal tersebut sebagai “kebijakan ekspansionis.”

Sementara itu, Institut Konfusius yang berlokasi di seluruh institusi pendidikan Australia juga menarik perhatian kontroversi. Akhir tahun lalu, Departemen Pendidikan New South Wales melarang program Institut Konfusius diajarkan di sekolah umum di New South Wales.

Institut Konfusius, yang diawasi dengan keterlibatan besar dari Departemen Kerja Front Terpadu, “menghasilkan kontroversi selama lebih dari satu dekade atas efek Institut Konfusius pada kebebasan akademik dan pengaruh pada universitas, “menurut laporan  Institut Kebijakan Strategis Australia. 

Komunis Tiongkok mengklaim bahwa tujuan Institut Konfusius adalah murni untuk memperkuat pembelajaran dan kebudayaan bahasa Mandarin.

Institut Konfusius bertujuan untuk mendorong tujuan kebijakan luar negeri untuk membuat rezim Tiongkok tidak hanya sebagai adidaya ekonomi, tetapi juga sebagai adidaya kebudayaan.

Eric Abetz mengatakan kecuali rezim Tiongkok dimintai pertanggungjawaban lebih awal, “rezim Tiongkok akan terus melanjutkan praktiknya yang tidak dapat diterima sampai dominasi rezim Tiongkok menjadi terlalu tercela yang berakibat dari konflik.”

Dorongan balik Australia adalah “pasti dijamin,” kata Casey Fleming, Chairman dan CEO perusahaan strategi intelijen dan keamanan BlackOps Partners.

“Ini adalah berbahaya bagi dunia bebas dan demokrasi. Partai Komunis Tiongkok merupakan ancaman ekstrem dan berkelanjutan terhadap nilai-nilai dan keamanan nasional Australia. Partai Komunis Tiongkok bekerja di bawah perlindungan tersembunyi, memanfaatkan spionase yang intens, dan memaksimalkan penyusupan dan subversi untuk menghancurkan demokrasi,” kata Casey Fleming kepada The Epoch Times.

Keterangan Gambar: Bendera nasional Australia berkibar di atas Gedung Parlemen di Canberra dalam gambar file ini. (Torsten Blackwood / AFP / Getty Images)

(Vivi/asr)

Video Rekomendasi

https://www.youtube.com/watch?v=iMYoRPcC9tA