Menghancurkan Keangkuhan Kita untuk Lebih Dekat ke Surga: ‘Menara Babel’

ERIC BESS

Saya selalu berpikir tentang apa artinya menjadi  orang baik, dan saya sering bertanya pada diri sendiri pola pikir apa yang menghalangi kita untuk menjadi orang yang benar- benar baik. Keangkuhan selalu menjadi yang pertama saat berpikir.

Bahkan perbuatan baik kita terkadang didorong oleh keinginan untuk pamer. Kita berperilaku “benar” bukan berdasarkan prinsip tetapi untuk pujian rekan-rekan; kita bertindak bukan untuk orang lain tetapi untuk menopang harga diri.

Contoh klasik dari kesombongan dan keangkuhan adalah kisah Menara Babel.

Menara Babel

Kisah Menara Babel dirujuk dalam kitab Kejadian dan dalam “Aggadah”, sastra rabi klasik Yudaisme. Buku-buku ini menceritakan saat orang-orang dipersatukan di bawah satu bahasa dan menetap di dataran Babilonia.

Babilonia dipimpin oleh Nimrod, seorang penakluk yang tidak kenal takut dan perkasa, yang membuat bangsanya memberontak melawan Tuhan. Dia ingin membangun kota dengan menara yang mencapai surga dan berfungsi sebagai tempat pemujaan berhala. Orang Babilonia ingin membuat nama untuk diri sendiri dan tetap bersatu dan kuat.

Detil “Menara Babel” menampilkan para pekerja. Museum Sejarah Seni, Wina, Austria. (Domain publik)

Tuhan turun untuk menyaksikan pembangunan menara dan menyimpulkan bahwa tidak ada yang tidak mungkin bagi orang Babilonia jika mereka tetap bersatu dalam satu bahasa. Jadi Tuhan memutuskan untuk mengacaukan bahasa mereka dan menyebarkan orang-orangnya ke seluruh dunia. Dan pembangunan menara berhenti.

Menara Besar Babel karya Pieter Bruegel

Pieter Bruegel the Elder (1525– 1569) adalah seorang seniman Belanda dari Renaisans Utara selama abad ke-16. Dia sangat dipengaruhi oleh pelukis Renaisans Utara,Hieronymus Bosch, dan menciptakan komposisi multifigural yang fantastis dengan lansekap yang luas.

Pada 1563, Pieter melukis “Menara Babel”, salah satu dari dua representasi menara itu; sekarang terletak di Wina.

Hal pertama yang kita lihat adalah menaranya. Bangunan itu sedang dibangun, dan warna kuning lembut dari dinding luarnya sangat kontras dengan warna merah gelap dari ruang dalamnya saat ia menjulang dari permukaan bumi, melewati garis cakrawala, dan menuju ke Langit.

Pieter melukis ratusan sosok kecil yang membantu membangun menara. Mereka semua bekerja sama dan bergegas untuk menyelesaikan tugas.

Di sekeliling menara adalah bagian kota lainnya. Pieter telah menunjukkan kontras ukuran antara tempat tinggal manusia biasa dan besarnya menara.

Detail dari “Menara Babel” menampilkan Raja Nimrod. Museum Sejarah Seni, Wina, Austria. (Domain publik)

Mata kita kemudian diarahkan dari lansekap ke kiri bawah komposisi, di mana ada deretan semak- semak gelap. Di depan semak-semak ini ada sekelompok orang — titik fokus sekunder — salah satu- nya seperti Nimrod.

Nimrod berpakaian seperti raja,mengenakan jubah di punggung- nya dan mahkota kerajaan. Para petani berlutut di depannya, sementara para pekerja mengangkat dan membawa lempengan batu besar ke lokasi pembangunan.

Menghancurkan keangkuhan kita

Pertanyaan yang langsung mengejutkan saya adalah, mengapa Tuhan membubarkan orang-orang ini dan mengacaukan bahasa mereka? Kita sering berpikir bahwa ada hikmah dalam bekerja sama untuk menyelesaikan tugas yang besar, tetapi tampaknya Tuhan berpikir sebaliknya dalam kasus ini.

Saya pikir salah satu alasannya  mungkin  karena manusia telah menggantikan Tuhan dengan dirinya sendiri. Pieter menggambarkan Nimrod sebagai orang yang disembah alih-alih Tuhan, dan Nimrod, sebagai manusia biasa — terlepas dari keberhasilannya dalam menaklukkan — tidak dapat mencapai surga karena Tuhan menggagalkan rencananya yang sombong.

Saya pikir alasan lain Tuhan membubarkan orang-orang ini dan mengacaukan bahasa mereka adalah karena mereka berusaha untuk menciptakan surga di bumi, ketika mungkin perjalanan ke surga adalah perjalanan bersifat individu dan internal.

Mungkin usaha mereka sia-sia karena hati dan pikiran tidak tertuju pada Tuhan. Oleh karena itu, Tuhan membantu mereka dengan membubarkan dan mengacaukan bahasa mereka. Dalam situasi baru, mereka sebagai individu dapat sekali lagi berpaling ke dalam hati kepada Tuhan.

Bagi saya, menara itu lambang keangkuhan. Saya melihatnya sebagai representasi simbolis dari kecenderungan kita untuk pamer pada orang-orang di sekitar kita. Kita menemukan cara, terkadang dengan menipu, untuk meninggikan diri sendiri dan melampaui rekan-rekan sehingga kita dapat dianggap tinggi dan perkasa: upaya yang salah dan terkutuk untuk mewujudkan surga di bumi.

Mungkin ada lebih banyak kebijaksanaan dalam mencoba mencapai surga dari dalam daripada melalui pengejaran yang memicu kesombongan. Mungkin kita mencapai surga bukan dengan membangun nilai batiniah kita melalui pujian orang lain tetapi dengan membuang dan mematahkan keinginan dan kesombongan lahiriah yang mungkin menghalangi kita untuk memperoleh ketenangan batin di mana Tuhan berbicara, dan kita dapat mendengar-Nya. (yun)

Keterangan Foto : “Menara Babel,” 1563, oleh Pieter Bruegel the Elder. Museum of Art History, Wina. (Domain publik)

https://www.youtube.com/watch?v=EMLCXBeiWQg