Siapa yang Mampu Percaya Pemilu Tercemar oleh Kecurangan ? Media Barangkali

oleh James Bowman

Seorang Kolumnis bernama Tom Harris menerbitkan tulisannya di Daily Telegraph pada 5 November 2020. Penulis itu menyesalkan janji Presiden Donald Trump untuk ikut serta dalam pemilihan umum, di satu atau lebih negara-negara bagian, di mana ia telah dinyatakan sebagai pecundang.

Tom Harris dalam tulisannya menyebutkan : “Bahkan Richard Nixon, tokoh politik yang paling memecah belah, memilih untuk mengakui hasil pemilihan umum yang sangat tajam pada tahun 1960 daripada memecah-belah bangsa dengan mempertanyakan beberapa hasil yang dipertanyakan. Andai saja Donald Trump dapat menjadi seorang yang jujur ​​dan berprinsip seperti Tricky Dickie (julukan dari Nixon).”

Menanggapi sudut pandang itu, Mohon memanjakan saya sejenak saat saya menunjukkan beberapa hal yang  salah dengan pernyataan itu.

Faktanya, Pada tahun 1972 Richard Nixon tidak lebih memecah-belah daripada politisi lain yang terpilih menjadi presiden dengan selisih yang tipis, dan ia jelas jauh lebih tidak memecah-belah daripada sebagian besar calon presiden. Dikarenakan, ia memenangkan kemenangan telak yang luar biasa saat ia mencalonkan pemilihan umum empat tahun kemudian.

Sebenarnya, istilah “Memecah belah” adalah bagian laporan media mengenai sebuah daftar kriminal yang dituduhkan dialamatkan kepada Donald Trump dan Partai Republik secara general.  Meskipun kebencian media yang berapi-api dan mendalam kepada Donald Trump, lebih luas lagi, bagi pendukung Donald Trump, tampaknya lebih jauh sebagai memecah belah daripada apa pun yang telah dilakukan Donald Trump.

Dan, kemudian ada “pemilihan umum yang sangat tidak menentu” dan “hasil yang patut dipertanyakan.”

Bahkan pada saat kecenderungan mesin politik Demokrat di Chicago, muncul dengan jumlah suara berapa pun, diperlukan untuk mengunggulkan calon presiden adalah sudah diketahui sejak dahulu. 

Mungkin, sedikit lebih dari sekadar dipertanyakan hasil suara memberi kemenangan bagi Kennedy-Johnson dan dengan akhirnya Kennedy-Johnson, benar-benar memenangkan pemilihan umum tersebut, di mana sejarah memberitahu kita bahwa hal itu terjadi.

Terakhir, ada Tricky Dickie yang “jujur” dan “berprinsip.” Dipercaya Nixon adalah jauh lebih jujur ​​dan berprinsip, daripada yang diberikan orang-orang sekarang ini (atau dulu) menghargai keberadaan Nixon. 

Akan tetapi, keputusan Nixon untuk tidak ikut serta dalam pemilihan umum, tidak ada hubungannya dengan kejujuran atau prinsip. Itu adalah di luar keengganan wawasan-sipil untuk menempatkan negara melalui cobaan ketidakpastian. Sedangkan perpecahan yang merupakan proses berlarut-larut dalam menyelidiki penyimpangan pemilihan umum akan mewujudkannya.

Jika kejujuran atau asas menjadi perhatian pertamanya, maka Nixon akan memperebutkan hasilnya.

Saya tidak ingin terlalu bersikap keras terhadap pendapat Kolumnis Harris. Harris adalah terlalu muda untuk mengingat seperti apa dunia politik saat itu di tahun 1960, dan norma-norma perilaku dan debat yang berlaku saat itu. 

Harris seharusnya kembali dan mendengarkan debat Nixon-Kennedy di tahun itu dan perbedaan debat Nixon-Kennedy dengan pertemuan baru-baru ini, antara para kandidat tahun ini di mana sebagian besar terbatas pada pertukaran penghinaan, tidak pantas mendapatkan nama perdebatan sama sekali.

Media Memandang Dirinya Sendiri

Nah, itulah cara kita melakukan banyak hal pada akhir-akhir ini. Begitulah cara kita melakukan banyak hal, sejak media menemukan bahwa ada lebih banyak uang yang dihasilkan karena emosi politik dan kemarahan moral, daripada karena alasan dan moderasi — sejak dunia politik dan hiburan menjadi tidak dapat dibedakan satu sama lain.

Media suka menyalahkan Trump untuk hal ini. Media suka menyalahkan  Trump untuk apapun dan segalanya apapun. Tetapi, media yang mengutamakan ras kekuatan dan agresi yang besar, telah berlangsung lama sebelum Trump datang ke panggung politik. 

Karier politik Trump adalah tidak terbayangkan, terlepas dari melodrama yang telah berlangsung lama dimiliki media terbuat dari kebudayaan politik kita dan bahwa Donald Trump hanya mencerminkan kembali hal-hal tersebut.

Nyatanya, diyakini sebagian besar alasan media amat sangat membenci Donald Trump. Media menatap Donald Trump, dan media melihat dirinya sendiri. Dan, media tidak menyukai apa yang dilihatnya.

Apa yang harus kita lihat adalah cara The Washington Post menyapa pembacanya yang tersisa di pagi hari setelah pemilihan umum yang berbunyi : “Dengan hasil akhir yang tidak pasti, Donald Trump melancarkan serangan terhadap integritas  sistem pemilihan umum Amerika Serikat.”

Siapa lagi yang menyerang keutuhan sistem pemilihan umum? Selama berbulan-bulan The Washington Post, bersama dengan banyak media lainnya, telah meminjam kepercayaan pada klaim Hillary Clinton maupun Joe Biden, bahwa Donald Trump hanya dapat menang dengan cara penipuan — dan bahwa mereka sepenuhnya mengharapkan penipuan semacam itu. Pasukan pengacara yang direkrut partai Hillary Clinton maupun Joe Biden, untuk lebih dari cukup proses pengadilan pasca-pemilu ditunjukkan.

Dalam hal ini, tentu saja, media adalah sangat konsisten, seperti Mrs Clinton dan banyak Demokrat lainnya, mereka tidak pernah menerima hasil pemilihan umum tahun 2016 adalah sudah sah. 

Mereka meminjamkan tajuk rencana maupun bobot laporan mereka, semacam itu, untuk setiap upaya Demokrat agar membatalkan legitimasi sistem pemilihan umum, yang diduga dirusak oleh “gangguan” Rusia, bersama dengan kepresidenan Donald Trump.

Dan kemudian, dalam serangan kedua, pada tanggal 4 November, The Washington Post menulis dengan judul: “Pemilihan presiden tergantung pada keseimbangan saat Donald Trump secara keliru menegaskan penipuan dan membuat klaim kemenangan.”

Bagaimana mungkin mereka tahu bahwa Presiden Donald Trump keliru saat Donald Trump membuat pernyataan tersebut? 

Hal itu harus dengan cara yang sama seperti mereka berpura-pura tahu tuduhan Donald Trump atas kampanye Donald Trump, telah “dimata-matai” oleh pemerintahan Obama atau menjajakan pengaruh korup Joe Biden sebagai wakil presiden adalah salah.

Tidak melalui pemeriksaan bukti yang cermat, tetapi ungkapan dari “pemeriksa fakta” mereka sendiri, yang salah nama adalah pekerja Stakhanovite dalam menyusun “pernyataan yang salah dan menyesatkan” dari Donald Trump.  Yang mana, berkontribusi sangat besar pada persepsi publik di balik ejekan Joe Biden dalam “debat” pertama: “Semua orang tahu anda adalah pembohong.”

Tidak Bertanggung Jawab

Sebagai aturan umum, jika anda yakin apapun tentang media menuduh apa yang dilakukan Presiden Donald Trump, media  telah melakukannya atau melakukannya sendiri, anda tidak akan salah paham. Penulis menemukan  skeptisisme alami  mengenai klaim penipuan yang disematkan kepada Donald Trump. 

Melihat ke belakang pada empat tahun terakhir, penulis tidak dapat memikirkan contoh kapan hukum atau hati nurani atau kewarganegaraan — atau kejujuran atau prinsip untuk hal tersebut — membuat media atau Demokrat tidak sembrono. Bahkan, tuduhan penghasut pelanggaran terhadap presiden sedikit atau tidak terbukti. 

Dari tuduhan berbohong menjadi pengkhianatan dan dari menipu pajak oleh Donald Trump hingga supremasi kulit putih, sejauh ini tidak ada dakwaan yang akan mereka pertahankan jika mereka pikir hal tersebut akan membantu melengserkan Donald Trump.

Apakah kita kemudian akan membuat asumsi otomatis, di mana The Washington Post akan tetap berkutat pada penipuan pemilu?

Apakah tidak mungkin pelanggaran hukum yang mereka dorong sebagai bagian imigran ilegal atau pengunjuk rasa Antifa dan Black Lives Matter, juga dapat didorong oleh bagian petugas pemilihan umum?

Saya kira tidak. Namun,  mungkin ada sesuatu untuk tuduhan kecurangan oleh presiden — bukan karena Donald Trump membuatnya, tetapi karena media dan Partai Demokrat berhasil membuatnya untuk yang pertama kalinya. (Vv/asr)

Keterangan Foto : Presiden Donald Trump dan ibu negara Melania Trump di Ruang Timur Gedung Putih di Washington pada dini hari 4 November 2020. (Chip Somodevilla / Getty Images)

James Brown seorang peneliti tetap di Ethics and Public Policy Center dan Penulis buku “Honor: A History.” Ia adalah kritikus film untuk American Spectator dan kritikus media untuk Kriteria Baru.

Video Rekomendasi :

https://www.youtube.com/watch?v=N27rUSTlwlo