Menghubungkan Sleep Apnea dengan COVID-19

oleh Barry Krakow, MD

Apnea tidur atau sleep apnea adalah gangguan tidur yang menyebabkan pernapasan seseorang berhenti sementara selama beberapa kali.

Apnea tidur dapat berdampak serius pada kesejahteraan umum dan berkontribusi pada kondisi kesehatan yang diketahui memperburuk hasil COVID-19.

Terlepas dari temuan-temuan ini, sedikit penelitian telah dilakukan yang menghubungkan apnea tidur secara langsung dengan hasil COVID-19. 

Namun demikian, ada hubungan yang penting yang menunjukkan morbiditas dan mortalitas COVID yang lebih besar di antara pasien dengan obesitas dan hipertensi, dua kondisi yang sangat umum untuk pasien apnea tidur.

Sedikit penelitian yang telah dilakukan memberikan dukungan bahwa apnea tidur, sebagai sebuah faktor yang bermakna dalam seberapa baik seseorang sembuh saat terinfeksi virus Komunis Tiongkok.

Tiga penelitian baru menggunakan desain retrospektif yang valid untuk mengukur ketersediaan data penelitian. Tiga penelitian ini membantu kami memahami dampak gangguan tidur yang mudah merembet ini, yang dikenal dengan nama apnea tidur obstruktif  (OSA) atau gangguan pernapasan saat tidur (SDB).

Para peneliti Harvard meneliti satu kelompok yang terdiri dari 443 penderita apnea tidur yang tertular COVID-19 (virus Komunis Tiongkok) dan membandingkan kelompok tersebut dengan satu kelompok kontrol yang juga tertular virus  Komunis Tiongkok, tetapi tidak menderita apnea tidur. 

Kelompok penderita apnea tidur obstruktif  menunjukkan, hampir dua kali lipat tingkat kematian dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak menderita apnea tidur obstruktif .

Para peneliti Harvard ini mencatat, 310 penderita apnea tidur menggunakan tekanan jalan napas positif terus-menerus melalui sebuah perangkat tekanan jalan napas positif, tak lain untuk memberikan aliran udara terkompresi melalui sebuah masker wajah saat penderita tidur. Ini adalah terapi standar untuk apnea tidur. Sisanya 133 penderita apnea tidur tidak menggunakan tekanan jalan napas positif terus-menerus. 

Meski temuan-temuan tersebut secara statistik adalah tidak signifikan, ada sebuah kecenderungan statistik (yang artinya hampir signifikan) untuk hasil “gabungan,” yang mana lebih baik pada pengguna tekanan jalan napas positif terus-menerus.

Komposit mengacu pada satu kelompok hasil buruk, seperti rawat inap, masuk Unit Perawatan Intensif, membutuhkan ventilator, atau kematian. Dengan kata lain, setiap pasien mungkin menderita satu atau lebih kejadian ini, dan kelompok yang menggunakan tekanan jalan napas positif terus-menerus tampaknya mengalami kejadian yang sedikit lebih sedikit.

Northwestern University meneliti sepuluh rumah sakit di daerah Chicago yang melibatkan 9.405 kasus positif virus Komunis Tiongkok. Dari kelompok besar ini, 3.185 kasus rawat inap (1.779 kasus juga menderita gagal napas) dibandingkan penderita yang tidak dirawat di rumah sakit. 

Apnea tidur obstruktif adalah kira-kira lima kali lebih umum terjadi pada penderita yang dirawat di rumah sakit (15,3 persen versus 3,4 persen) dan kira-kira empat kali lebih besar pada penderita yang mengalami gagal napas (19,4 persen versus 4,5 persen). 

Setelah penyesuaian untuk kondisi umum seperti diabetes, hipertensi, dan indeks massa tubuh, apnea tidur obstruktif masih menunjukkan risiko yang lebih besar secara bermakna untuk penderita yang dirawat inap dan mengalami gagal napas.

Sebuah penelitian dari Prancis meneliti penderita diabetes yang dirawat di rumah sakit yang juga menderita COVID. Lebih dari seribu kasus virus  Komunis Tiongkok yang diidentifikasi, 144 kasus di antaranya juga didiagnosis dengan apnea tidur obstruktif. 

Kasus-kasus apnea tidur obstruktif ini menunjukkan, hampir angka kematian yang tiga kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan kasus-kasus tanpa apnea tidur obstruktif. Analisis menunjukkan kasus-kasus apnea tidur obstruktif menerima terapi untuk kondisi tersebut, sebagian besar cenderung menggunakan perangkat tekanan jalan napas positif. Akan tetapi saat Barry Krakow, MD menghubungi kelompok penelitian tersebut, mereka melaporkan tidak ada data yang tersedia mengenai waktu aktual mereka, yang mana dihabiskan menggunakan sebuah perangkat tekanan jalan napas positif.

Jadi, kita tidak mengetahui apakah beberapa orang biasa menggunakan, penggunaan yang minimal, sebuah perangkat tekanan jalan napas positif, atau sama sekali tidak menggunakan sebuah perangkat tekanan jalan napas positif. 

Jika data kepatuhan ini dikumpulkan, sebuah analisis mungkin mengungkapkan apakah satu kelompok bernasib lebih baik daripada kelompok yang lain, seperti ditunjukkan oleh tren dalam penelitian Harvard.

Baru-baru ini, dua penelitian tambahan muncul dengan temuan yang relevan yang agak spekulatif.

Di Finlandia, sebuah sampel yang sangat kecil dari 28 penderita positif Coronavirus adalah yang pertama dirawat di Rumah Sakit Universitas Turku dekat awal pandemi. Dari kasus-kasus ini, 29 persen (8 kasus) memiliki apnea tidur obstruktif yang sudah ada sebelum dirawat inap, yang patut diperhatikan karena distrik Finlandia ini hampir setengah juta orang hanya menunjukkan angka 3 persen dari yang didiagnosis menderita apnea tidur obstruktif. 

Selain itu, sebuah keterbatasan utama dari penelitian ini adalah kurangnya pengujian tidur pada 20 pasien lainnya yang dirawat; oleh karena itu prevalensi sebenarnya dari gangguan pernapasan saat tidur mungkin kurang terdiagnosis. Penyakit penyerta utama apnea tidur obstruktif adalah umum di antara kasus-kasus tersebut, dengan 43 persen kasus hipertensi dan 37 persen kasus obesitas pada 28 penderita apnea tidur obstruktif.

Padahal penelitian Finlandia tidak secara langsung membahas morbiditas dan mortalitas berdasarkan apnea tidur obstruktif, penelitian Finlandia memeriksa kadar protein C-reaktif (sebuah penanda peradangan yang banyak digunakan) dan kadar oksigen nadir (titik terendah oksigenasi), keduanya sering digunakan untuk menilai tingkat keparahan penyakit. 

Dan, kadar protein C-reaktif yang lebih tinggi (secara statistik adalah bermakna) maupun kadar oksigenasi yang lebih rendah (tren statistik) dikaitkan dengan dirawat di Unit Perawatan Intensif. 

Hubungannya di sini adalah bahwa apnea tidur obstruktif diketahui dapat menunjukkan kadar protein C-reaktif yang meningkat maupun kadar oksigen yang lebih rendah.

Seperti yang anda lihat, penelitian tersebut masih jarang; namun, apnea tidur obstruktif secara jelas terlihat lebih sering terjadi dalam kasus rawat inap. Diperlukan lebih banyak penelitian untuk memahami bagaimana apnea tidur obstruktif memperburuk morbiditas dan mortalitas COVID dan jika mengobati apnea tidur obstruktif dapat meningkatkan hasil. Penelitian di bawah ini menawarkan sebuah arah yang mungkin untuk penyelidikan masa depan.

Sebagai latar belakang penelitian terakhir ini, ada minat yang semakin besar dalam penggunaan terapi oksigen untuk penderita pada tahap awal terapi COVID, tetapi tidak ada 

penelitian yang membandingkan penggunaan terapi tekanan jalan napas positif dengan mengganti atau melengkapi terapi oksigen. Terapi tekanan jalan napas positif menggunakan udara ruangan standar, dibandingkan dengan terapi oksigen, yang menggunakan oksigen langsung.

Untuk memahami nilai sebuah terapi tekanan jalan napas positif, adalah penting untuk menghargai bahwa  sebagian besar penderita apnea tidur obstruktif mengatasi masalah oksigenasi saat tidur dengan mesin tekanan jalan napas positif. 

Dengan kata lain, beberapa penderita apnea tidur obstruktif membutuhkan terapi tekanan jalan napas positif maupun oksigen, dan penderita-penderita ini biasanya menderita obesitas yang lebih parah atau kondisi paru-paru kronis.

Kini muncul sebuah penelitian dari Inggris yang meninjau penggunaan awal tekanan jalan napas positif terus-menerus, dikombinasikan dengan oksigen tambahan pada kasus COVID yang dirawat di rumah sakit. Hebatnya, tidak ada penderita yang diuji atau didiagnosis menderita apnea tidur obstruktif. 

Sebaliknya, mereka ingin memastikan bahwa penggunaan dini tekanan jalan napas positif, terus-menerus akan memperbaiki kerusakan paru dengan meningkatkan kemampuan oksigen untuk berdifusi dari jaringan paru ke dalam aliran darah (alias Aveolar-Arterial atau gradien A-a). 

Secara keseluruhan, penelitian tersebut hanya memiliki 18 penderita yang menggunakan tekanan jalan napas positif terus-menerus dan oksigen, tetapi tidak menjelaskan kapan terapi tersebut  digunakan atau untuk berapa lama. 

Temuan terpenting adalah penurunan gradien A-a, yang merupakan tanda yang sangat menggembirakan yang menyatakan bahwa oksigenasi ke dalam aliran darah meningkat pada penderita-penderita COVID ini menggunakan kombinasi tekanan jalan napas positif terus-menerus dan oksigen.

Mengingat gelombang pandemi saat ini, lebih banyak perhatian diarahkan pada penderita rawat jalan, yang menimbulkan pertanyaan apakah terapi sebuah perangkat tekanan jalan napas positif dapat secara efektif mengobati masalah oksigenasi penderita saat penderita tidur atau mungkin penderita saat bangun. 

Perangkat tekanan jalan napas positif tidak akan menghalangi atau menggantikan  terapi oksigen, tetapi memberikan perangkat tekanan jalan napas positif kepada penderita yang sesuai dengan apnea tidur obstruktif, mungkin berhasil dengan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan hanya memberikan oksigen pada penderita apnea tidur obstruktif pada malam hari. 

Dapat dibayangkan bahkan penderita tanpa apnea tidur obstruktif,  akan mendapat manfaat dari tekanan jalan napas positif terus-menerus saat penderita sedang memulihkan diri dari virus  Komunis Tiongkok.

Manfaat utama untuk salah satu dari penderita-penderita ini adalah tidur yang lebih nyenyak, yang pada gilirannya akan  memperkuat sistem kekebalan dan memberikan energi yang lebih besar di siang hari untuk penderita melawan penyakit tersebut dan bekerja melalui fase pemulihan.

Bagi penderita yang mencurigai mungkin ia menderita apnea tidur, di dorong untuk menjadwalkan uji tidur untuk apnea tidur obstruktif. Tanda-tanda apnea tidur mencakup 

gejala pernapasan seperti mendengkur keras, terengah-engah saat tidur, atau periode di mana anda berhenti bernapas saat tidur, yang mungkin anda pelajari dari pasangan anda.

Apnea tidur obstruktif lebih sering muncul dengan gejala terkait tidur lainnya seperti insomnia, tidur tidak menyegarkan, kualitas tidur yang buruk, kelelahan, energi rendah dan depresi.

Jika anda atau seseorang yang anda kenal berada pada tahap awal infeksi virus Komunis Tiongkok, anda mungkin ingin bertanya kepada dokter yang merawat mengenai uji tidur portabel atau mengenai menggunakan tekanan jalan napas positif terus-menerus. Dalam kasus apnea tidur obstruktif sedang hingga berat, sebuah perangkat terapi tekanan jalan napas positif mungkin yang paling penting. (Vv)

Barry Krakow, MD, spesialis pengobatan tidur bersertifikat yang mempraktikkan pengobatan tidur klinis dan melakukan penelitian tidur perintis selama 30 tahun. Ia menyediakan layanan pembinaan tidur dan lokakarya pelatihan kepada penderita dan profesional perawatan kesehatan melalui situs web  miliknya www.BarryKrakowMD.com. Dia tinggal di Savannah, Georgia.

Video Rekomendasi :

https://www.youtube.com/watch?v=YK2rGx27zxI