Menuju Cinta yang Ideal: ‘Cinta Mati pada Waktunya’

ERIC BESS

“Cinta” (love) adalah istilah yang kita pakai tanpa syarat. Kita semua salah menggunakan istilah tersebut untuk merujuk pada hal-hal yang hanya kita nikmati. “I love that song!” seru kita setiap kali mendengar lagu menarik terbaru di radio. “I love” disini telah diartikan bahwa kita, pada saat ini, hanya menikmati sesuatu untuk kesenangan yang diberikannya kepada kita.

Secara tradisional, cinta dianggap sebagai hal yang kekal, sebagai sesuatu yang melampaui hal-hal duniawi. Mulai dari Plato misalnya, kita mendapatkan ide tentang Cinta Platonis, cinta yang melampaui hasrat dasar dan bergerak menuju kontemplasi akan cita-cita. Apakah kita sudah kehilangan minat untuk memahami cinta ideal yang transenden?

Saya menemukan sebuah lukisan berjudul “Love Dies in Time” (cinta mati pada waktunya) oleh pelukis akademis Prancis, Édouard Bernard Debat-Ponsan, yang berfungsi sebagai rangsangan visual bagi saya ke dalam kesengsaraan cinta ketika masih dibingungkan dengan hasrat belaka.

Édouard menggambarkan komposisi oval dengan empat sosok di kapal feri. Cupid bersandar di ujung kanan perahu. Dia menutupi wajahnya dengan lengan kanannya seolah-olah dia sedih dengan apa yang ada di depannya.

Di depan Cupid terbaring seorang gadis tak bernyawa, yang saya percayai mewakili Cinta karena dialah satu-satunya yang mati. Dia memegang tangannya sendiri saat rambut dan pakaiannya jatuh ke dalam air.

“Love Dies in Time,” 1878, by Édouard Bernard Debat-Ponsan. Oil on canvas, 45 inches by 57.5 inches. Minneapolis Institute of Art. (Public Domain)

Di belakang gadis itu, seorang pemuda, dalam kesedihan, dengan putus asa meraih dan memohon kepada tukang perahu untuk mengembalikan Cinta kepadanya. Tukang perahu tidak tergerak oleh permohonannya dan terus memenuhi tugasnya, yaitu mendayung kapal ke tujuannya.

Tukang perahu adalah representasi dari Waktu — sebuah representasi yang kadang- kadang digambarkan sebagai pria tua bersayap — tetapi dia juga bisa jadi adalah Charon, pria yang bertugas mengangkut orang mati melintasi sungai Styx dan Acheron ke dunia bawah.

Bagaimanapun, penggambarannya adalah jelas: Cinta mati.

Menuju Cinta yang ideal

Suatu jenis khusus dari cinta yang dirujuk di sini, adalah cinta gairah yang mati. Kehadiran Cupid (atau Eros) menyinggung jenis cinta yang dituju tersebut.

Dalam makhluk mitologi Yunani, Cupid dimulai sebagai kekuatan primal dan menarik yang berpengaruh dalam menciptakan kosmos. 

Namun kemudian, Cupid berubah menjadi Dewa yang lebih rendah, yang diperintahkan dan dimanipulasi oleh para Dewa dan Dewi untuk mengubah nasib langit dan bumi dengan membuat para Dewa dan manusia menjadi tidak terkendali, dan dengan penuh semangat tergila-gila pada seseorang atau sesuatu.

Di sini, seorang pemuda mengungkapkan hasratnya pada gadis yang tak bernyawa — yaitu, Cinta itu sendiri. Dia ingin gairah yang diwakili oleh cinta Cupid terus berlanjut, tetapi gairah itu telah mati.

Penggambaran pemuda di sini menarik bagi saya. Dia sama sekali tidak melihat pada gadis tak bernyawa itu. Dia bahkan tidak menyadarinya; dia dibiarkan memegang tangannya sendiri. Dia lebih peduli dengan tukang perahu. Pemuda itu mencoba menghentikan tangan tukang perahu; sepertinya mereka hampir berpegangan tangan. Tangan lainnya memegang lengan tukang perahu itu.

Saya pikir ini menarik karena hasratnya lebih mementingkan pengalaman berkelanjutan dari emosi yang menyenangkan, dibanding dengan kesejahteraan gadis yang menjadi sasaran hasratnya.

Dan inilah arti dari istilah “cinta”. Misalnya, dua orang yang terlibat dalam hubungan cinta yang penuh gairah sering kali tidak tertarik pada kesejahteraan orang lain — tidak peduli seberapa keras mereka berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa mereka memang benar — tetapi malah tertarik pada emosi menyenangkan yang mereka percayai orang lain telah menyediakan baginya, jika tidak ada, berarti akhir dari hubungan cinta.

Dengan kata lain, apa yang sering disebut “cinta” adalah keinginan egois, melayani diri sendiri untuk gairah yang berkelanjutan; adalah menggunakan manusia lain sebagai sarana, objek, untuk tujuan memuaskan kesenangan kita sendiri.

Saya percaya hal yang sama terjadi di sini dengan pemuda itu. Dia tidak tertarik pada orang yang memberikan emosi dan gairah yang intens dan menyenangkan, tetapi pada kelan- jutan kesenangan.

Dan inilah mengapa pemuda itu memohon kepada tukang perahu. Tukang perahu melambangkan akhir dari gairah. Tidaklah penting apakah tukang perahu itu adalah representasi dari Waktu atau Charon karena keduanya mewakili akhir, kematian Cinta.

Cinta yang penuh gairah, emosional dan fana, tidak mampu bertahan dalam ujian waktu dan akan selalu mati. Itu hanya sifatnya sebagai emosi untuk melakukannya. Kita tidak dapat mempertahankan keadaan emosi selamanya, dan ketika kita mencoba, kita menyebabkan diri kita sendiri menderita jenis penderitaan yang sama dengan pemuda itu sendiri.

Apa artinya bagi kita di hari ini, adalah untuk meninggalkan kesengsaraan cinta yang penuh gairah dan merenungkan kembali Cinta Ideal yang dapat bertahan dalam ujian waktu, yang tidak mati dengan gairah yang memudar? Bagaimana kita dapat merangsang perkembangan budaya yang lebih luas dalam hal-hal ini yang pada satu atau lain hal, memengaruhi kita semua? (jen)

Eric Bess Adalah seniman representasional dan merupakan kandidat doktoral di Institute for Doctoral Studies in the Visual Arts (IDSVA).

Keterangan Foto : “Love Dies in Time,” 1878, oleh Édouard Bernard Debat-Ponsan. Minyak di atas Kanvas, 45 inci kali 57,5 inci. Institut Seni Minneapolis. (Domain publik)