Studi CDC : Wanita Menghadapi Efek Samping yang Lebih Serius Setelah Divaksin COVID-19

oleh Li Zhaoxi 

Meskipun ringan, efek samping sangat mungkin muncul setelah seseorang menerima salah satu vaksin COVID-19 yang sudah resmi beredar. Tetapi, data penelitian menunjukkan bahwa di antara mereka yang melaporkan terjadinya efek samping vaksin, jumlah wanita lebih banyak daripada yang pria, dan kebanyakan dari mereka menunjukkan gejalanya yang lebih parah.

Menurut sebuah penelitian yang dirilis oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat pada akhir Februari, data tentang efek samping yang dilaporkan setelah vaksinasi menunjukkan perbedaan jenis kelamin yang signifikan.

Penelitian tersebut menargetkan 13,7 juta orang di Amerika Serikat yang menerima vaksin virus komunis Tiongkok (COVID-19) tahap pertama. Faktanya, terdapat 6.994 orang yang melaporkan efek samping vaksin melalui pemeriksa kesehatan pasca vaksinasi CDC “V-safe”. Di antara mereka, 79,1% wanita melaporkan efek samping vaksin. Perlu diperhatikan bahwa 61,2% dari mereka yang menerima vaksin adalah kaum wanita.

Hasil penelitian ini bukan satu-satunya. Pada bulan Februari, studi lain yang diterbitkan oleh peneliti CDC dalam Journal of American Medical Association (JAMA), menemukan bahwa telah terjadi gejala berupa reaksi alergi yang parah. Bahkan, berpotensi mengancam nyawa terhadap 19 orang yang semuanya wanita usai menerima vaksin Moderna. Selain itu, reaksi alergi  juga muncul pada 47 orang yang menerima vaksin yang dikembangkan bersama oleh Pfizer Pharmaceuticals Co., Ltd. Amerika Serikat bersama BioNTech, SE Jerman. Sebanyak 44 orang diantaranya adalah wanita.

Kasus terkait juga dilaporkan dalam sebuah artikel yang diterbitkan ‘New York Times’ baru-baru ini. Shelly Kendeffy, seorang teknisi medis berusia 44 tahun di Pennsylvania State University, memberikan informasi bahwa dia dan rekan-rekannya — 8 orang pria dan 7 orang wanita, mengalami efek samping yang berbeda antara satu sama yang lain setelah mendapat vaksin Moderna tahap kedua.

6 orang wanita mengalami nyeri di sekujur tubuh, menggigil dan kelelahan, dan 1 orang wanita mengalami muntah-muntah. Akan tetapi, diantara penerima vaksin yang pria, hanya 4 orang yang memiliki gejala sangat ringan. Sedangkan 4 orang lainnya sama sekali tidak menunjukkan gejala.

CDC mengatakan bahwa munculnya efek samping adalah hal yang normal. Laporan penelitian CDC pada akhir Februari menunjukkan bahwa, gejala efek samping vaksin yang paling sering dilaporkan termasuk sakit kepala (22,4%), kelelahan (16,5%) dan pusing (16,5%). Jadi mengapa kaum wanita melaporkan lebih banyak efek samping vaksin daripada kaum pria ? Sampai saat ini belum ada jawaban yang pasti.

Amesh Adalja, seorang sarjana senior di Pusat Keamanan Kesehatan Johns Hopkins di Amerika Serikat mengatakan kepada health.com, bahwa ini mungkin sepenuhnya karena kaum wanita lebih cenderung melaporkan gejala yang terjadi terhadap diri mereka ketimbang kaum pria.

Pakar penyakit infeksi, Profesor William Schaffner dari Vanderbilt University School of Medicine, Tennessee mengatakan bahwa, wanita lebih mungkin melaporkan gejala dan bukan satu-satunya penyebab. Meskipun alasan pastinya tidak jelas, William mengatakan bahwa sistem kekebalan wanita tampaknya lebih aktif. Pada saat yang sama, perbedaan hormonal juga berperan, dan estrogen “merangsang” sistem kekebalan.

“Memang ada perbedaan antara respon imun pria dan wanita, Dunia medis belum melakukan penelitian yang menyeluruh. Seharusnya kita melakukan penelitian tersebut”, tambah Profesor William Schaffner.

Dr. Jennifer Wider, seorang ahli kesehatan wanita kepada health.com mengatakan, cara metabolisme terhadap obat antara pria dengan wanita juga tidak sama. Uji klinis sering kali tidak memperhitungkan perbedaan ini. Sedangkan respon antibodi wanita yang divaksinasi, juga sedikit lebih tinggi daripada pria.

Studi CDC dilakukan antara 14 Desember 2020 hingga 13 Januari 2021. Mereka hanya melakukan penelitian terhadap vaksin buatan Pfizer dan Moderna. Sedangkan vaksin buatan Johnson & Johnson waktu itu belum memperoleh izin penggunaan darurat. Sehingga tidak masuk penelitian. (sin)

Keterangan Foto ; Sebuah jarum suntik tertancap pada ikon yang mewakili virus komunis Tiongkok (virus Covid-19). (Joel Saget/AFP/Getty Images)