Kebijakan Tiga Anak dan Usia Pensiun yang Diperpanjang Tak Akan Menyelesaikan Defisit Pensiun Tiongkok

Nicole Hao

Partai Komunis Tiongkok telah mengubah kebijakannya mengenai anak-tunggal yang terkenal kejam untuk mengizinkan setiap pasangan memiliki tiga anak. Selain itu, akan memperpanjang usia pensiun untuk mengatasi defisit pensiun besar dan  mengatasi penurunan angka kelahiran yang dramatis. Namun, para ekonom dan para ahli mengatakan, metode-metode ini tidak dapat menyelesaikan masalah defisit atau pun masalah populasi yang menua di negara itu.

Tiongkok telah menjadi masyarakat yang menua sejak tahun 2.000, di mana  peningkatan usia rata-rata yang cepat secara signifikan selama 10 tahun terakhir. Penduduk yang bekerja diproyeksikan menurun menjadi 795 juta orang pada tahun 2050—–kurang 20 persen dibandingkan dengan tahun 2010—–selama angka kesuburan Tiongkok tidak menurun, menurut Dong Keyong, profesor sumber daya manusia di Universitas Renmin Tiongkok.

Pada tahun 2010, Partai Komunis Tiongkok meluncurkan berbagai versi kebijakan dua-anak untuk meremajakan populasi yang menua, tetapi efeknya terbatas. Kini, pihak berwenang berharap kebijakan tiga-anak dapat menyelesaikan masalah-masalah tersebut. 

Para ekonom meragukan apakah kebijakan tersebut akan berhasil, dengan mengatakan bahwa para orang tua di Tiongkok merasa tidak mampu memiliki anak lagi. Dikarenakan, adanya tekanan ekonomi dan tingginya biaya untuk membesarkan seorang anak di Tiongkok. 

Sebuah survei yang dilakukan oleh corong Partai Komunis Tiongkok Xinhua pada 31 Mei menunjukkan bahwa, lebih dari 90 persen responden tidak ingin memiliki anak ketiga.

Selain itu, menaikkan usia pensiun semakin mempersulit bagi orang-orang muda untuk mencari pekerjaan. Sementara itu, generasi yang lebih tua tidak akan punya waktu untuk merawat cucu jika mereka tidak dapat pensiun tepat waktu.

Banyak orang Tiongkok merasa khawatir, bahwa Partai Komunis Tiongkok akan meluncurkan kebijakan-kebijakan untuk memaksa pasangan-pasangan untuk memiliki lebih banyak anak.

Masalah-Masalah Pelik

Politbiro Partai Komunis Tiongkok pada 31 Mei, membahas kebijakan-kebijakan terkait untuk mendukung keluarga-keluarga dalam memiliki hingga tiga anak. 

Para anggota Politbiro Partai Komunis Tiongkok mengatakan bahwa melakukan hal tersebut dapat “memodifikasi struktur penduduk [Tiongkok],” memberikan “tanggapan-tanggapan terhadap masalah populasi yang menua,” dan “mempertahankan keuntungan, anugerah sumber daya manusia [Tiongkok],” menurut Xinhua.

Untuk mengatasi tiga masalah ini, para pejabat Beijing mengumumkan sebuah rencana untuk memperpanjang usia pensiun. Xinhua melaporkan pada 13 April bahwa rezim Tiongkok, akan memperpanjang usia pensiun secara bertahap selama lima tahun ke depan karena “penduduk usia kerja Tiongkok” telah menurun selama delapan tahun berturut-turut, dengan

rata-rata di atas tiga juta per tahun. Angkatan penurunan populasi usia kerja itu semakin meningkat.”

Di antara banyak masalah Tiongkok yang pelik  disebabkan oleh ketidakseimbangan populasi adalah defisit pensiun, penyebab utamanya adalah populasi usia kerja yang menyusut dengan cepat dan bertambahnya populasi usia lanjut.

Pada Juli 2018, Provinsi Heilongjiang di timur laut Tiongkok, tidak dapat membayar semua uang pensiun karena defisit. Pada Januari 2019, National Business Daily yang dikelola negara melaporkan bahwa provinsi-provinsi Liaoning, Jilin, Hebei, Shaanxi, dan Qinghai juga menderita defisit uang pensiun.

Rezim Tiongkok belum merilis ukuran defisit uang pensiun, tetapi Akademi Ilmu Pengetahuan Sosial Tiongkok menerbitkan Laporan Aktuaria Pensiun Tiongkok tahun 2019–2050 pada April 2019, di mana dikatakan secara keseluruhan Tiongkok menghadapi defisit uang pensiun, bahwa uang pensiun membutuhkan bantuan keuangan negara pada tahun 2019. Disebutkan juga defisit tersebut akan meningkat secara eksponensial setiap tahun.

Dalam beberapa tahun terakhir, rezim Tiongkok telah menahan uang pensiun dari kelompok-kelompok tertentu, yang mencakup para pembangkang politik, para umat beragama, dan para pembela hak asasi manusia.

Para pejabat Beijing, mengutip sensus ketujuh Tiongkok, diumumkan pada 11 Mei bahwa 264 juta orang, hampir 19 persen dari populasi, meninggal pada usia 60 pada akhir tahun 2020, meningkat 86,4 juta orang, atau hampir 49 persen, dibandingkan dengan sensus keenam yang dirilis pada tahun 2011.

Sementara itu, populasi usia kerja menyusut 45,2 juta orang, atau sekitar 5 persen, pada tahun 2021, menurut sensus itu.

“Tiongkok telah keluar dari periode bonus demografis,” Miao Wei, anggota Komite Sentral Partai Komunis Tiongkok dan Wakil Ketua Komite Ekonomi Komite Nasional Komite Sentral Partai Komunis Tiongkok, mengatakan pada sebuah KTT keuangan di Beijing pada tanggal 14 November 2020.

Akankah Kebijakan 3-Anak Berhasil?

Para ekonom dan para ahli mempertanyakan klaim-klaim bahwa kebijakan tiga-anak dan memperpanjang usia pensiun, akan membantu Tiongkok mendapatkan kembali bonus demografinya.

“Pendidikan, asuransi kesehatan, perumahan, sarana-sarana ……. semua kebutuhan hidup adalah mahal di Tiongkok,” demikian diungkapkan ekonom independen Tiongkok Gong Shengli memberitahukan kepada The Epoch Times bahasa Mandarin pada 2 Juni. 

Ia juga berkata : “Rakyat Tiongkok berjuang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup yang mendasar, bahkan tanpa memiliki seorang anak——bagaimana mereka berani punya anak lagi?”

Akademi Ilmu Pengetahuan Sosial Shanghai merilis sebuah laporan pada Desember 2019, yang mengatakan biaya rata-rata membesarkan seorang anak dari lahir hingga lulus Sekolah Menengah Pertama — biasanya berusia 15 tahun — di distrik Jing’an Shanghai adalah 840.000 yuan. Sebuah keluarga biasanya menghabiskan lebih dari setengah dari total pendapatannya untuk anak-anaknya, di mana keluarga-keluarga berpenghasilan rendah menghabiskan lebih banyak pendapatannya.

Pada saat yang sama, sebagian rakyat Tiongkok adalah tidak kaya.

Pada 12 Mei, Perdana Menteri Tiongkok Li Keqiang mengatakan pada sebuah pertemuan Dewan Negara di bulan Mei bahwa 200 juta orang Tiongkok, atau 22,4 persen populasi usia kerja, berada “dalam pekerjaan yang fleksibel,” yang berarti mereka adalah “para pedagang kaki lima” atau memiliki pekerjaan sementara. 

Pada Mei 2020, Li Keqiang mengatakan bahwa 600 juta orang Tiongkok memperoleh  140 dolar per bulan, yang tidak cukup untuk membayar sewa bulanan untuk apartemen satu-kamar tidur di sebuah kota ukuran-menengah di Tiongkok.

Terlepas dari perbedaan antara biaya hidup yang tinggi dengan pendapatan yang rendah, rakyat Tiongkok masih lebih suka memiliki anak, karena secara kebudayaan Tiongkok tradisional, memiliki anak dianggap penting.

Rata-rata, setiap keluarga Tiongkok memiliki 2,62 anggota keluarga pada akhir tahun 2020, dan sebagian besar keluarga Tiongkok memiliki tiga anggota keluarga–—dua orang tua dan seorang anak–—Xinhua melaporkan pada 20 Mei.

“Hal ini menunjukkan bahwa rakyat Tiongkok tidak mengikuti kebijakan dua-anak……Jadi bagaimana kebijakan tiga-anak ini akan berjalan?” ungkap Frank Tian Xie, profesor bisnis di University of South Carolina–Aiken, mengatakan kepada The Epoch Times dalam wawancara telepon pada 1 Juni.

Kesediaan untuk memiliki anak juga tercermin dari angka kelahiran. Angka kesuburan Tiongkok adalah 1,3 anak per wanita pada tahun 2020, lebih rendah dari angka pensiun yaitu 2,1, dan lebih rendah dari Amerika Serikat yaitu 1.637 Amerika, menurut Ning Jizhe, Direktur Biro Statistik Nasional Tiongkok.

“Memperpanjang usia pensiun hanya akan memperburuk keadaan,” kata Lai Jianping, seorang mantan pengacara dan aktivis demokrasi Tiongkok yang berbasis di Amerika Utara, kepada The Epoch Times pada 1 Juni.

Di Tiongkok, biasanya kakek-nenek yang merawat anak-anak. Sejumlah besar pasangan muda memiliki anak pertama mereka ketika setidaknya salah satu dari kakek-nenek sudah pensiun.

“Jika kakek-nenek belum pensiun, pasangan-pasangan muda tidak berani memiliki anak-anak, Di sisi lain, orang-orang muda akan mengalami kesulitan mencari pekerjaan jika orang-orang tua belum pensiun,” kata Lai Jianping. 

Seperti yang ditunjukkan Li Keqiang, pekerjaan sulit didapat, yang tercermin dari tingginya jumlah orang dengan “pekerjaan yang fleksibel”. Angka pengangguran Tiongkok yang sebenarnya adalah rahasia negara, dan rezim Tiongkok hanya merilis data mengenai orang-orang yang memiliki hukou perkotaan—–sebuah pendaftaran rumah tangga kota—–dan mendaftarkan pekerjaan mereka ke pemerintah daerah.

Pada Juli, lebih dari 9 juta mahasiswa Tiongkok akan lulus dari universitas-universitas dan mulai mencari pekerjaan. “Wisuda berarti pengangguran”  menjadi sebuah pepatah umum di Tiongkok dalam beberapa tahun terakhir, di mana  media yang dijalankan negara Tiongkok, termasuk Xinhua, beralih untuk menerbitkan artikel-artikel yang mengajarkan para mahasiswa bagaimana mencari pekerjaan.

“Jika orang-orang muda tidak mendapatkan pekerjaan, mereka tidak akan memiliki pendapatan untuk membesarkan anak-anak,” kata Lai Jianping.

Partai Komunis Tiongkok meluncurkan kebijakan satu-anak yang terkenal kejam itu pada tahun 1979. Kini sebagian besar wanita usia subur Tiongkok menjadi anak tunggal. Di Tiongkok, orang-orang tua bergantung pada anak-anaknya di tahun-tahun berikutnya, karena jaminan sosial tidak cukup untuk merawat orang-orang tua itu.

“Sebagai pasangan anak-tunggal, kami berdua harus menjaga empat orang tua kami dan pekerjaan 996,” tulis seorang netizen Tiongkok di platform media sosial Weibo pada 31 Mei. “996” adalah jam kerja standar bisnis Teknologi Informasi Tiongkok, jam 9 pagi sampai jam 9 malam, enam hari per minggu. “Jika kami memiliki tiga anak, bagaimana kami mampu bertahan?” (Vv)