NATO Memperkuat Sikap Terhadap Rezim Tiongkok, Mewanti-wanti Soal Beijing yang Menimbulkan ‘Tantangan Sistemik’

Cathy He

Organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) menyatakan pernyataan sikapnya terhadap rezim Tiongkok pada Senin (14/6/2021). Bahasa, yang disampaikan dalam komunike terakhir  dikeluarkan setelah kesimpulan dari pertemuan puncak sehari di Brussel, Belgia, menunjukkan keadaan terpusat dalam perkembangan di Barat yang mengakui berbagai ancaman ditimbulkan oleh Komunis Tiongkok.

Pernyataan NATO dipublikasikan sehari Kelompok Tujuh (G-7), yang terdiri dari tujuh negara terkaya di dunia, mengeluarkan pernyataan yang mengkritik pelanggaran hak asasi manusia rezim Komunis Tiongkok di Xinjiang dan Hong Kong, serta praktik ekonominya yang tidak adil.

“Ambisi yang dinyatakan Tiongkok dan perilaku tegas menimbulkan tantangan sistemik terhadap tatanan global berbasis aturan dan area yang relevan dengan keamanan aliansi,” kata komunike NATO yang berisi 79 poin.

NATO menegaskan semakin besarnya pengaruh rezim dan kebijakan internasional dapat menimbulkan “tantangan yang perlu kita atasi bersama sebagai Aliansi.”

Presiden AS Joe Biden melanjutkan pendekatan keras mantan Presiden Donald Trump terhadap Tiongkok, akan tetapi  menekankan membawa sekutu untuk menghadirkan front persatuan melawan rezim.

Biden juga mengatakan kepada sekutu Eropa bahwa pertahanan mereka adalah “kewajiban suci” bagi Amerika Serikat.

“Pasal Lima adalah kewajiban suci, Saya ingin seluruh Eropa tahu bahwa Amerika Serikat ada di sana,” kata Biden, mengacu pada janji pertahanan kolektif aliansi transatlantik. 

Sekretaris Jenderal NATO, Jens Stoltenberg mengatakan, masifnya kehadiran militer Tiongkok dari Baltik ke Afrika, berarti NATO yang bersenjata nuklir harus bersiap.

“Tiongkok semakin dekat dengan kita. Kami melihat mereka di dunia maya. Kita melihat Tiongkok di Afrika. Tetapi kami juga melihat Tiongkok berinvestasi secara besar-besaran dalam infrastruktur penting kami sendiri, Kita perlu merespons bersama sebagai aliansi,” ujarnya merujuk pada proyek pelabuhan dan jaringan telekomunikasi.

Kanselir Jerman, Angela Merkel, pada pertemuan puncak NATO terakhirnya sebelum dia mundur pada September mendatang, menyerukan “keseimbangan” dalam pendekatan terhadap rezim dan untuk melanjutkan dialog dengan Beijing.

“Jika Anda melihat ancaman siber dan ancaman hibrida, jika Anda melihat kerja sama antara Rusia dan Tiongkok, Anda tidak bisa mengabaikan Tiongkok begitu saja,” kata Merkel kepada wartawan. “

“Tapi kita juga tidak boleh melebih-lebihkannya—kita perlu menemukan keseimbangan yang tepat. Tiongkok adalah saingan kami dalam banyak pertanyaan, tetapi juga mitra kami dalam banyak aspek yang kami jelaskan kemarin di G-7,” tambah Merkel. 

Ketika Uni Eropa menetapkan rezim Beijing sebagai “saingan sistemik,” pemerintahan  di negara-negara kawasan itu pada umumnya tertinggal dari Amerika Serikat dan negara-negara lain dalam mengakui dan merespon tindakan jahat Beijing. Apakah dikarenakan dengan kuatnya hubungan ekonomi dengan rezim Tiongkok? 

Para pemimpin utama Eropa juga sebelumnya  menyatakan, keraguannya untuk bergabung dengan Amerika Serikat untuk menghadapi Beijing. Langkah ini merupakan hasil dari mendalamnya hubungan ekonomi di kawasan Eropa dengan rezim Komunis Tiongkok, sebagaimana dikatakan para analis.

Misalnya, total perdagangan Jerman dengan Tiongkok pada tahun 2020 mencapai lebih dari 212 miliar euro atau 256,82 miliar dolar AS, menurut data pemerintah Jerman. Nilai perdagangan tersebut  menjadikan Beijing sebagai mitra dagang utamanya. (asr)